Islamologi

Meneropong Pancasila dari Sudut Pandang Maqashid

Oleh: Muhammad Jihan Muqodas

Pada perkembangannya, Maqashid Syariah menuai perhatian yang cukup serius dari kalangan akademisi. Banyaknya literatur tentang konsepsi Maqashid Syariah, menambah geliat antusiasme para pengkaji. Tidak terhitung tulisan-tulisan yang membahas tema terkait Maqashid, baik berupa buku, makalah, artikel, dan lain-lain. Nama-nama seperti al-Syathibi, al-Raisuni, al-Khadimi, Jasir Audah, Ibnu Asyur, al-Fasi, dan pakar ilmu Maqashid lainnya, sudah tidak lagi terdengar asing di telinga intelektual muda, dalam hal ini kalangan sarjana muslim.

Maqashid Syariah kemudian disederhanakan sebagai makna dan nilai filosofis ketuhanan, yang terkandung dalam setiap hukum syariat, seakan menjadi produk baru, yang ditawarkan di tengah meluasnya eskalasi pemikiran Islam kontemporer. Wacana-wacana seperti ijtihad, taklid, dan fikih realitas, turut membarengi Maqashid Syariah dalam mementaskan personal branding-nya. Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq misalnya, yang turut mendiskusikan wacana-wacana di atas dalam antologi esainya, ‘al-Fikr al-Dînî wa Qadlâyâ al-‘Ashr (Diskursus Agama dan Isu-isu Terkini)’.

Dalam mukadimah esai yang berjudul ‘Maqâshid Syarî’ah’, Prof. Hamdi mencurahkan keluh kesahnya perihal ihwal mayoritas para pemeluk agama, yang  cenderung apatis dan cuek terhadap tujuan, rahasia, dan hikmah beribadah. Kecenderungan saat ini, orang menjalankan agama hanya mengharap pahala semata, demikian penilaian cendekiawan muslim berkebangsaan Mesir tersebut. Esensi-esensi ibadah seperti, menunaikan shalat dapat mencegah kemungkaran, puasa agar meningkatkan ketakwaan, dan zakat untuk menyucikan kejiwaan, tidak dihayati penuh oleh sebagian orang selayaknya ajaran agama. Padahal, praktik peribadatan adalah sarana, sementara esensi dari ibadah yang dikerjakan merupakan tujuan.

Di lain sisi, manusia yang secara relasi dapat diilustrasikan mempunyai tiga ‘garis koordinasi’, yakni koordinasi terhadap dirinya, koordinasi terhadap sesamanya, dan koordinasi terhadap Tuhannya. Tiga hal tersebut meniscayakan adanya upaya-upaya integratif untuk menjaga stabilitas hubungannya, baik secara individual, horizontal, maupun vertikal. Terdapat sebuah cerita inspiratif yang pernah disinggung oleh Nabi Muhammad SAW, perihal kisah wanita yang taat beragama, namun diganjar dengan acaman siksa neraka, sebab mulutnya yang sering menyakiti tetangga, adalah sebentuk refleksi kegagalan manusia, dalam menjaga garis koordinasi terhadap sesama (hablun min al-Nâs). Bukankah Nabi pernah bersabda, Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah memuliakan tetangganya”.

Selayaknya, praktik beribadah seperti salat, puasa, dan sebagainya dipahami juga sebagai media untuk menggaet tujuan-tujuan luhur, yang di antara dampaknya adalah menebarkan nilai-nilai kedamaian, ketenteraman, dan keharmonisan di segenap penjuru alam. Miskonsepsi terhadap interpretasi praktik atau lelaku beragama sebagai tujuan, hanya akan menyebabkan pola hidup manusia yang tampak agamis, namun justru kehilangan sisi humanis, seperti kisah wanita di atas. Hal demikian hanya akan membentuk individu manusia yang memanusiakan dirinya, namun tidak mampu memanusiakan yang lain.

Selain itu, dalam ajaran Islam, manusia dituntut untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Jangan sampai terlalu sibuk beribadah, sehingga urusan duniawi dan hak-hak individu seperti kebutuhan naluri untuk tidur, makan, dan menikah dikesampingkan. Ada kisah menarik tentang tiga sahabat yang mendapatkan teguran dari Nabi. Sahabat pertama bersumpah akan melaksanakan salat malam selamanya, sahabat kedua bersumpah untuk berpuasa setiap hari, sedangkan sahabat ketiga bersumpah akan membujang seumur hidup demi fokus beribadah. Ketiga sahabat itu lantas diperintah Nabi agar meninggalkan praktik ibadah yang dianggap berlebihan tersebut. Di samping itu, mereka dianjurkan untuk meneladani perkara Sunnah yang telah dipraktikkan Nabi SAW.

Secara umum, poin-poin Maqashid Syariah dapat dikerucutkan menjadi satu tema besar, yakni paradigma untuk menebar kasih sayang, sebagaimana yang ditegaskan dalam al Qur’an, “Dan tidaklah Aku mengutusmu melainkan sebagai (penebar) rahmat kepada penduduk alam. Term ‘rahmat’ dianggap sebagai titik kulminasi tatanan nilai-nilai keislaman dan visi  misi kerasulan. Setidaknya ada tiga ‘program kerja’ yang dihadirkan oleh ajaran Islam, sebagai usaha untuk menindaklanjuti tema besar tersebut. Tiga hal itu antara lain: pertama, mengadakan rangkaian praktik beribadah. Kedua, menegakkan prinsip keadilan, dan ketiga, memperkukuh kemaslahatan bagi manusia, baik di sektor duniawi maupun ukhrawi.

