Islamologi

Aktualisasi Nilai-nilai Islam

 

Oleh: Nur Inayah

Dari masa ke masa, hampir seluruh aspek kehidupan manusia mengalami berbagai perubahan yang signifikan. Mulai dari perubahan sosial, budaya, hingga ideologi terlihat jelas semakin menjamur bahkan hingga ke masyarakat pedalaman. Pelbagai perubahan tersebut menjadi sebuah tantangan besar terhadap persatuan umat manusia, khususnya bagi para pemeluk agama Islam. Tak ayal, bagi mereka yang menyikapinya terlalu ekstrem hal ini mampu memecah belah masyarakat, baik dalam skala nasional maupun internasional. Alasan klise mengenai kearab-araban sebagai simbolis Islam ataupun kebebasan mutlak adalah hak asasi setiap manusia selalu menjadi senjata ampuh untuk meretakkan persatuan.

Melihat fenomena semacam ini, terlintas pertanyaan saya mengenai sikap umat Islam dalam menerima dan menolak perubahan. Jika sifat Islam adalah shâlih li kulli zamân wa makân, lalu bagaimana cara Islam mengaktualkan hal tersebut terhadap berbagai perubahan yang terjadi hingga sekarang? Apakah Islam turut berkembang untuk menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi masyarakat di setiap zaman sebagaimana sifat kehidupan, ataukah sebaliknya?

Ajaran Islam–dalam hal ini merujuk kepada agama-agama samawi–yang diturunkan Allah SWT selalu menyesuaikan kebutuhan umat manusia. Melalui para rasul-Nya, dari yang pertama hingga yang terakhir, Islam selalu menghadirkan hukum-hukum dan ketentuan yang relevan terhadap permasalahan umat. Di samping itu, penurunan dan pemberlakuan hukum Islam juga didasarkan pada tingkat kematangan akal manusia, bukan berangkat dari kewajiban mengejawantahkan teks itu sendiri.

Apabila ajaran-ajaran agama samawi sebelumnya hanya ditujukan kepada suatu kaum tertentu, maka ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW tidaklah demikian. Tersebab sebelum diutusnya ke muka bumi, ajaran agama samawi hanya menyesuaikan terhadap situasi dan kondisi suatu kaum serta hanya berfokus untuk mengobati penyakit rohani kaum tersebut. Sedangkan pemberlakuan hukum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW tidak hanya ditujukan pada suatu kaum ataupun golongan saja, namun kepada seluruh umat manusia pada masanya, bahkan hingga akhir zaman.

Ketika Nabi Muhammad SAW diutus, umat manusia telah mencapai taraf kematangan berpikir yang cukup tinggi. Mereka mampu memenuhi segala hajat lahiriahnya dengan mengoptimalisasi kemampuan akal mereka, meski di sisi lain kondisi rohani mereka masih cukup rentan. Dari sinilah, sebagai nabi dan rasul terakhir, Nabi Muhammad SAW diutus sebagai pembawa risalah sempurna yang merupakan finalisasi syariat dan hukum Islam yang telah ditetapkan melalui para nabi sebelumnya. Kredibilitas syariat Islam pun berhasil berada di puncak tertinggi, sebab argumentasi-argumentasi yang termaktub dalam al-Qur’an tak seorang pun mampu mematahkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Quraish Shihab dalam diskusi mereka yang tertuang di bukunya dengan judul “Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam”.

Sekilas, kita dapat mengetahui bahwa Islam juga turut mengalami evolusi sebagaimana kehidupan masyarakat. Dari utusan pertama hingga yang terakhir, Islam berubah beriringan dengan modernisasi berbagai aspek kehidupan manusia dari masa ke masa. Misalnya, ketika pada masa Nabi Muhammad SAW–sebagai pemungkas para utusan sebelumnya, syariat dan hukum Islam masih turut berevolusi menyesuaikan tingkat kesiapan masyarakat dalam menerima syariat tersebut.

Banyak contoh yang diberikan oleh Al-Qur’an mengenai tahapan-tahapan hukum Islam pada Nabi Muhammad SAW. Salah satu contohnya seperti permasalahan hukum haram khamr. Pada mulanya, ayat Al-Quran turun menyinggung sebagian nikmat-nikmat yang Allah SWT anugerahkan kepada manusia (QS. An-Nahl: 67). Kemudian turun lagi ayat yang merupakan jawaban atas pertanyaan menyangkut khamr dan perjudian (QS. Al-Baqarah: 219). Kemudian disusul lagi hingga menemui hukum finalnya yang menyatakan larangan khamr secara tegas ( QS. Al-Maidah: 90).

Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa turunnya hukum-hukum Islam secara bertahap tidak diragukan lagi. Namun dengan demikian, setelah proses pemberlakuan hukum-hukum tersebut Allah SWT menetapkan ketetapan final yang tak dapat digoyahkan oleh siapapun (QS. Al-Maidah: 3). Semenjak saat itulah, wahyu tidak lagi turun dan hukum-hukum Allah SWT tidak lagi berkembang. Dikarenakan, hukum-hukum tersebut telah jelas halal-haramnya dan masyarakat pun telah siap sepenuhnya dalam menjalankan hukum-hukum tersebut.

Kondisi Masyarakat Kini                                                     

Menurut para sosiolog, seiring berjalannya waktu gejala-gejala sosial dalam masyarakat terus berkembang. Permasalahan-permasalahan yang terjadi pun semakin kompleks, berbanding lurus dengan evolusi akal mayarakat yang kian maju. Namun mirisnya, evolusionisme yang terjadi tersebut secara perlahan menggoyahkan keyakinan masyarakat mengenai konsep Islam yang berlaku bagi seluruh zaman dan tempat setelah syariat Islam terakhir ditetapkan.

Ketetapan final hukum-hukum dan syariat Islam yang telah diputuskan kurang lebih empat belas abad lalu terkesan terlalu kaku bagi sebagian golongan apabila diterapkan di masa ini. Pasalnya, situasi dan kondisi masyarakat saat pertama kali hukum syariat tersebut dipatenkan tentu jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Sehingga, timbullah kubu konservatif dan kubu liberal yang tampak jelas sangat berlawanan dalam menolak dan menerima perubahan tersebut.

Permasalahan ini menuju pada satu muara, yaitu menanyakan aktualisasi universalitas ajaran Islam. Term Islam shâlih li kulli zamân wa makân agaknya masih sering dipertanyakan. Padahal, kebolehan berijtihad bagi para pakar agama dalam mengahadapi setiap persoalan masyarakat yang terus berkembang telah menjadi bukti konkret keabsahan term ini.

Namun di sisi lain, kebolehan berijtihad menimbulkan sebuah celah menurut pendapat sebagian golongan. Hal tersebut adalah bahwa Islam masih berevolusi mengikuti peradaban manusia, meskipun ketetapan final Allah SWT telah diputuskan. Dengan demikian, Al-Qur’an dan Sunah sebagai dua sumber utama syariat dan hukum-hukum Islam, dinilai tak lagi relevan.

Di balik permasalahan ini, terdapat satu hal yang luput mengenai pemaknaan ijtihad. Menurut Prof. Quraish Shihab, bahwa ijtihad para ulama dan cendekiawan berfungsi untuk mencapai pengetahuan dengan mengkaji permasalahan-permasalahan baru, lalu mengaitkannya ke dalam kaidah-kaidah yang telah disimpulkan Al-Qur’an dan Sunah. Dengan kata lain, hukum-hukum hasil dari ijtihad tersebut bukanlah bentuk evolusi dan relativitas dari hukum Islam yang telah dipatenkan. Hal ini disebabkan, apabila ternyata hasil ijtihad mereka tersebut bertolak belakang atau berselisih dengan dua sumber hukum utama Islam, setiap umat Islam berhak untuk mencampakkannya dan kembali kepada hukum asalnya.

Adanya ijtihad ulama menunjukkan bahwa Islam yang dibawa oleh utusan terakhir bersifat fleksibel dan universal. Eksistensinya merupakan cara Islam dalam menjawab permasalahan-permasalahan baru yang terus berkembang sebagai konsekuensi dari berkembangnya peradaban manusia. Tentu hal ini tanpa mengorbankan fungsi utamanya, yaitu membawa umat manusia menuju kesejahteraan duniawi dan ukhrawi.

Dikotomi antara modernisasi dan agama memang selalu diperdebatkan. Ilmu pengetahuan yang terus berkembang mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Sedang di sisi lain, kebakuan agama selalu menjadi momok yang kerap dikambinghitamkan. Selaras dengan hal ini, Muhammad al-Bahy, seorang cendekiawan jebolan al-Azhar dan Jerman, dalam karyanya yang berjudul “Al-Fikr al-Islâmî wa al-Mujtama’ al-Mu’ashir: Musykilât al-Hukm wa al-Taujîh”, mengangkat sebuah pembahasan mengenai sekelumit permasalahan ini. Melalui salah satu sub judulnya, ia menerangkan bahwasanya ilmu lah yang berkembang bukan agama.

Akhir kata, term Islam shâlih li kulli zamân wa makân sejalan dengan realitas keadaan zaman sekarang. Meski sudah dipatenkan kurang lebih 14 abad silam, syariat dan hukum-hukum Islam masih tetap relevan dengan permasalahan-permasalahan sekarang. Tersebab di dalam syariat Islam, Allah SWT menetapkan prinsip-prinsip dasar yang tidak berubah, namun dapat menangguhkan rincian ketetapan-ketetapannya sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat melalui ijtihad para ulama. Sehingga, konkretisasi universalitas Islam tersebut dapat diaktualisasikan dan diterapkan di setiap zaman, keadaan dan tempat.

Back to top button