Opini

Introspeksi Diri

 

Oleh: Muhammad Thariqul Akbar

Penolakan pembangunan gereja di Cilegon, Banten, membuat perasaan saya sebagai salah seorang umat beragama menjadi sedih nan pilu. Mengutip judul berita di tirto.id, Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme, yang dipublikasikan pada 18 Juli 2022, sekitar 3.903 umat Kristen dari 856 Kepala Keluarga (KK) terpaksa menempuh puluhan kilometer untuk melaksanakan ibadah mingguannya. Selain jarak yang terbilang jauh, Gereja Kristen Batak Protestan (HKBP) kota Serang sebagai tempat tujuan pun sudah sesak dan harus buka seharian (06.00-19.00 WIB). Hal ini dikarenakan menampung 10.000 KK dari empat jemaat gereja yang berbeda.

Kepiluan dan kesedihan ini semakin kelam, mengingat dalang di balik penolakan tersebut berasal dari pemeluk agama saya sendiri, Islam. Padahal, Islam ‘mendaku’ sebagai agama kasih sayang dan negara pun secara yuridis telah menjamin kebebasan beragama tiap warganya. Terlebih pula, gereja adalah kebutuhan mendasar umat Kristen sebagai sentral pendidikan masyarakat yang religius, tergambar dalam ritual ibadah yang rutin dilakukan tiap minggunya.

Meski peribadatan tiap gereja berbeda-beda, namun secara umum terdiri dari empat sesi: berdoa, membaca kitab suci, menyanyikan lagu pujian dan mendengarkan ceramah keagamaan. Ada dua prosesi dalam rangkaian ibadah tersebut yang ingin saya highlight, yaitu saat teduh dan sesi doa. Pertama, saat teduh yang merupakan waktu hening bagi tiap jemaat, berlangsung sekitar satu sampai dua menit. Saat teduh dilaksanakan dua kali, yaitu sebelum pembukaan rangkaian ibadah dan selepas khotbah. Ia menjadi waktu untuk berdoa, merenungi serta mengkontekstualisasikan khotbah yang baru saja disampaikan dengan kehidupan masing-masing.

Kedua, sesi doa yang selalu dimulai dengan pujian. Setidaknya, doa hari Minggu terdiri dari tiga sesi, yaitu doa pengakuan dosa, pertolongan agar diberi pemahaman akan khotbah serta pengakuan iman. Melalui gambaran singkat saat teduh dan sesi doa, saya kira sudah lebih dari cukup menjadi alasan kenapa gereja disebut sebagai kebutuhan mendasar umat Kristen dan menjadi sentral pendidikan iman dan spiritual. Apalagi jika kita mengingat gereja memiliki fungsi yang meliputi fungsi liturgi: pewartaan, pelayanan, persekutuan dan kesaksian. Jelas, ketiadaan gereja sudah barang tentu menghambat pembinaan iman dan rohani serta mental spiritual umat.

Kondisi Masjid Kita

Selain menjadi catatan cara beragama kita antar-umat beragama, insiden penolakan ini seyogianya menjadi ajang umat Islam untuk mempertanyakan kembali interaksinya dengan masjid yang sudah menjamur di mana-mana. Bagaimana peran masjid dalam kehidupan spiritual-sosial, serta sejauh apa interaksi kita dengannya? Mempertanyakan kembali sejauh apa peran masjid dalam milieu kaum muslim saat ini perlu kita angkat kembali. Apakah masjid hanya berfungsi secara vertikal tanpa menyentuh sisi horizontal sedikitpun, bahkan dicukupkan dalam interaksinya yang singkat, seperti hanya digunakan untuk shalat lima waktu saja?

Mari sejenak kita kembali ke masa awal Islam. Dimana masjid Quba disebut sebagai masjid pertama yang dibangun nabi Muhammad SAW. Pada saat itu, Quba tidak hanya digunakan sebagai tempat ritual ibadah semata, seperti shalat, mengaji dan lainnya. Namun, ia memiliki peran yang begitu strategis, semisal menjadi tempat pertemuan dan pengajaran Nabi kepada para Sahabat, tempat mengatur strategi perang, bahkan menjadi tempat “pelarian” mereka yang sesak akan hiruk-piruk peperangan suku Arab kala itu yang tiada akhirnya.

