Dialektika Primbon Jawa dengan Hukum Islam

Oleh: Ainul Mamnuah
Tak jarang saya dapati masyarakat Jawa masih menggunakan primbon Jawa sebagai pedoman untuk melakukan sebuah aktivitas, utamanya perihal pernikahan. Hal ini saya temui di lingkungan terdekat, baik itu di lingkup keluarga maupun di lingkup lebih luas, yakni desa saya. Beberapa waktu lalu, saat kakak saya akan melangsungkan pernikahan ada beberapa tradisi Kejawen yang harus ditempuh terlebih dulu, seperti perhitungan weton dan pasaran untuk mengetahui kecocokan di antara kedua calon mempelai. Tak berhenti sampai di situ, setelah menemukan kecocokan kedua mempelai harus melakukan perhitungan lagi terkait hari baik untuk melangsungkan pernikahannya, supaya rumah tangganya mendapatkan ketentraman atau tidak tertimpa musibah.
Melihat hal tersebut, saya merasa sedikit bosan dan jengah. Pada zaman modern begini masih saja harus percaya mitos yang tidak karuan dan rumit. Padahal, kalau dalam agama Islam semua hari itu baik, tidak ada yang buruk. Berangkat dari fenomena ini, membuat saya tertarik untuk melacak lebih mendalam bagaimana konsepsi primbon Jawa hingga menjadi pedoman untuk menghitung hari pernikahan. Kemudian, bagaimana perjalanan dialektika antara primbon Jawa dengan hukum Islam terkait persoalan tersebut.
Primbon Jawa merupakan sebuah konsep yang dihasilkan oleh nenek moyang melalui sebuah penelitian dan pengamatan, kemudian dihimpun menjadi data serta teori yang dipelajari oleh banyak orang. Karena pada saat itu masyarakat belum mengenal banyak hal, sehingga mereka hanya bergantung kepada apa yang mereka lihat, yakni alam sekitarnya. Dari sini masyarakat terdorong untuk lebih mencermati dan mengamati apa yang ada di sekitarnya. Seperti mengamati dedaunan, alam sekitar dan hal lainnya. Kemudian hasil pengamatan tadi ditulis menjadi objek yang diharapkan dapat membantu kehidupannya saat itu.
Selain itu, primbon Jawa juga disandarkan dengan berbagai macam peristiwa yang mengalami pengulangan secara terus-menerus. Berangkat dari pola tersebut dibuat aturan umum dan diberi sebuah filosofi sehingga menjadi adat masyarakat Jawa. Adat yang dijadikan sebagai syarat pernikahan ini tidak bermaksud untuk mendahului takdir tuhan, melainkan hanya sebatas usaha manusia untuk mencapai kemaslahatan dan menghindarkan keburukan. Tersebab pada dasarnya masyarakat Jawa meyakini bahwa segala sesuatunya berdasarkan kehendak Allah SWT.
Adapun dalam implementasinya, penggunaan adat dan perhitungan hari baik dalam pernikahan berdasarkan primbon Jawa merupakan bentuk kehati-hatian manusia dalam menjalani kehidupan. Tentu dengan merujuk kepada nilai-nilai yang telah diwariskan secara turun temurun sejak zaman sebelum Islam datang. Walaupun tak sedikit masyarakat Jawa yang meyakini bahwa primbon Jawa merupakan tradisi dari ajaran Islam. Melihat tujuan dan implementasi masyarakat Jawa dalam menggunakan primbon pernikahan Jawa tersebut sebagai sarana untuk mencari hari dalam pernikahan yang diharapkan mendapatkan kemaslahatan di akhirnya, maka aktivitas ini tidak bisa secara gamblang kita kategorikan dalam tathayur.
Tathayur merupakan segala bentuk merasa sial yang muncul dalam sangkaan, pun sekedar melihat pertanda yang buruk serta tidak ada hubungan sebab-akibat secara syar’i atau qadari—perihal ini merupakan bagian dari kesyirikan. Sementara aktivitas yang dilakukan masyarakat Jawa tersebut tetap didasarkan pada keyakinan terhadap Tuhan. Terkait hari pernikahan dalam Islam pun tidak disebutkan secara terperinci tentang hari dan prosesi pernikahan itu dilakukan, maka dengan melihat hal ini tentu prinsip yang utama adalah tidak bertentangan dengan maqâshid syarî’ah, terutama dalam hal menjaga agama dan tercapainya maslahat bagi manusia.
Dalam hal ini, masyarakat Jawa ketika mengamalkannya pun tentu mengikuti adat istiadat atau tradisi yang dilakukan nenek moyangnya. Istilah ‘tradisi’ atau ‘adat’ dalam Islam sering disebut ‘urf, di mana ‘urf tersebut terlebih dahulu dikategorikan dalam ‘urf fasîd (tradisi buruk) dan ‘urf shahîh (tradisi baik). Lantas, ketika primbon pernikahan Jawa dikaitkan dengan ‘urf dalam Islam, maka harus memenuhi beberapa aspek supaya dapat dikatakan sebagai sebuah ‘urf serta supaya mendapatkan legitimasi syarâ’. Namun, bila beberapa aspek tersebut tidak terpenuhi, maka tradisi tersebut tidak dapat dijadikan landasan hukum.
