Tangis dalam Mukadimah al-Burdah; Sebuah Pembacaan Strukturalisme

Sering kali saat ada seseorang yang menanyaimu, bagaimana kamu menangis atau seperti apa kamu menangis, mungkin kamu akan sedikit kesulitan untuk menjawabnya. Sebab, ketika kamu menangis, kamu tidak memedulikan pola tangisanmu, kamu pun tidak mengatur jumlah sesenggukanmu dalam hitungan tertentu. Kemungkinan besar, kamu hanya akan menjawab dengan pernyataan normal semacam: saya menangis cukup lama, saya menangis sambil teriak dan sesekali tersengguk-sengguk. Dalam banyak kesempatan, kamu atau bahkan saya, mungkin abai terhadap detail-detail kecil ketika menangis. Sementara, aktivitas menangis adalah aktivitas yang privat, bahkan—kalau dalam dunia tasawuf terbilang—intim. Lalu, bagaimana mungkin aktivitas yang privat dan intim ini tidak kamu ketahui secara utuh dan lengkap?
Mendeskripsikan aktivitas menangis secara mendetail sekilas memang terasa sulit ketika kamu melakukannya secara spontan melalui sebuah ungkapan. Akan tetapi, ia akan cukup mudah jika kamu menjelaskannya melalui narasi dalam tulisan. Sebagaimana yang dilakukan oleh para penyair Arab klasik. Di sana, kamu akan dengan mudah melihat detail-detail kecil dari aktivitas menangis, seperti: seberapa deras linang air matanya, volume air matanya, potret sepasang matanya usai menangis dsb.
Nah, kamu akan melihat lebih jelas detail-detail dari aktivitas menangis yang dideskripsikan oleh para penyair dengan membaca mukadimah puisi al-Burdah gubahan Imam al-Bushiri.
“Apakah sebab mengingat orang-orang yg dicinta di Dzi Salam # Engkau campur air mata yang mengucur dari bola mata dengan darah.”
Dari mathla’ (bait pembuka) ini, setidaknya al-Bushiri ingin memberi tahu kita bahwa sepasang matanya telah bergelimang air mata. Kita bahkan bisa mempunyai kesimpulan yang sama bahwa tangis al-Bushiri adalah tangis yang sebenar-benarnya. Sebab, dia menggunakan diksi جرى yang artinya mengalir dengan deras[1]. Dia tidak menggunakan diksi سال yang berarti mengalir dengan setetes[2]. Apa lagi, air matanya yang mengucur telah bercampur darah seolah memberi kesan tragis dan penggambaran yang unik.
Untuk membuktikan hal itu kita bisa membandingkannya dengan mathla’ dari puisi Imru’ul Qais, misalnya.
“Mari berhenti menangisi seorang kekasih dan sebuah rumah # Di Saqti al-Liwa antara Dakhul dan Haumal.”
Pada bait ini Presiden para penyair Jahiliah itu melakukan aktivitas menangis, sembari mengajak kawan bicaranya untuk berhenti menangisi kekasih dan sebuah rumah. Namun, kita tidak dapat mengidentifikasi seperti apa tangisannya, apakah mengucur atau menetes. Bahkan, kita baru akan mendapatkan potret dan detail tangisannya pada mukaddimah bait ke-8, ia berdendang:
“Kemudian air mataku meluap sebab rindu # Di atas dada, bahkan air mataku membasahi gantungan pedangku.”
Imru’ul Qais menggunakan diksi فاض yang artinya memenuh kemudian mengalir[3]. Setidaknya, ia juga ingin memberi tahu kita bahwa sepasang matanya sembab karena air matanya telah meruah hingga membasahi bagian tubuh di atas dadanya dan membasahi gantungan pedangnya.
