Dialog Kebangsaan dan Budaya Perbedaan*
Oleh: Prof. Dr. Muhammad al-Dhuwaini (Wakil Imam Akbar al-Azhar al-Syarif)

Tidak bisa dimungkiri bahwa terdapat keragaman budaya, pemikiran, tradisi, dan kelompok di dunia ini bahkan di dalam anggota masyarakat. Perbedaan di tengah manusia sudah terjadi sejak lama, baik dalam hal agama, pengetahuan, karakter manusia, jangkauan cara pandang terhadap maslahat dan mafsadat, pun lingkungan serta budaya. Segala bentuk perbedaan tersebut terkadang menjadi sebab dalam membangun dan memajukan peradaban. Terkadang pula bisa menjadi sebab dalam meruntuhkan dan merobohkan peradaban.
Perbedaan yang konstruktif adalah perbedaan yang didasarkan pada aturan moral, prinsip-prinsip ilmiah yang sejalan dengan akal sehat, logika yang benar dan tujuan yang jelas. Sedangkan perbedaan yang destruktif adalah perbedaan yang didasarkan pada kekacauan moral, akal yang cacat dan logika yang tidak benar serta tanpa ada tujuan yang pasti.
Menyikapi perbedaan ini, kita harus mengembalikannya kepada dialog. Sebab tanpa dialog, perbedaan akan mengantarkan kepada bencana kegagalan dan memicu adanya perselisihan dalam hal-hal remeh. Dialog konstruktif harus didasarkan pada etika moral, prinsip ilmiah yang kokoh, tujuan yang jelas dan pondasi yang menjadi kesepakatan orang-orang yang berdialog. Kalau tidak demikian, maka tidak akan ada manfaat yang didapat dalam dialog tersebut. Imam al-Syatibi mengatakan, “Dua orang yang berdialog adakalanya sepakat atas suatu prinsip dasar yang menjadi rujukannya dan adakalanya tidak sepakat. Jika keduanya tidak sepakat, maka dialognya tidak akan menghasilkan manfaat.”
Allah SWT berfirman, “Berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125). Cara yang dimaksud dalam ayat ini adalah dialog yang merujuk kepada hikmah dan perkataan yang paling baik. Hal tersebut dapat dicapai dengan adanya kesepakatan atas prinsip-prinsip yang menjadi rujukan orang-orang yang berdialog. Prinsip-prinsip itulah yang kemudian disebut dengan hikmah. Kalau tidak demikian, maka dialog tidak akan menghasilkan apa-apa.
Dialog kebangsaan yang diserukan seorang pemimpin di tengah anggota masyarakat adalah perkara yang cukup urgen dan termasuk tuntutan zaman. Hal inilah yang memperkuat masyarakat demi kelangsungan hidup manusia. Maka dalam dialog tersebut, hubungan-hubungan kemasyarakatan menjadi kuat, sehingga timbul rasa saling menasihati dan memberikan pengaruh positif dalam rangka memperkuat keamanan masyarakat.
Di antara hal yang penting pula, bahwa orang-orang yang terlibat dalam dialog harus meletakkan prinsip dasar yang hakiki atas “perbedaan konstruktif”. Kita akan fokus pada anak kecil dan pemuda untuk membentangkan jalan yang akan dilaluinya sebagai acuan mereka. Sebab, tidak samar lagi bahwa terdapat upaya yang dilakukan sebagian budaya menyimpang untuk merusak anak kecil selaku generasi bangsa. Semisal budaya homoseksualitas yang dilarang secara syariat dan naluri. Hal ini tentu akan merusak kemurnian fitrah mereka, menghancurkan keamanan masyarakat, menempatkan manusia dalam jurang kepunahan dan merusak keluarga.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana kita menyikapi budaya perbedaan sehingga dapat mengantarkan kepada dialog yang sukses? Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengingatkan bahwa sangatlah tidak masuk akal menerima seseorang yang membiarkan pertumpahan darah, pembunuhan dan penghancuran negara dengan dalih menerima perbedaan. Padahal, sesungguhnya hal ini tidak sesuai dengan fitrah dan akal sehat serta tidak dibenarkan oleh agama.
