IslamologiOpini

Memaknai Pelabelan Murabbi al-Rûh

Oleh : Finatih

Sering kali kita mendengar istilah murabbi al-rūh disandarkan kepada seorang pemuka agama sebagai salah satu simbol penghormatan terhadapnya. Sepertinya, istilah murabbi al-rūh tidak asing lagi di tengah-tengah masyarakat, apalagi di dunia tarekat. Penggunaan kalimat tersebut sering  ditemukan di media masa atau kegiatan yang melibatkan orang banyak untuk berkumpul di satu tempat tertentu. Terlebih jika suatu perkumpulan tersebut dihadiri oleh seseorang dianggap lebih paham tentang agama ketimbang yang lain. Masyarakat seakan latah menyandangkan titel murabbi al-rūh  tanpa memerhatikan esensi makna dan relevansinya.

Beberapa faktor tersebut, menjadikan istilah murabbi al-rūh cukup dekat dan familiar di lingkungan masyarakat Islam. Hal ini menjadi salah satu alasan untuk membahas istilah murabbi al-rūh secara lebih komprehensif. Tidak sedikit dari kata tersebut memunculkan pertanyaan mendasar. Semisal, apakah kata tersebut sudah digunakan secara tepat di tengah-tengah masyarakat Islam? Atau justru mengalami ia pergeseran makna? Tentunya, pemaknaan dalam kata tersebut diharapkan tidak bias sehingga mengakibatkan pelbagai pelabelan yang membabi buta kepada siapa pun.

Kepopuleran istilah murabbi al-rūh  di kalangan khalayak luas, tidak berbanding lurus dengan pemahaman makna yang berkembang. Sehingga berdampak pada terkikisnya esensi makna kalimat murabbi al-rūh yang sebenarnya memiliki nilai yang cukup dalam. Misalnya, banyak orang yang  belum bisa dibuktikan kapabilitas keilmuannya, namun secara sembrono mengeluarkan fatwa-fatwa agama yang tak berdasar dan merasa bahwa dirinya harus dihormati sebagai seseorang dengan titel murabbi al-rūh. Pemahaman keliru yang tersebar di kalangan masyarakat awam tersebut, dapat menghantarkan kita kepada jalan kesesatan dan pensakralan yang tak terarah. Pun, tidak jarang ditemukan bahwa orang-orang yang dinisbatkan dengan kalimat tersebut, ternyata laku-lakunya berseberangan dengan ajaran Islam.

Secara bahasa, murabbi al-rūh terdiri dari dua kata, murabbi dan al-rūh. Murabbi  adalah isim fâ’il yang berasal dari kata rabbâ-yurabbî yang diartikan sebagai pendidik, sedangkan al-rūh diartikan sebagai jiwa. Kemudian lafadz al-rūh ini disandarkan pada kata ganti pertama menjadi murabbi rūhī  atau murabbi arwâhina dalam penggunaannya. Maka, secara bahasa istilah ini berarti pendidik atau guru bagi jiwa kita. Jika ditelisik dari arti kedua kata tersebut, tentu penisbatan ini memiliki tanggung jawab moral yang berat. Sehingga orang yang dinisbatkan dengan kalimat tersebut memiliki kualifikasi keilmuan Islam yang mendalam serta moral yang baik.

Bagi seorang penuntut ilmu, guru merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam sebuah proses kegiatan belajar mengajar. Dalam membuat keputusan untuk menjadikan seseorang sebagai guru, perlu adanya kehati-hatian. Tersebab, seorang guru menjadi salah satu faktor penentu akan keberhasilan seorang murid di masa mendatang. Oleh karenanya mengapa hal ini menjadi sangat penting, sebab peran dan tugasnya yang memang krusial. Serta berimplikasi besar terhadap kapasitas dan perkembangan keilmuan seorang murid.

Syaikh Zarnuji menuturkan dalam kitabnya yang masyhur, Ta’lîm al-Muta’allim fî Thariqâ al-Ta’allum, bahwasanya seorang guru diartikan sebagai orang tua kedua bagi seorang murid yang bertanggung jawab mengisi jiwa dan pikirannya dengan ilmu pengetahuan dan moral yang baik. Bahkan derajat guru lebih tinggi ketimbang orang tua biologis, sebab peran guru ialah sebagai murabbi al-rūh  yang menghantarkan kita kepada Tuhan dan kehidupan yang lebih nyata yakni akhirat.

