Mengembalikan Esensi Hijrah

Oleh: Salsadilla Musrianti H.
Banyak orang memahami hijrah sebagai perubahan menuju arah yang lebih baik. Kata yang diserap dari bahasa Arab tersebut memang kerap disandingkan dengan orang-orang yang berubah menjadi sosok yang lebih agamis: berpakaian serba tertutup, sering menghadiri kajian keislaman, dan lain sebagainya. Bahkan, fenomena tersebut sudah berkembang menjadi sebuah tren yang ramai diikuti oleh beberapa figur publik yang rela meninggalkan dunia lamanya. Beberapa komunitas hijrah yang muncul dengan beragam pemahaman dan strategi dakwahnya membuat populasi orang-orang yang berhijrah semakin bertambah.
Tren semacam itu dapat membawa pengaruh positif apabila dilatar-belakangi dengan motif yang tepat. Sebaliknya, jika tren semacam ini diikuti hanya untuk kepentingan duniawi, maka ini akan menjadi sebuah masalah. Misal, berhijrah untuk kepentingan sosial, dimana seseorang memaknai hijrah hanya sebatas ajang tenar dan peningkat popularitas. Dari sini, hijrah perlu dimaknai ulang sehingga kita dapat memahaminya secara utuh dan dapat memilah dengan baik lingkungan tempat kita berkembang.
Kata hijrah berasal dari bahasa Arab: hâjara-yuhâjiru-muhajarâtan wa hijratan. Secara bahasa, hijrah bermakna berpindah, bermigrasi, atau meninggalkan. Hal ini dinisbatkan dengan momentum saat Nabi Muhammad beserta umat Islam pergi meninggalkan Makkah menuju Madinah pada 26 Safar 622 M. Namun, seiring berkembangnya zaman, hijrah bukan lagi sebatas “meninggalkan Makkah menuju Madinah”. Lebih luas daripada itu, al-Quran telah menyajikan beragam konteks yang menggambarkan kata hijrah.
Salah satunya dapat kita temukan pada (QS al-Muddattsir: 5). Ayat tersebut mengandung perintah untuk meninggalkan segala kemaksiatan, yang kemudian diterangkan lebih lanjut pada ayat berikutnya untuk tidak mengharapkan balasan saat ingin memberikan sesuatu kepada orang lain. Contoh selanjutnya ada pada (QS al-Muzzammil: 10). Ayat tersebut mengandung perintah untuk bersabar terhadap ucapan orang-orang kafir dan meninggalkan mereka dengan cara yang baik. Kedua ayat tersebut sama-sama memaknai “hijrah” dengan “meninggalkan”. Bahkan, jika kita mengamati objek yang disandingkan dengan kata “hijrah” tersebut secara saksama, dapat kita simpulkan bahwa hijrah pada kedua ayat tersebut mengarah pada perintah untuk meninggalkan suatu perkara yang salah.
Pada hakikatnya, makna hijrah saat masa Nabi dengan masa sekarang tetaplah sama. Perbedaannya hanya terletak pada orientasi terkait pelaksanaan hijrah tersebut. Jika dulu umat Islam berhijrah guna menghindari siksaan berkelanjutan dari orang-orang kafir, maka tujuan hijrah umat Islam pada masa sekarang lebih beragam. Bisa jadi memang untuk kepentingan ukhrawi, ataupun bisa jadi hanya untuk kepentingan duniawi yang dilangsungkan demi keikutsertaan terhadap tren. Maka dari itu, penting bagi kita untuk meresapi ulang niat yang terbangun pada saat memutuskan berhijrah demi memaknainya secara tepat.
Dari Sahabat Umar RA, Rasulullah SAW bersabda bahwa amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. Imam Bukhari menyebutkan Hadits ini sebagai mukadimah pada kitab Shahihnya. Beliau mengungkapkan bahwa terdapat makna tersirat pada Hadits ini yang menjelaskan bahwa setiap amal yang tidak diniatkan karena Allah adalah sia-sia, dan tidak akan membuahkan hasil baik di dunia maupun akhirat. Al-Mundzir dari al-Rabi’ bin Khutsaim juga menambahkan bahwa segala sesuatu yang tidak diniatkan untuk mencari keridaan Allah, maka akan sia-sia.
Menyambung daripada Hadits sebelumnya, Rasulullah bersabda bahwa barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi barang siapa yang berhijrah kepada dunia yang akan ditemuinya, atau kepada perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya. Lebih lanjut, Syekh Ibnu Abbad dalam Ghayat al-Mawahib al- Aliyyah bahwa hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah tuntutan secara eksplisit terhadap manusia untuk membulatkan hati semata-mata karena Allah, juga larangan secara implisit untuk memberikan hati atas kepentingan duniawi.
Al-Syibli juga berpesan untuk selalu membaca ulang setiap firman Allah. Meskipun di dalam al-Quran dikatakan, “Makan dan minumlah kalian” (2:60), sebenarnya ini mengandung pesan: “Janganlah kalian tenggelam didalam keinginan. Hendaklah kalian tetap bersama-Nya dalam setiap hal, bukan bersama nafsumu.” Sehingga meskipun perintah “makan dan minum” secara kasat mata diartikan sebagai bentuk penghormatan dan pemberian kenikmatan, tetapi secara batin itu adalah bentuk ujian dan cobaan untuk melihat siapakah dirinya saat bersama Allah dan siapakah dirinya saat bersama nafsu.
Melalui Hadits di atas, kita dapat melihat bahwa sejatinya hijrah ialah fitrah. Hijrah juga merupakan hidayah, yang belum tentu semua orang mendapatkannya. Jika kita melihat tren hijrah yang ramai dibicarakan sekarang ini, hijrah seakan menjadi sesuatu yang mudah diikuti dengan tanpa pertimbangan mendalam. Maka berangkat dari hal ini, perlu kita perhatikan bahwa penting untuk tidak mengotori sesuatu yang bersifat suci. Cara untuk mengantisipasinya adalah dengan memperhatikan ulang niat yang terbangun saat kita hendak berhijrah. Sehingga dalam pelaksanaannya nanti, kita dapat memahami hijrah dengan tepat dan menjaga esensinya secara utuh.