Opini

Taliban dan Bayangan Ketaatan Perempuan

 

Oleh: M. Fikri Zulkarnain Nawawi

 

Bagi saya, Taliban merupakan gerakan terorisme pertama yang berhasil melakukan aksinya karena telah menggulingkan pemerintahan resmi Afganistan dan bertandang laga terbuka melawan Amerika Serikat. Selain itu, saat ini mereka merupakan kelompok Islam-Takfiri pertama yang sedang melaksanakan suksesi kekuasaan dan penyesuaian ideologi terhadap wilayah yang sudah mereka rebut. Salah satu bentuk dari sublimasi ideologi yang dijalankan ialah restrukturasi sosial secara besar-besaran, terutama perihal perempuan dan kebebasannya.

Beberapa waktu lalu, terdengar siaran berita bahwa Afganistan telah mengeluarkan peraturan baru mengenai perempuan dan hak pendidikan tinggi. The Guardian melaporkan bahwa perempuan di Afghanistan tidak boleh lagi mengikuti pendidikan tinggi sebagaimana isi sebuah surat yang diterima dari Menteri Pendidikan Tinggi Neda Mohammad Nadeem. Ia mengatakan, “Sebagaimana yang telah diinformasikan bahwa telah diimplementasikan kebijakan untuk menghapus penuh pendidikan bagi perempuan sampai ada peninjauan kembali.” Pelarangan tersebut merupakan “setali tiga uang” keberlanjutan dari pelarangan perempuan untuk memperoleh pendidikan menengah atas di tahun sebelumnya. Tentunya, penghapusan hak pendidikan pada perempuan bertumpu pada satu alasan, yakni kekhawatiran mereka akan memberontak dan mengganggu tatanan sosial yang ada. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Meena (nama pseudonim) yang merupakan seorang guru di Afghanistan, “Mereka para mahasiswi sangat sulit diatur dan aku tidak tahu bagaimana cara meluruskan mereka.”

Dari sini, saya bisa melihat ada indikator yang dianggap selaras antara pendidikan tinggi bagi perempuan dan ketaatan mereka. Seolah digambarkan bahwa semakin tinggi pendidikannya maka semakin rendah ketaatannya atas norma yang berlaku. Bagi Taliban, pendidikan tinggi hanya akan meracuni pikiran perempuan karena yang berkembang hanya pesan-pesan kebebasan atau kesetaraan strata, bukan rasa tanggung jawab dan jiwa patriot. Oleh sebab itu, mereka (Taliban) berusaha untuk menjaga perempuan di rumah dan tetap pada “kodratnya”. Lantas, apakah benar mendidik perempuan itu sama dengan menyerabut akar “kodrat” dari mereka?

 

Perempuan dan bayang-bayang kodrat

Apa yang dikehendaki Taliban tidaklah jauh dari penafsiran atas apa yang tertulis di al-Quran dan Hadits mengenai perempuan. Dalam al-Quran, banyak bertebaran ayat tentang perempuan dengan beragam tendensi. Semisal dalam QS. al-Taghabun: 14-15 menyatakan, “Wahai orang-orang yang beriman! Sungguh di antara pasangan-pasanganmu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu…” Ayat tersebut memberi gambaran bahwa perempuan bagian dari fitnah yang beredar di dunia dan selaras dengan Hadits Nabi, “Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih besar bagi laki-laki selain dari pada perempuan.” (HR. Bukhari-Muslim).

