OpiniUncategorized

Merayakan Natal

Oleh: Achmad Zainulloh Hamid

Hampir seminggu lalu, tepatnya 19 Desember 2022, Presiden Jokowi menggelar rapat terbatas di Istana Negara untuk meyambut Nataru (Natal dan Tahun Baru). Ia menginstruksikan kepada jajaran terkait untuk meningkatkan kewasapadaan dalam menghadapi gelombang mobilitas masyarakat yang cukup tinggi. Terkhusus, imbauan agar memberi perhatian lebih dalam hal pengamanan, baik pada kegiatan peribadatan saat Natal maupun perayaan Tahun Baru. Nampaknya, perayaan Natal menjadi salah satu perhatian penting setiap tahunnya di negeri kita, terutama perihal keamanan.

Tentunya, asumsi saya bukan berarti menafikan penyelenggaraan hari raya pada agama lain dianggap tidak penting. Lebih jauh dari itu, Indonesia masih memiliki trauma dengan malam perayaan Natal pada kurun dua dekade silam. Pada perayaan Natal 2000, bom meledak berjamaah di sejumlah gereja Indonesia. Ini merupakan tragedi kemanusiaan yang menjadi momen kelam pada malam kudus. Ledakan bom tersebut terjadi di Medan, Pematang Siantar, Batam, Pekanbaru, Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Pangandaran, Kudus, Mojokerto dan Mataram. Setelah dilakukan pemeriksaan, dalang di balik aksi tersebut adalah Umar Patek, Imam Samudera dan kawan-kawannya.

Jika membaca lebih mendalam, motif aksi pengeboman berjamaah tadi dilakukan lantaran dendam yang perlu dibalaskan atas tragedi Ambon dan Poso. Mereka ingin mengirim pesan, bahwasanya aksi-aksi kekerasan dan penganiayaan pada tragedi Ambon dan Poso agar segera dihentikan, jika tidak ingin melihat banyak korban berjatuhan. Secara garis besar, tregedi Ambon dan Poso salah satu pemicunya adalah meningkatnya kesenjangan dan konfik keagaaman yang berlarut-larut, yaitu antara pemeluk agama Islam dan Kristen. Bahkan, aksi balas-membalas perusakan dan pembakaran tempat ibadah turut mewarnai tragedi tersebut dengan mengatasnamakan agama.

Tragedi-tragedi di atas sering kali muncul akibat kesalahpahaman, pengaruh lingkungan, dan sumber informasi yang tidak seimbang. Karena tanpa kita sadari, mayoritas masyarakat Indonesia meletakkan ‘agama’ pada bagian terpenting bagi hidup mereka. Hal ini diamini dengan hasil survei dari PEW Research Center, bahwa Indonesia merupakan suatu negara yang masyarakatnya menganggap agama bagian terpenting dengan perolehan 93%. Maka tak mengherankan, apabila beberapa konflik dan eskalasi ketegangan yang muncul di masyarakat kita sering dilatarbelakangi persoalan agama. Bahkan hingga 2017 kemarin pun tidak lepas dari motif agama.

Maka tidak mengherankan apabila pemerintah menerapkan sistem pengamanan yang cukup ketat menjelang perayaan Natal. Nyatanya, beberapa oknum beragama di Indonesia masih memiliki pola pikir cukup ekstrem yang dikhawatirkan mengakibatkan kerusuhan dalam skala nasional. Pemerintah tentu tidak ingin kecolongan kedua kalinya dalam menjaga keamanan umat bergama untuk melakukan ritual hari rayanya dan beribadah. Mirisnya, pola pikir yang demikian masih tumbuh subur dan dikhawatirkan menjadi bom waktu untuk melakukan aksi teror ke depannya.

Perilaku dan pola pikir

Semenjak tragedi bom bunuh diri di gereja dan aksi-asksi teror lainnya, kita lebih sering mendengar istilah toleransi, tasamuh dan intoleransi. Secara umum, tasamuh sama halnya dengan toleransi, yakni sikap saling menghargai terhadap perbedaan keyakinan dan atau etnis lain, dan itoleran berarti sebaliknya. Satu hal yang perlu dimengerti dari istilah toleran dan intoleran merupakan sebuah “tindakan” dan “perilaku”, bukan pikiran, apalagi sebuah aturan. Toleran, menurut Sheldon Cohen, profesor psikologi di Universitas Carnegie Mellon, adalah tindakan yang disengaja oleh aktor dengan berprinsip menahan diri dari campur tangan (menentang) perilaku mereka dalam situasi keragaman, sekalipun aktor percaya dia memiliki kekuatan untuk mengganggu.

Dari pembacaan Cohen, ada dua kata kunci yang menjadi prinsip dasar dari toleransi. Yakni, tindakan yang disengaja dan perilaku menahan diri untuk tidak mengganggu. Tindakan semacam ini menunjukkan bahwa tolerensi adalah perilaku yang dapat dirasakan dan dilakukan secara langsung dalam lingkup keragaman, baik etnis, agama maupun lainnya. Tampak hal ini masih menjadi problematika besar pada sebagian masyarakat kita yang terjebak dalam laku-laku ekstrem. Russell Powell, teolog lingkungan dari Boston memberi contoh sikap toleransi antar-umat beragama secara gamblang. Ia mengatakan bahwa seorang Katolik disebut toleran adalah dia yang membolehkan praktik keagamaan Protestan di lingkungannya, sekalipun dia tidak setuju dan punya kemampuan melarang tapi justru memilih tidak mengganggunya.

