Tradisi Ngalap Berkah antara Penghormatan dan Pengultusan

Oleh: A. Rifqy Haidarullah Ismail
Dalam dunia pendidikan, pesantren dan segala tradisi yang mengakar di dalamnya merupakan suatu hal yang menarik untuk dibincangkan. Satu di antaranya ialah adab murid terhadap guru yang lebih dikenal dengan tradisi ‘ngalap berkah’. Bagi para murid, mereka meyakini bahwa mendapat ridha guru merupakan sesuatu yang lebih bernilai, ketimbang sekadar memperoleh nilai bagus dalam setiap mata pelajaran. Terlebih, anggapan terkait ridha guru sebagai sesuatu yang sakral, membuat banyak murid berlomba-lomba, atau bahkan berebut dalam mendapatkan hal tersebut, di samping kewajiban utama mereka untuk menuntut ilmu.
Sebagai santri, terdapat salah satu kisah yang pernah penulis alami mengenai keberkahan yang diperebutkan. Saat itu, seorang kiai tengah beranjak dari tempat duduknya, usai memimpin shalat dan zikir berjemaah. Serentak, para santri mulai berbaris memanjang, sembari berdesak-berdesakan ke arah jalan keluar, demi menggapai dan mencium tangan sang kiai. Tak cukup puas dengan hal itu, sebagian santri bahkan berlomba untuk saling mendahului, agar bisa menggelar sajadah layaknya karpet merah, demi mendapat berkah dari pijakan sang kiai. Tampak betapa bahagianya para santri, termasuk penulis bisa ngalap berkah pada waktu itu. Rasa bahagia yang turut juga penulis rasakan saat berebut mencicipi sisa kopi atau bekas minuman sang kiai, setelah sosok guru sekaligus pimpinan pesantren tersebut beranjak dari majelis keilmuan.
Semua yang dilakukan penulis beserta para santri saat itu, merupakan bagian dari ekspresi kecintaan murid terhadap guru. Seorang pujangga pernah berkata, tak ada kalkulasi dalam pembuktian cinta. Oleh sebab itu, menunggu dan berdesakan di antara sekian banyaknya orang, bukanlah suatu masalah bagi santri dalam membuktikan kecintaannya terhadap sang kiai. Praktik ngalap berkah tersebut merupakan tradisi yang masih melekat di sebagian besar pesantren. Tersebab, tradisi pesantren itu sudah menjadi bahan cerita yang diriwayatkan secara turun-temurun. Semisal kisah keberkahan ulama terdahulu yang semasa nyantri bertahun-tahun diberikan tugas untuk menyapu lingkungan pesantren. Namun, berangkat dari keikhlasan dan keberkahan ketika mondok, santri tersebut kemudian ditakdirkan menjadi ulama besar di kampung halamannya.
Cerita di atas kiranya selaras dengan suatu riwayat tentang kisah Nabi Muhammad SAW ketika dibekam oleh salah seorang sahabat. Setelah proses pembekaman, Nabi memerintahkan agar membuang darah hasil bekamannya itu, yang justru diminum oleh sahabat tersebut. Kendati demikian, Nabi hanya berkata, “Tubuhmu akan terhindar dari api neraka.” Demikianlah ekspresi cinta sahabat kepada Rasulullah, yang ingin selalu dekat dan sebisa mungkin mendapat sesuatu dari orang yang dicintainya, termasuk darah hasil bekaman Nabi. Perlu digarisbawahi juga bahwa Nabi ialah manusia yang paling sempurna, tak ada cela dan hina sedikitpun di jasad serta perangainya. Melalaui kisah ini, penulis semakin yakin, bahwa tradisi ngalap berkah merupakan sesuatu yang telah ada sejak lama dan perlu terus dilestarikan.
Namun, apa yang penulis dan rekan-rekan santri yakini saat itu, justru berbeda dengan realitas yang penulis temui ketika berada di luar pesantren. Seperti halnya ketika penulis menemukan banyak komentar negatif di jejaring media sosial berkenaan dengan beberapa tradisi khas pesantren. Sebagian orang menganggap praktik ngalap berkah dinilai sebagai perilaku berlebihan, bahkan dianggap telah keluar dari koridor syariat. Padahal, jika direnungi lebih dalam, beberapa contoh lelaku para santri di atas, sama halnya dengan perilaku brrikut ekspresi seorang penggemar terhadap sosok figur publik tertentu. Semisal, ketika salah seorang penggemar tokoh pemain sepak bola, yang beruntung mendapatkan tanda tangan sang idola di kaosnya. Ia diilustrasikan akan selalu memeluk kaos tersebut untuk menemani tidurnya sepanjang malam. Bahkan, penggemar tersebut bisa jadi akan melarang siapapun untuk menyentuh kaos kebanggaannya, sebab begitu berharganya nilai kaos yang dimilikinya, yang menjadi bentuk ekspresi kecintaan kepada sang tokoh.