Sampai di sini, mathla’ al-Bushiri dan bait ke-8 Imru’ul Qais memiliki keunikan dan caranya sendiri dalam menjelaskan tangisan. Akan tetapi, kita masih bisa mengunggulkan al-Bushiri dalam persoalan ini. Sebab, masa hidupnya yang terpaut sangat jauh dengan Imru’ul Qais mendorongnya untuk berinovasi dan menghindari deskripsi-deskripsi yang (dianggapnya) telah usang mengenai aktivitas menangis. Ketika Imru’ul Qais sudah menggunakan diksi فاض dia kemudian menggunakan diksi جرى. Begitu pula kalau kita melanjutkan pembacaan terhadap bait-bait selanjutnya, kita akan mendapati bahwa al-Bushiri cukup serius dalam mengeksplorasi idenya tentang tangisan yang tampak melalui penggunan diksi-diksi yang variatif. Semisal pada bait ke-3 dia mendendangkan:
Lalu ada apa dengan sepasang matamu bila kau menyuruhnya berhentilah menangis, ia tetap menetes # Lalu ada apa dengan hatimu bila kau menyuruhnya sadarlah, ia tetap menggila.
Lagi-lagi al-Bushiri berinovasi dalam diksi-diksi yg dipilihnya, dia menggunakan diksi همت yang memiliki arti menetes[4]. Bahkan, dalam 5 bait yang berturut-berturut dia menggunakan diksi-diksi yang berbeda tentang aktivitas menangis. Dia menggunakan diksi منسجم untuk menggambarkan tangisan yang tiada henti[5]. Pada bait ke-6 dia menggunakan diksi أراق-يريق untuk mengafirmasi bahwa cinta dan kerinduannya telah purna sehingga tetesan air matanya berkilauan di atas puing-puing. Ditambah lagi, pada bait ke-6 ini al-Bushiri mencoba menggunakan al-Jinâs pada lafadz ترق dan أرقت. Di bait ke-7 dia memakai diksi عدول untuk mengonfirmasi kesaksian yang kuat terhadap air mata dan kesakitan yang menyebabkannya dimabuk cinta. Selanjutnya, pada bait ke-8 dia menggunakan diksi عبرة yang mana lafadz ini adalah sinonim dari [6]دمع. Pada waktu yang sama, al-Bushiri meletakkan bahasa figuratif terhadap air mata dan kesakitannya ini dengan menyifatinya seperti bunga al-Bahâr yang warnanya menyebabkan kekuning-kuningan pada pipi, juga seperti bunga ‘anam yang tangkainya berwarna merah.
Seluruh bukti-bukti di atas kiranya cukup untuk menggiring kita bahwa al-Bushiri sangat detail merekam aktivitas menangis ini. Dia sangat memahami betapa tangisan ini sangat privasi dan intim baginya sebagai bukti atas cintanya. Seakan-akan dengan ini dia hendak berkata, dengan tangis yang semacam ini, mustahil engkau tak percaya kepadaku. Bahkan, setelah menyelasikan mukadimahnya ini pada bait yang ke-12, al-Bushiri meletakkan jukstaposisi yang begitu ciamik dan elegan. Dia melakukan perpindahan objek ide dari bait ke-10 sampai bait ke-13 dengan tanpa disangka-sangka. Pada mulanya dia membicarakan tangisnya yang unik dan anomali, kemudian topiknya beralih ke nasihat dan peringatan akan bahaya hawa nafsu. Jalur yang ditempuhnya pun terbilang mudah, dia hanya berkata:
“Engkau menasehatiku dengan tulus, tapi aku tak bisa menurutinya # Karena sang pecinta merasa tuli terhadap para pencaci.”
Dia membuat dua objek yang sama untuk melakukan perpindahan ide; nasihat tentang cinta dan nasihat tentang bahaya hawa nafsu. Seolah-olah dia ingin berkata, biarlah tangisku menjadi-jadi, tetapi ketika Rasulullah datang dalam mimpiku, lalu menyembuhkan sakitku, maka aku harus menyiapkan dada yang lapang nan hati yang bersih sebagai rasa terima kasih.
[1] Diambil dari al-Burdah yang diberi catatan kaki oleh Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Maktabah As-Shafa, Kairo, hal. 33.
[2] Kamus Al-Ma’âni Arabî-Arabî
[3] Kamus Al-Ma’âni Arabî-Arabî
[4] Kamus Al-Ma’âni Arabî-Arabî
[5] Kamus Al-Ma’âni Arabî-Arabî
[6] Ibid., hal. 34.