Berkaitan erat dengan toleransi, salah satu perdebatan yang tak kunjung habis dibahas di masyarakat kita tiap tahunnya adalah boleh-tidaknya mengucapkan “Selamat Hari Natal” kepada masyarakat Kristiani. Jika kita telisik lebih jauh, beberapa kelompok yang berpendapat tidak bolehnya mengucapkan tahniah saat Natal, mengkhawatirkan adanya pengakuan akan ketuhanan Nabi Isa. Mereka melihat ini bukan dari agama Islam. Meyakini bahwa tahniah itu haram boleh saja, selama ia tidak melakukan aksi teror dan mengganggu perayaan hari raya agama lain. Nah, yang perlu dipahami, bahwasanya batas seseorang dikatakan intoleran ialah ketika ia melakukan aksi amoral secara langsung atas ketidaksetujuannya terhadap keragaman, sehingga menimbulkan ketidakstabilan pada masyarakat. Jika seorang Muslim tidak mengganggu ibadah umat beragama lain, maka ia memiliki sikap toleran, meski dengan terang-terangan ia tidak mau mengucapkan tahniah pada perayaan hari rayanya.

Kelompok lain berpendapat boleh mengucapkan tahniah. Pendapat ini didasarkan pada penghormatan kepada Nabi Isa yang disucikan oleh umat Kristiani. Mereka juga mengatasnamakan kemanusiaan dan sama-sama pemeluk agama Samawi yang perlu dihormati esksistensinya. Oleh karena itu, ucapan tahniah tersebut bukan melegitimasi ketuhanan Nabi Isa, melainkan mereka menitikberatkan keimanan kepada Nabi Isa sebagai rasul. Apalagi Nabi Isa merupakan salah satu ulû al-‘azmi yang menjadi pilihan Allah.

Perbedaan pendapat semcam ini terkadang menjadi jurang dan perdebatan yang kerap terulang setiap tahunnya. Sehingga yang dimunculkan, terkadang kelompok yang tidak membolehkan mengucapkan tahniah kepada non-muslim saat perayaan hari rayanya, mengklaim kelompok kedua sudah mencampur-adukkan agama dan dianggap murtad. Pun sebaliknya, kelompok kedua menganggap bahwa kelompok pertama intoleran dan terlalu jumud dalam berinteraksi dengan non-muslim. Pola pikir yang berbeda semacam ini, tentu menjadi kekhawatiran tersendiri akan munculnya kesenjangan sosial, apabila merasa paling benar dan menyalahkan kelompok liyan.

Sejatinya, pola pikir seseorang dalam merespon keragaman menjadi asas dari kemunculan perilaku toleransi dan atau intoleran. Baik-tidaknya pola pikir yang terbentuk dalam diri seseorang tidak lepas dari informasi dan rujukan yang dia amati. Semisal, anggapan bahwa agamanya paling benar dan yang lain salah cukup berbahaya sebab ia akan kaku memaknai praktik-praktik interaksi antar-agama. Pola pikir demikian cenderung menghasilkan laku-laku intoleran yang cukup berbahaya.

Dalam berinteraksi antar-pemeluk agama, pola pikir beberapa umat Islam masih belum memahami dengan utuh batasan yang diperbolehkan dan tidaknya  interaksi tersebut. Syekh Syauqi Allam, Mufti Republik Arab Mesir, memberikan beberapa ruang yang diperbolehkan untuk umat Muslim berinteraksi dengan non-Muslim. Contohnya, seseorang yang memiliki saudara atau keluarga berbeda agama diperbolehkan untuk makan bersama dalam perayaan hari rayanya. Tentu dengan catatan, bahwa apa yang disajikan tidak mengandung unsur yang dilarang dalam Islam. Kemudian, dalam perayaan tesebut diperbolehkan turut bersuka cita dengan ikut bersama, selama apa yang dilakukan bukan termasuk dalam ranah ibadah mereka dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Tentu yang diharapkan tidak hanya manjadi dogma saja, bahwa Islam adalah agama yang toleran dan welas-asih. Namun realitanya, tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama justru lebih sering terjadi kepada umat kristiani dan tempat ibadahnya yang didalangi oleh oknum muslim. Sehingga yang menjadi bulan-bulanan adalah agama itu sendiri dan memunculkan sentimen terhadap Islam. Pemerintah dan masyarakat Indonesia secara umum mengkhawatirkan akan adanya praktik-praktik intoleran yang muncul di saat perayaan hari raya non-muslim. Tersebab, Indonesia masih belum sepenuhnya sembuh dari trauma mendalam atas tragedi peledakan bom berjamaah pada perayaan Natal 2000. Terakhir, Selamat Hari Natal!

Back to top button