Pertama, adat atau ‘urf tersebut bernilai maslahat dan dapat diterima oleh akal sehat. Artinya, jika tradisi atau adat tersebut tidak mengandung manfaat bagi masyarakat atau tidak bisa diterima oleh akal sehat, maka secara langsung tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan orang India ketika ada seorang istri ditinggal mati suaminya, maka ia ikut dibakar hidup-hidup bersama pembakaran jenazah suaminya, sebagai bentuk janji sehidup-semati. Adat semacam ini tidak dapat diterima oleh akal maka secara otomatis tertolak.
Sementara pengunaan ilmu titen serta adat yang berisi aturan, larangan dan perhitungan hari pernikahan yang sesuai dalam primbon Jawa, pada umumnya dianggap bisa memberikan manfaat bagi masyarakat Jawa. Tersebab, hal ini merupakan sebuah tradisi yang berasal dari penalaran dan pemahaman yang mendalam, dan kemudian dituangkan dalam sebuah konsep hitungan. Dari sini dapat kita ketahui bahwa masyarakat zaman sekarang mencoba untuk memelihara khazanah lama yang baik dengan mengalami pembaharuan yang lebih baik. Dengan tidak serta merta menghapuskan khazanah lama bilamana terdapat kemaslahatan di dalamnya, begitupun dengan penggunaan adat dan primbon di dalam pernikahan ini, tidak serta merta dihilangkan begitu saja, apalagi aktivitas ini merupakan tradisi yang telah ada secara terus menerus.
Selain itu, masyarakat Jawa meyakini bahwa salah satu upaya yang dilakukan oleh mereka itu sebagai bentuk untuk memperoleh maslahat dan menolak mafsadât yang telah dilakukan oleh nenek moyang dulu—salah satu caranya adalah dengan melakukan perhitungan ini. Hal ini sejalan dengan kaidah yang berbunyi, ’’Mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan’’.
Kedua, adat atau ‘urf itu berlaku secara umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada di lingkungan tersebut atau di kalangan sebagian besar warganya. Dalam syarat kedua ini ulama berbeda pendapat, sebagian ulama Hanafiyyah seperti Ibnu Nujaim dan Ibnu Abidin serta sebagian ulama Syafi’iyyah seperti Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan bahwa syarat ‘urf itu harus bersifat umum dan tidak menganggap ‘urf khusus. Sementara menurut mayoritas ulama, Malikiyyah, sebagian ulama Hanafiyyah serta Syafi’iyyah mengatakan bahwa tidak ada syarat terkait sifat ‘urf tersebut harus umum. Hal ini berarti bahwa ‘urf khusus dapat diberlakukan, sebagaimana ‘urf Ahli Madinah yang juga menjadi salah satu landasan hukum syarâ’ meskipun bersifat khusus.
Dari kedua pendapat tersebut kita bisa mengambil pendapat mayoritas ulama sebagai acuan, yang mana tidak menjadikan adat harus berlaku secara umum, sebagaimana adat ahli Madinah tersebut. Dengan pertimbangan bahwa setiap daerah pasti memiliki tradisi dan adat yang berbeda-beda, hal ini tentu dipengaruhi oleh kultur budaya masing-masing. Adapun maksud dari sifat umum pada syarat kedua ini yakni, setiap adat merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh orang banyak, jadi dalam hal ini keumuman adat itu terletak pada zona tempat suatu kelompok itu sendiri.
Ketiga, urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum telah berlaku pada saat itu, bukan urf yang muncul kemudian. Maka, jika urf tersebut datang kemudian tidaklah diperhitungkan. Hal ini dikuatkan dengan kaidah dalam ushul fikih, yaitu; “’Urf yang diberlakukan pada suatu lafadz atau ketentuan hukum hanyalah yang datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang kemudian’’.
Penggunaan adat dan juga primbon pernikahan Jawa sebagai sebuah tradisi telah ada sejak sebelum adanya Islam di tanah Jawa. Pun dengan aktivitas perhitungan hari baik dan kecocokan dalam menentukan sebuah pasangan yang dilakukan masyarakat Jawa masih mengikuti aturan lama, hanya saja ada interaksi dialogis antara tradisi, larangan dan juga perhitungan primbon Jawa dengan ajaran Islam. Dari sini kemudian muncul pergeseran makna dan paradigma, bukan pada substansi dan praktiknya. Dengan demikian dapat disimpulkan, sistem dan aturan yang ada di masyarakat Jawa telah lebih dahulu ada, sebagai sebuah konsep ilmu pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang.
Keempat, adat atau ‘urf tidak bertentangan dengan dalil al-Quran dan Hadits Nabi. Dengan tidak adanya dalil syarâ’ yang mengatur perbuatan tersebut, maka dikembalikan kepada adat setempat. Sebagaimana sebuah kaidah, ‘’Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah SWT’’. Adapun untuk menilai apakah ‘urf itu bertentangan dengan dalil al-Quran dan Hadits atau tidak, semestinya dengan melihat ada tidaknya larangan secara pasti dalam teks tersebut. Seperti larangan meminum khamr yang telah disebutkan keharamannya secara jelas oleh al-Quran dan hadist Nabi dalam surah al-Maidah: 90.
Walhasil, dari pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa adat dan perhitungan primbon pernikahan Jawa yang dilakukan masyrakat di pulau Jawa merupakan ‘urf shahîh. Tentu dengan catatan, bahwa hal tersebut tidak sampai mempengaruhi keyakinan dan hanya dijadikan sebagai ilmu titen saja. Sedangkan jika hal tersebut sampai mengubah keyakinan dan mempercayainya hingga memunculkan kesyikiran, maka itu merupakan ‘urf fasîd.