Mengenal Fikih Peradaban

Oleh: Muhamad Abdul Khasi
Perubahan menjadi satu keniscayaan di dalam kehidupan, sehingga menuntut manusia untuk selalu beradaptasi dengan lingkungan dan keadaan sekitarnya. Baik itu dari segi ekonomi, sosial, politik, bahkan aturan pun menuntut adanya pembaruan. Terlebih di era sekarang ini, di zaman serba cepat; terutama perkembangan arus teknologi yang semakin canggih sehingga mempengaruhi pola pikir dan perilaku manusia, baik dalam persoalan bernegara maupun beragama. Tidak hanya itu, perubahan iklim dunia yang tidak stabil memicu munculnya problematika yang berpengaruh pada beberapa sektor kehidupan. Hingga baru-baru ini, PBNU memunculkan term Fikih Peradaban yang disinyalir mampu menjawab perubahan zaman. Tentu term ini agak asing di telinga kita. Lantas, apakah itu fikih peradaban? Bagaimana formulasi ideal term tersebut untuk diejawantahkan?
Sebelum membahas lebih jauh, saya akan terlebih dahulu memaparkan latar belakang munculnya term di atas. Term ini merupakan gagasan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang diketuai oleh KH. Yahya Cholil Tsaquf atau biasa disapa Gus Yahya, sebagai bentuk upaya warga Nahdliyin dalam menjawab tantangan global. Kemudian term ini dikemas dengan halakah sebanyak 250 kali dalam rangka menyambut satu abad NU. Sebenarnya, term tersebut merupakan tindak lanjut dari gagasan Gus Dur pada Muktamar ke-28 yang diselenggarakan di Yogyakarta, dengan judul Rekonstektualisasi Kitab Kuning.
Estafet visi ini tentu menjadi wacana menarik bagi warga Nahdliyin dan masyarakat Indonesia. Pun, hal ini menjadi gebrakan untuk menghidupkan kembali spirit intelektualitas yang telah lama hilang. Tujuan diadakan halakah fikih tersebut adalah untuk mengkontekstualisasikan ajaran pesantren dan kitab kuning yang dipelajarinya, supaya dapat menjawab persoalan-persoalan sesuai dengan keadaan masyarakat. Selain itu, dari halakah tersebut diharapkan nantinya akan mencetak ulama pemikir NU yang kritis dan berwawasan luas seperti pada masa Gus Dur.
Kembali pada pembahasan awal, tentang pengertian fikih. Secara bahasa menurut ulama Ushul Fikih yaitu al-fahmu yang berarti paham. Sedangkan secara istilah “al-Fiqhu huwa al-‘ilmu bi al-ahkâmi al-syari’ah al-‘amaliyah al-muktasab min adillatihâ al-tafshiliyah”. Artinya, yakni memahami hukum-hukum syariat amaliah yang digali dari dali-dalilnya secara terperinci. Sedangkan peradaban sendiri diambil dari bahasa arab yaitu al-hadlârah yang memiliki arti peradaban.
Kiai Afifudin Muhajir menegaskan bahwa yang dimaksud dari fikih peradaban itu bukan fikih adab, fikih yang mengatur hubungan antara guru dengan murid atau kiai dengan santrinya. Tetapi fiqh al-hadlârah adalah fikih yang berkaitan erat dengan peradaban. Peradaban yang dimaksud di sini adalah pembangunan akhlak dan adab bukan pembangunan fisik, seperti gedung, jembatan dan infrastruktur lainnya.
Makna peradaban di dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun diterangkan bahwa manusia merupakan makhluk yang bermasyarakat atau berpolitik (al-insanu hayawanun madani). Karena pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Untuk memenuhi kebutuhannya manusia cenderung membutuhkan pertolongan manusia lain. Dengan adanya rasa memenuhi kebutuhan inilah manusia dituntut untuk melakukan interaksi dengan sesama. Berawal dari lingkup perseorangan, lama-kelamaan akan meluas ke banyak orang sehingga terciptalah ruang lingkup golongan atau kelompok yang biasa kita kenal dengan masyarakat.