Jika kita hendak mengoptimalkan budaya perbedaan, maka kita harus menetapkan dua langkah. Pertama, menghormati spesialisasi. Setiap manusia oleh Allah SWT telah diberikan akal naluri (al-‘aql al-gharizi) dan akal yang bekerja (al-‘aql al-muktasib). Akal naluri adalah sebuah potensi untuk memahami sesuatu, sehingga kemudian terjadi olah pikir dalam upaya memperoleh berbagai pengetahuan. Proses perolehan pengetahuan itulah yang disebut al-‘aql al-muktasib. Pengetahuan tersebut terkadang berupa pengetahuan-pengetahuan sederhana ataupun pengetahuan yang sangat mendalam dan detail. Perolehan pengetahuan itu bisa dicapai melalui proses belajar.
Tidak ada orang berakal yang akan menentang hal demikian. Melalui proses itulah akan muncul spesialisasi pengetahuan. Seorang ahli fikih, dokter, insinyur, ekonom, akuntan, dan pembangun akan menghabiskan waktunya untuk memperoleh pengetahuan sesuai bidangnya masing-masing. Bertahun-tahun ia akan berusaha mencari berbagai informasi sehingga menjadi pakar di bidang fokus kajiannya. Barangkali, akan ada orang bertanya, bukankah hal ini adalah “sebuah nasihat”?
Kita akan menjawab tidak. Akan tetapi, hal tersebut dalam rangka menghormati akal dan ilmu pengetahuan. Jika tidak demikian, maka orang yang membutuhkan operasi bedah jantung akan pergi ke ahli bedah operasi plastik karena keduanya sama-sama berprofesi sebagai dokter. Tidak akan ada orang berakal yang akan mengatakan demikian dan tidak akan ada orang yang mengatakan hal ini sebagai “sebuah nasihat”. Istilah tersebut adalah sebuah istilah yang dikatakan pada waktu, kondisi dan konteks tertentu. Oleh sebab itu, generalisasi hal tersebut merupakan kesalahan berpikir, karena terdapat perbedaan antara nasihat keagamaan dan penghormatan terhadap akal.
Kedua, menyebarkan kesadaran. Jika kesadaran adalah kemampuan seseorang untuk mengenal dirinya dan hal-hal yang meliputinya, maka pengetahuannya harus benar. Suatu pemahaman tidak akan dinilai benar kecuali menggunakan bahasa yang benar. Tersebab, pemahaman-pemahaman disampaikan melalui bahasa sebagai alat komunikasi. Ketika terjadi dusta dalam bahasa, maka hal itu akan berimplikasi pada kecacatan dalam memahami hal yang hendak disampaikan.
Anggota masyarakat harus menggunakan kata-kata yang baik dalam berkomunikasi. Allah SWT berfirman: “…ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah: 83). Bahasa kejujuran, kerendahan hati dan amanah adalah perkara yang terpuji. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Ada empat hal yang jika terdapat padamu maka perkara yang luput darimu di dunia tidak akan membuatmu merugi, yaitu: menjaga amanah, perkataan yang jujur, akhlak yang baik dan menjaga iffah dalam hal makanan.” (HR. Ahmad)
Kebohongan dan pengkhianatan akan mengantarkan kepada adanya konflik dan budaya perbedaan yang tidak konstruktif. Termasuk dari pengkhianatan adalah tidak jujur dalam menyampaikan perkara yang dapat merusak masyarakat, semisal isu homoseksualitas dengan dalih klaim kebebasan. Padahal, perkara tersebut dilarang oleh agama dan kita harus menghindarinya. Oleh karenanya, kebebasan yang menghancurkan masyarakat dan tatanan keluarga tidak bisa disebut sebagai kebebasan, melainkan perbuatan yang keji. Sebagaimana Allah SWT berfirman melalui lisan Nabi Luth As.: “Sesungguhnya kalian telah melakukan perbuatan keji yang tidak ada seorang pun di dunia ini yang mendahuluinya.”
Maka dalam hal ini, promotor homoseksualitas tidak ubahnya seperti ISIS sebagai teroris yang membunuh. Keduanya sama-sama bertentangan dengan fitrah alami manusia. Untuk mengakhiri tulisan ini, saya katakan kepada orang yang meyakini persoalan ini sebagai bentuk kebebasan, bahwa keyakinan tidaklah bisa mengubah fakta. Analogi sederhananya seperti bayangan dari jauh yang diyakini sebagai manusia padahal ia bukan manusia. Tentu saja, keyakinan tersebut tidak akan mengubah bayangan itu menjadi seorang manusia.
*Artikel ini diterjemahkan dari surat kabar harian Shaut al-Azhar yang diterbitkan pada tanggal 28 Agustus 2022. Penerjemah, Hamim Maftuh Elmy. lihat artikel aslinya disini.