Peran masjid yang demikian besar sejatinya terus berlanjut, bahkan hingga hari ini. Tentu kita sudah tidak asing dengan tradisi ulama kita yang mengunjungi Makkah tidak hanya untuk menunaikan ibadah haji, namun juga menuntut ilmu di majelis-majelis yang ada di sekitarnya. Pun, al-Azhar yang masih kokoh berdiri sampai saat ini adalah kawah candradimuka para penuntut ilmu dari berbagai penjuru belahan dunia. Dengan demikian, masjid tidak sekadar tempat ibadah ritual semata. Lebih dari itu, ia adalah tempat pembelajaran—utamanya ilmu agama—dan sentral pembinaan masyarakat muslim.

Tentu peran masjid yang hendak dibangun selaiknya menyesuaikan dengan situasi sosial dan sumber daya manusia yang ada. Namun setidaknya, setiap masjid hendaknya rutin mengadakan pengajian mingguan guna mendidik masyarakat akan ajaran agama dan menuntun umat dalam menghadapi persoalan yang tengah dihadapi. Tersebab, saya percaya bahwa agama seyogianya tampil begitu dekat dengan kehidupan pemeluknya. Salah satu cara menampilkan wajah agama yang dekat adalah kontekstualisasi ajaran agama dengan perkembangan zaman dan permasalahan sosial yang ada.

Sekadar gambaran, tokoh agama atau penceramah di desa petani sebaiknya tidak mencukupkan diri dengan doa keselamatan dunia-akhirat dan meminta ampunan saja. Akan tetapi, ia perlu mendoakan dan memberi perhatian terhadap masalah yang sedang dihadapi para petani, seperti serangan hama atau mahalnya harga pupuk, agar bisa segera teratasi. Bahkan, seorang penceramah bisa mendoakan kelimpahan, bagusnya kualitas serta tingginya harga hasil panen. Adanya perhatian kepada permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat oleh tokoh agama akan menumbuhkan rasa kedekatan antara agama dengan para pemeluknya, sehingga agama benar-benar hadir-aktif dalam kehidupan bermasyarakat.

Pengajian mingguan tersebut dapat terus dikembangkan, sudah termanajemen dengan baik. Salah satu contohnya seperti apa yang dilakukan oleh pengurus Masjid Jendral Sudirman (MJS), Yogyakarta. Pengurus MJS mengadakan berbagai kajian rutin dan tematik dengan mengangkat berbagai pembahasan. Semisal, kajian tasawuf dengan mengkaji kitab Nashâih al-Ibad, kajian Matsnawi karya Rumi bahkan kajian filsafat, diampu oleh Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag yang selalu dipenuhi oleh mahasiswa dan masyarakat setiap minggunya.

Manajemen masjid yang baik sangat mempengaruhi peran masjid yang diciptakan. Hal itu dapat kita lihat—misalnya—di manajemen masjid Jogokariyan, Yogyakarta yang mengelola masjid dengan sistem pemetaan, pelayanan dan pemberdayaan. Melalui pemetaan pada peta dakwah, wilayah kerja nyata dan jamaah, pengurus masjid melakukan pembacaan SWOT (Strength, Opportunities, Weakness, Threath) sehingga mampu menyesuaikan kegiatan masjid dengan kondisi dan situasi masyarakat yang sedang dihadapi. Selain itu, terdapat program saldo infak nol rupiah, sedekah ATM beras serta penginapan dan penyewaan aula pertemuan yang menjadi salah satu penggerak sektor ekonomi masjid.

Ada banyak kreasi lain yang bisa menjadi solusi alternatif dalam rangka mendekatkan agama dengan masyarakat melalui optimalisasi peran masjid. Namun di akhir tulisan ini, saya hanya ingin mengajukan satu pertanyaan, “Benarkah militansi ‘pemewahan’ masjid yang masif dilakukan di mana-mana adalah bentuk dari syiar agama atau hanya corak dari pemenuhan ego semata? Jika tidak, bukankah derasnya arus keuangan itu bisa dialirkan melalui kegiatan-kegiatan yang lebih konkret output-nya?!”

Back to top button