Tentu, seorang guru berbeda perannya dengan orang tua biologis kita. Orang tua biologis sebagai murabbi al-jasad  yang bertanggung jawab pada nafkah lahir, membesarkan dan menjaga kesehatan lahiriah. Seorang pendidik harus lah benar-benar menjadi pendidik, tidak sesempit kegiatan belajar dan mengajar di kelas semata, akan tetapi jauh lebih dari itu. Maksudnya, proses transfer ilmu dari sang guru kepada muridnya, hendaknya juga menjadi sebuah oase bagi jiwa sang murid yang sedang kehausan. Karena pendidikan jiwa menjadi salah satu modal utama dalam melahirkan generasi yang unggul dalam berbagai aspek.

Nah, belakangan ini banyak kita temukan data kasus yang menunjukkan fenomena tak senonoh dalam dunia pendidikan yang melibatkan guru sebagai pelaku utamanya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengungkapkan 88 persen pelaku kekerasan seksual di sekolah adalah seorang guru. Komnas Perempuan mencatat 51 kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan dalam rentang 2015 sampai Agustus 2020. Dari total kasus itu, pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam menempati urutan kedua atau 19%. Di posisi pertama ditempati oleh universitas dengan 27%.

Data-data di atas menunjukan bahwa masih banyak pendidik yang mengalami degradasi moral dan telah berada sangat jauh dari definisi ideal seorang guru yang akan dijelaskan kemudian. Faktor lain yang menjadi penyebab hal semacam ini, ialah kesamaran perihal relasi kuasa antara guru dan murid. Perilaku dominasi seorang guru menjadikan muridnya pasif dan tidak memiliki akses untuk menyuarakan pendapat atau kritiknya, sehingga murid dipaksa untuk selalu membenarkan apapun titah yang keluar dari gurunya.

Keidealan dunia pendidikan sangatlah berperan dalam menentukan kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan sumber daya alam yang melimpah, adanya sumber daya modal serta teknologi yang semakin canggih, tidak akan mempunyai kontribusi yang bernilai tambah tanpa didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan demikian, peningkatan kualitas suatu bangsa sesungguhnya bertumpu pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya, dan hanya akan dapat dicapai salah satunya melalui penekanan pada pentingnya pendidikan.

Artinya, pendidikan mempunyai kontribusi yang sangat besar dan signifikan dalam meningkatkan kualitas suatu bangsa. Sejalan dengan hal itu, Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia juga menuturkan terkait definisi ideal seorang pendidik yang dituangkan ke dalam semboyan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. maknanya, seorang pendidik setidaknya harus memiliki 3 hal utama dalam kepribadiannya, yakni menjadi teladan, memotivasi, dan menuntun.

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali atau lebih masyhur dengan nama Imam al-Ghazali, seorang filsuf dan teolog muslim asal Persia yang juga merupakan seorang ahli Pendidikan menuturkan dalam kitabya Ihyâ ‘Ulûmuddîn, seorang pendidik adalah orang yang berilmu, beramal, mengajarkan ilmu dan memberi manfaat bagi kehidupan akhirat serta menunjukkan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bahkan, al-Ghazali juga juga menuturkan bahwasannya seorang pendidik dianggap sebagai pengganti Rasulullah SAW. Sehingga selain tugasnya mengajarkan ilmu-ilmu kepada muridnya, seorang pendidik juga harus meneladani sifat-sifat Rasulullah SAW seperti berperilaku baik, bersungguh-sungguh dan zuhud. Keidealan seperti inilah yang dimaksudkan dari kriteria seorang guru dengan label murabbi rūhī.

Apabila kriteria ideal seorang pendidik, sebagaimana disebutkan tadi, dapat ditemukan dalam diri setiap pendidik pada zaman sekarang, maka relevansi penggunaan istilah murabbi rūhī terhadap penggunaanya secara luas, akan lebih mudah kita temukan titik temunya. Lebih dari itu, kesadaran akan tanggung jawab besar seorang dengan predikat murabbi rūhī  akan membawa perubahan yang signifikan pada setiap lini dunia pendidikan bangsa kita.

Dari pemaparan diatas, kiranya memperjelas dan membuka perspektif kita secara lebih luas bahwasannya guru haruslah juga mendidik jiwa muridnya dan lebih bertanggung jawab lagi atas predikat yang disandangkan kepadanya dengan menyempurnakan definisi guru secara utuh dalam dirinya. Sehingga hal tersebut dapat meminimalisir adanya kesalahan pandang bagi orang awam dan berdampak pada keberkahan ilmu mereka.

Back to top button