Bila diperhatikan, kedua gambaran laku di atas sama-sama didasari oleh perasaan cinta. Semua orang bebas meluapkan perasaan cintanya terhadap setiap makhluk, selama masih dalam taraf yang wajar. Justru hal ini akan menjadi masalah ketika luapan perasaan tersebut terlewat sampai ranah pemujaan. Tersebab, perasaan yang demikian akan menimbulkan sikap fanatik. Sikap inilah yang seharusnya masuk dalam kategori pelanggaran syariat, alih-alih pembuktian cinta terhadap figur kekasihnya.
Sikap fanatik timbul dari rasa suka yang berlebihan. Hal ini kerap terjadi di kalangan penggemar figur publik tertentu, baik terhadap artis, klub atau pemain sepak bola, hingga pada lingkup tradisi pesantren. Sikap fanatik yang timbul di pesantren terjadi pada penghormatan berlebih seorang santri terhadap guru. Padahal, apa yang diajarkan pesantren tidaklah bermaksud demikian. Dalam tradisi pesantren, sebagian guru membiarkan punggung tangannya untuk dicium, dengan maksud mendidik murid agar menghormati setiap orang yang telah mendidik dan mengajarkannya. Sebaliknya, sebagian guru yang lain justru menolak untuk dicium tangannya, sebab dikhawatirkan akan timbul sikap pengultusan terhadap guru.
Dr. Abdusshabur Said, salah seorang Guru Besar al-Azhar dalam bidang mazhab Maliki, pernah mengingatkan, “Ketika kalian mencium tangan seorang guru sebagai penghormatan, ciumlah dengan benar tangannya pada bibirmu. Jangan tempelkan tangannya pada dahimu karena aku takutkan perilaku itu menyerupai sujud.” Oleh sebab itu, pesan beliau dapat menjadi sebuah acuan, apakah tradisi ngalap berkah yang selama ini dilakukan oleh komunitas santri adalah bertujuan untuk memberikan penghormatan? Atau justru sebagai bentuk pemujaan? Terlebih, ketika sebagian pelajar agama lebih mengutamakan praktik ngalap berkah dibanding tujuan utama dalam proses pembelajaran, yakni memahami penyampaian guru atau materi keilmuan yang telah disampaikan.
Lebih lanjut, mari melihat perspektif pluralis ala Gus Dur mengenai “ngalap barokah”. Mohammad Sobary dalam esainya yang berjudul “Mengenang Sang Wali”, mengungkapkan bahwa meskipun Gus Dur sudah tiada, namun kesadaran dan api perjuangan beliau akan selalu hidup di hati umat yang merindukannya. Sobary juga menceritakan bahwa beberapa saat setelah Gus Dur dipanggil oleh Sang Maha Kuasa, muncul peristiwa yang cukup menggegerkan umat. Dikabarkan bahwa tanah kuburan Gus Dur sempat beberapa kali ambles. Hal itu disebabkan oleh banyaknya peziarah yang terus berdatangan, sekaligus diketahui sebagian dari mereka turut membawa pulang sejumput tanah, yang diambil dari sekitar lahan kuburan Gus Dur. Mereka meyakini bahwa mengambil tanah tersebut akan membawa keberkahan. Kendati demikian, bukankah hal tersebut merupakan perilaku yang kelewat batas?
Menjawab pertanyaan tersebut, Mohammad Sobary memberikan pengandaian tatkala Gus Dur masih hidup lantas melihat permasalahan semacam ini. Sikap cucu pendiri Nahdlatul Ulama tersebut, boleh jadi tidak menyukainya. Tersebab, beliau paham betul bahwa tindakan berlebihan para peziarah, merupakan lelaku yang dapat merusak citra agama. Meskipun begitu, mengaca dari sikapnya yang akomodatif, tentu beliau tak akan tega melarang secara keras para peziarah untuk memunguti sejumput demi sejumput tanah dari kuburannya.
Demi mendamaikan peristiwa menggegerkan tersebut, kiranya Gus Dur dengan santai akan merespons, “Ya tergantung niatnya, kalau niatnya sekadar (untuk) suvenir, ya ndak papa.” Demikian juga mengenai pengambilan tanah kuburan yang dianggap sebagai pemujaan berlebihan, bisa diandaikan Gus Dur tak akan kehabisan jawaban yang cukup arif, “Kalau mereka hanya mengekspresikan cinta layaknya mencium tangan kiai, ya insya Allah ndak apa-apa. Tuhan itu Maha Tahu, dan tak akan mudah terkecoh seperti kita.” Wallahu a’lam bi al-Shawâb.