Masyarakat dalam pengertian Ibnu Khaldun adalah sekumpulan manusia yang berkontribusi dalam menjalankan aktivitasnya sebagai penggerak di muka bumi ini. Manusia yang bermasyarakat mempunyai peranan penting dalam mendirikan dan mengakumulasikannya menjadi sebuah bangsa atau negara. Tentunya dalam perannya manusia memiliki andil yang berbeda-beda sesuai dengan kadar keahlian masing-masing. Hal ini ditentukan oleh watak dan pola pikir, yang mana dua hal tersebut terbentuk dari lingkungan sebagai tempat bersosialisasi dan juga letak geografis.
Al-insânu hayawânun madani terlihat selaras dengan makna masyarakat madani yang identik dengan masyarakat kota. Artinya, mereka orang-orang yang mempunyai perangai dinamis, sibuk, berpikir logis, berpola hidup praktis, berwawasan luas dan mencari-cari terobosan baru demi memperoleh kehidupan yang sejahtera. Perangai tersebut didukung dengan mental akhlak al-karimah. Jika makna masyarakat madani memang demikian, tidak salah jika disebut sebagai masyarakat ideal.
Kata masyarakat madani sendiri sering diartikan sebagai terjemahan dari civil society oleh banyak orang. Namun, menurut cendekiawan muslim Indonesia, Nur Cholis Madjid, memandang bahwa masyarakat madani dalam perspektif Islam bukan terjemahan dari civil society. Tersebab, terdapat kesalahan dari segi bahasa dan karakternya berbeda dengan masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah pasca-hijrah.
Kondisi masyarakat Madinah sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW memang cukup memprihatinkan. Masih banyak terjadi peperangan antar-kabilah, perebutan kekuasaan dan politik yang carut-marut. Hal ini karena belum ada model pemerintahan yang mengatur kehidupan masyarakatnya. Terlebih sebelum munculnya Suku Auz dan Khazraj, penduduk Madinah merupakan orang-orang Yahudi yang terusir karena adanya invasi bangsa Romawi ke wilayah Syria dan Mesir. Oleh karena itu, sebelum kedatangan bangsa Arab, Madinah sepenuhnya dikuasai oleh orang Yahudi baik dari segi politik, sosial dan ekonomi.
Selain dari 3 aspek tersebut, dalam aspek keagamaan penduduk Madinah juga mirip dengan Makkah sebelum Islam. Masyarakat Madinah dari suku Auz dan Khazraj menyembah berhala, sementara itu orang-orang Yahudi sebagai ahlu al-kitâb mempercayai keesaan Tuhan (monoteisme). Karena perbedaan agama yang dipeluk, sehingga kerap menimbulkan konflik.
Datangnya Rasullullah SAW dengan membawa misi Li utammima makârima al-akhlâq, yakni untuk menyempurnakan akhlak, benar-benar menjadi jawaban pelbagai persoalan yang menjangkit masyarakat Madinah dan Makkah. Metode dakwah beliau dengan cara melakukan pendekatan-pendekatan persuasif dan lelaku yang mulia membuat setiap orang berdecak kagum sehingga dakwah yang beliau sampaikan mudah diterima.
Terbukti setelah diutusnya Rasulullah menjadi nabi terlihat perubahan di kota Makkah. Terhapusnya kejahilan-kejahilan, seperti penindasan terhadap kaum perempuan, berkurangnya orang yang menyembah berhala. Begitu pula yang terjadi di Madinah, terlebih lagi setelah hijrahnya Rasulullah Saw bersama para sahabat. Madinah menjadi maju dalam peradaban baik dari segi ekonomi, sosial-budaya, politik dan keagamaan. Tentu hal ini tak luput dari kerjasama apik sesama penduduk Madinah. Bahkan digadang-gadang peradaban yang ada pada saat itu merupakan peradaban masyarakat terbaik.
Hal ini juga dikatakan oleh Gus Ulil pada salah satu seri halakah fikih peradaban. Nabi Muhammad tidak terlalu suka dengan Badui, karena hidupnya nomaden atau berpindah-pindah tempat. Sebagaimana yang terdapat dalam al-Quran surat al-Taubah ayat 97. Gus Ulil memaknai bahwa hidup berpindah tempat itu sulit menciptakan sebuah peradaban. Karena peradaban hanya bisa terjadi di suatu tempat yang tetap, dimana di dalamnya ada masyarakat tinggal menetap dan membangun peradaban secara bersama-sama.