Islamologi

Memahami Konsep Tawakal

 

Oleh: Ridwan Fauzi

“Tawakal saja, urusan rezeki sudah Allah yang ngatur. Allah yang ngurus semuanya, kita tidak perlu khawatir.” Sering kita dengar ungkapan seperti ini di lingkungan sekitar kita. Entah itu teman, saudara, keluarga atau bahkan guru kita. Terdengar bijak memang, namun ada kalanya ungkapan seperti ini berkonotasi menyepelekan tugas kita sebagai manusia, yaitu berpikir dan bertindak. Sehingga mengartikan bahwa tawakal yang sesungguhnya cukup menyerahkan urusan kita kepada Allah, sekalipun toh tidak disertai usaha. Padahal, pemahaman model tawakal seperti itu salah besar. Lantas, bagaimana konsep bertawakal yang semestinya?

Menurut Ibnu Rajab, tawakal tidak berarti menafikan usaha dan proses yang Allah tetapkan sebagai sunatullah. Usaha menurutnya merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada Allah secara fisik, sedangkan tawakal adalah amaliah hati. Dapat kita cermati, bahwa tawakal dan usaha sama-sama bentuk ibadah, hanya saja terdapat pembeda pada porsi pengamalannya. Senada dengan Ibn Rajab, Ibnul Qayim mengatakan bahwa Allah menetapkan proses sebab-akibat dalam segala urusan manusia. Sehingga jika kita tidak berusaha, meskipun berserah diri kepada Allah, tetap tidak ada hasilnya. Ia berkesimpulan bahwa hakikat tauhid -dalam hal ini bertawakkal- tidak akan sempurna kecuali dengan menyelesaikan asbab.

Oleh karenanya, stigma yang menyatakan bahwa tawakal tidak diiringi dengan usaha jelas tidak dibenarkan. Stigma ini bisa dipatahkan oleh konsep tawakal yang Allah firmankan dalam QS. Ali Imran ayat 159, “Dan bermusyawarahlah dalam segala urusan, kemudian apabila kamu sudah bertekad untuk melakukan sesuatu, hendaklah bertawakkal kepada Allah.” Alur tawakal bisa kita cermati dalam ayat ini, bahwa musyawarah merupakan usaha manusia untuk menyelesaikan urusan. Dalam bermusyawarah, kita berencana untuk melakukan sesuatu, dan ketika tekad sudah bulat, maka yang kita lakukan adalah bertawakal kepada Allah. Memercayakan segala proses dan hasil dari apa yang kita tekadkan hanya kepada Allah semata.

Jika dianalisis lebih mendalam, pada akhirnya tawakal adalah amalan hati yang menggabungkan dua unsur. Pertama mengerahkan segala daya upaya kita sebagai manusia. Kedua memercayakan segala apa yang akan Allah putuskan. Tentu tidak disebut tawakal, jika salah satu dari kedua unsur tersebut hilang. Syekh Ali Jum’ah berkata, bahwa tawakal tanpa usaha adalah kebodohan, sedangkan usaha tanpa tawakal adalah kesyirikan. Kebodohan di sini berarti ketidaktahuan, padahal Allah SWT sendiri yang menyuruh kita untuk berusaha seoptimal mungkin. “Setelah kalian menunaikan salat, maka jelajahilah muka bumi ini dan carilah karunia Allah. Banyak-banyak berdzikirlah kepada Allah, semoga kalian bagian dari orang yang berhasil .”

Tidak diragukan lagi, bahwa usaha merupakan bagian yang cukup penting dari tawakal. Untuk memperkuat hal tersebut, mari kita telaah firman Allah dalam QS. Al-Anfal ayat 60, “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya.” Pada ayat ini, sebetulnya mudah saja bagi Allah untuk menghancurkan musuh Nabi, akan tetapi Yang Maha Bijaksana mendidik manusia untuk berproses. Sebelum berperang, hendaknya mempersiapkan dahulu segala bentuk kekuatan, baik dari segi strategi, senjata, pasukan dan lain sebagainya.

Lebih tegas lagi, sabda Rasulullah berikut menjelaskan konsep tawakkal yang sebetulnya. “Jika kalian bertawakkal kepada Allah sesuai dengan konsepnya, Maka Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki bagi seekor burung yang mengais penghidupan di pagi hari, kemudian pulang sore dalam keadaan kenyang”. Imam Baihaqi menjelaskan pokok Hadits ini bahwa manusia hendaknya seperti burung, dimana untuk mendapatkan suatu makanan, tidak hanya menunggu sekonyong-konyong pemberian dari Allah SWT. Dalam mencapai suatu hal, hendaknya manusia juga demikian, yaitu berusaha dan bekerja keras, urusan hasil Allah yang menjamin.

Senada dengan Hadits di atas, ada satu hal yang menarik dari ungkapan Emha Ainun Najib dalam bukunya Anggukan Ritmis Pak Kiai. Ia mengatakan, “Pernahkah Anda merasa perlu beristikharah untuk menentukan apakah akan pergi pakai bus kota ataukah kendaraan lainnya? Saya yakin jawaban Anda adalah ‘tidak’. Hal tersebut bukan karena kita meniadakan peran Tuhan. Melainkan karena Allah sendiri yang memang telah memutuskan untuk berbagi tugas dengan makhluk-Nya.” Ungkapannya cukup untuk menjelaskan bahwa manusia tidak bisa seenak jidat mengandalkan Tuhannya. Meskipun Ia adalah Sang Pemilik segalanya, manusia sejatinya perlu bekerja keras untuk menunaikan tugasnya, yaitu berpikir dan bertindak sesuai apa yang ditimbangnya benar.

Saya sepakat dengan ungkapannya, “Allah telah memutuskan untuk berbagi tugas dengan makhluk-Nya”. Ini sejalan dengan penugasan nabi untuk menuntun manusia menuju hidayah-Nya. Sejatinya, Allah Maha Mampu untuk memberi hidayah kepada manusia tanpa lewat perantara. Bukankah Yang Maha Bijaksana sendiri  berfirman,“Sesungguhnya Aku menjadikan khalifah (pengganti) di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah:30). Untuk menjelaskan pentingnya usaha dalam bertawakal tentu saya rasa tidak ada habisnya. Hanya saja, kita tidak banyak mengetahui urgensitasnya. Wajar, kita makhluk yang ingin mengambil porsi mudahnya saja. Sehingga, ketika berusaha terlalu susah untuk dilakukan, maka enaknya adalah duduk manis menunggu pemberian Yang Maha Kuasa.

Mengamalkan tawakal dalam arti menyeimbangkan usaha dengan kepasrahan kita kepada Allah memang berat. Karena berat, ganjarannya sangat menjanjikan, balasannya setimpal dengan tingkat kesulitannya.  Rasulullah SAW bersabda, “Tujuh puluh ribu umatku akan masuk surga tanpa melalui hisab”, beliau memaparkan bahwa salah satu bagian dari mereka adalah alladzîna ‘alâ rabbihim yatawakkalûn, yaitu orang-orang yang hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal.

Wabakdu, semoga kita termasuk dalam golongan orang yang bertawakal. Yaitu orang-orang yang menyadari kebesaran Allah SWT untuk selalu dilibatkan dalam kehidupannya. Juga mereka yang tidak menafikan kewajibannya sebagai manusia dalam berusaha dan berproses.

 

 

 

 

Back to top button