Dalam rangka memaksimalkan poin ketiga, Islam mengafirmasi lima prinsip dasar, yang kemudian dikenal dengan ‘al-Kulliyât alKhams’. Secara rinci, ‘al-Kulliyât al-Khams’ meliputi: hifdz al-Din (menjaga agama), hifdz al-Nafs (menjaga jiwa), hifdz al-Mâl (menjaga harta), hifdz al-‘Aql (menjaga akal), dan hifdz al-Nasl (menjaga keturunan), sebagaimana hal ini disebutkan di dalam beberapa literatur klasik, semisal al-Mustashfâ min ilm al-Ushûl karya al-Ghazali, al-Mahshûl fi ushûl al Fiqh karya Ibnu al-Arabi dan al-Ihkâm karya al-Amidi.

Ahmad Ali MD, santri sekaligus akademisi dan praktisi tradisi Islam, menyumbang sebuah artikel menarik yang berjudul, ‘Membumikan al-Kulliyât al-Khams sebagai Paradigma Islam Nusantara’ dalam ‘Antologi Islam Nusantara di Mata Kiai, Habib, Santri, dan Akademisi’. Dalam tulisannya, Ahmad berusaha membaca Pancasila dengan kacamata Maqashid Syariah. Sementara, teori ‘al-Kulliyât al-Khams’ sebagai bagian tak terpisahkan dari Maqashid Syariah, menjadi pisau analisis untuk membedah nilai-nilai luhur Pancasila. ‘Al-Kulliyât al-Khams’ diartikan secara kreatif oleh Ahmad sebagai panca prinsip universal atau hak asasi manusia (human rights).

Pertama, perlindungan agama tercermin dalam sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yakni tidak ada paksaan untuk memeluk dan mengamalkan agama, ideologi, dan keyakinan tertentu. Agama sebagai identitas personal yang membawahi kesadaran manusia untuk selalu berbenah diri, dirasa prematur bilamana tidak dilandasi atas kehendak pribadi. Fenomena maraknya ‘ateisme’ yang memandang sebelah mata esksistensi agama, terbentuk dari individu yang dipaksa untuk meyakini ideologi tertentu.

Kedua, perlindungan jiwa tercermin dalam sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, yakni tidak dibenarkan melukai, memersekusi, dan mehilangkan nyawa seseorang tanpa hak, seperti tindak kejahatan terorisme, bunuh diri, dan penggunaan narkotika. Secara kodrati, manusia ingin selalu dijamin, dijaga, dan dilindungi jiwa raga serta hak asasinya. Perlakuan-perlakuan brutal yang mengarah kepada aksi perampasan nyawa, merupakan hal yang terlarang, baik menurut hukum Islam maupun hukum ketatanegaraan.

Ketiga, perlindungan keturunan tercermin dalam sila “Persatuan Indonesia”, yakni tidak dibenarkan tindakan seks bebas, prostitusi, eksploitasi anak-anak di bawah umur, dan penyimpangan seksual LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) tanpa justifikasi konkret berdasar ilmu medis. Persatuan dibentuk melalui kesepahaman komunal terhadap aturan-aturan yang disepakati bersama. Termasuk aturan yang berkaitan dengan pelestarian keturunan. Tersebab, manusia sebagai khalifatullah di muka bumi, meniscayakan adanya regenerasi keturunan yang kelak meneruskan tongkat estafet kepemimpinan.

Keempat, perlindungan akal tercermin dalam sila “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”, yakni jaminan kebebasan menyuarakan pendapat, maka tidak dibenarkan truth claim dan memaksakan pendapat. Paradigma takhthi’ yang lebih memandang benar pendapat sendiri dan menilai salah pendapat orang lain, perlu dipinggirkan agar menciptkan nuansa keterbukaan. Sementara itu, paradigma tashwib yang lebih bersikap longgar dan toleran terhadap pendapat orang lain, selayaknya digelorakan.

Kelima, perlindungan harta tercermin dalam sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, yakni tidak dibenarkan untuk melakukan eksploitasi berlebihan terhadap Sumber Daya Alam, praktik monopoli, dan kapitalitisasi ekonomi, serta tindakan korupsi yang mereduksi dan mencabik-cabik kesejahteraan rakyat. Hal itu berdasarkan setiap individu tidak bisa terlepas dari kebutuhan primer berupa pangan, sandang, dan papan. Maka, rakyat negeri tertentu dapat dianggap telah mencapai kehidupan yang mapan dan sejahtera, ketika kebutuhan hidup yang bersifat primer tercukupi.

Dari pembacaan di atas, Pancasila sebagai ideologi terbuka, ternyata berhasil mengakomodir nilai-nilai luhur ajaran agama. Lantas, hal itu dibingkai dalam wujud dasar negara. Tidak ada alasan lagi bagi warga negara Indonesia untuk menolak penerapan dasar negara Pancasila. Di samping berfungsi sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, Pancasila juga merangkum dasar ideologis dalam segala bidang; keagamaan, hukum, politik, dan seterusnya. Walhasil, Pancasila beserta interpretasi filosofisnya layak disuarakan kembali, mengingat masifnya dakwah Islam oleh oknum yang berideologi transnasional radikal.

Back to top button