Dari sudut pandang lain, al-Quran dan Hadits memandang perempuan sebagai ibu dan pendidik pertama bagi anak-anak. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Luqman ayat 14, “Dan Kami perintahkan kepada umat manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dengan beban yang terus bertambah…” Ayat tersebut selaras dengan Hadits Nabi, “… Siapakah manusia yang paling berhak untuk dihormati? Nabi menjawab, ‘Ibumu’…” (HR. Bukhari dan Muslim). Jika dilihat dengan seksama, kedua teks panduan dasar agama Islam bersepakat mengenai potensi perempuan selayaknya koin bermata dua. Di satu sisi, perempuan merupakan salah satu pemicu pertikaian dan pertumpahan darah di setiap sesi sejarah. Istilah “Harta-Tahta-Wanita” bukanlah selorohan kaum warung kopi belaka, mengingat banyak sekali sisi kelam sejarah yang tercipta seperti persaingan Julius Caesar dan Mark Anthony berebut Cleopatra VII, tragedi Perang Bubat antara Majapahit dan Siliwangi dan lain-lain. Di sisi lain, posisi perempuan sebagai sosok personal paling dekat dengan anak-anak di bawah lambang keibuan dengan kelembutan dan segudang kasih sayang. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri menjadi kekuatan terbesar dalam setiap fase tumbuh-kembang anak sehingga dapat melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, KH. Hasyim Asy’ari dan lain sebagainya.

Dalam wawancara BBC News yang diunggah di Youtube, salah satu petinggi Taliban menyatakan bahwa terdapat beberapa persoalan terutama dari para pemuka agama mengenai pendidikan tinggi bagi perempuan. Banyak daerah di luar Kabul yang masih percaya bahwa perempuan tidak memerlukan tinggi. Oleh karena itu, Sirajuddin Haqqani, Deputi Perdana Menteri Afghanistan, dalam wawancaranya dengan CNN menyatakan bahwa maksud dari “peninjauan kembali” ialah penyesuaian ulang taraf pendidikan perempuan yang disesuaikan dengan kultur dan prinsip agama Islam.

Apa yang diungkapkan dalam wawancara kedua tokoh tersebut, bisa diinterpretasikan bahwa Taliban dan sebagian besar masyarakat Afghanistan masih berpegang pada sebuah persepsi bahwa perempuan merupakan sumber atau memiliki potensi menjadi fitnah bagi tatanan sosial mereka. Pemberian keleluasaan berpendidikan bagi perempuan sama dengan membuka “aurat” dengan artian membiarkan mereka berkeliaran secara leluasa dan menjadi tontonan publik. Tentunya, hal tersebut bertentangan dengan prinsip bahwa sebaik-baiknya perempuan berdiam diri di rumah sebagaimana Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya perempuan itu aurat. Jika dia keluar rumah maka setan akan menyambutnya. Keadaan perempuan yang paling dekat dengan Allah ialah ketika dia berada di dalam rumah.”

Sebaliknya, Grand Syeikh Azhar Ahmad Thayyib menentang adanya pembatasan pendidikan bagi perempuan di Afghanistan. Di sebuah akun resmi al-Azhar, ia menyerukan bahwa pelarangan pendidikan bagi perempuan bukanlah bagian dari ajaran Islam dan sebaliknya merupakan hak bagi seluruh kaum muslim, termasuk kaum hawa. Tambahnya, banyak perempuan dalam dunia Islam di semua sektor, seperti pengembangan pengetahuan, ekonomi, politik dan lain-lain. Di sini, saya memahami arah pernyataan Syeikh Ahmad Thayyib yang memahami perempuan sebagai manusia seutuhnya dengan konsekuensi hak yang sama dengan laki-laki dan kelak akan menjadi pendidik bagi putra-putrinya. Pemberian akses seluas-luasnya atas pendidikan bagi perempuan akan memberi dampak positif bagi keluarga dan sekitarnya. Oleh sebab itu, meski pelarangan tersebut masih dalam tahap peninjauan, namun Grand Syeikh Azhar tetap memberi pernyataan agar saat terjadi perubahan dapat dikembalikan ke kondisi semula.

 

Pendapat

Jika ditimbang, apa yang dilihat dari dua pendapat di atas selayaknya timbangan yang memiliki berat sepadan dengan risikonya jika dibiarkan tak terkelola. Saat diberikan akses pendidikan nan luas tidak hanya mengakibatkan kemajuan berpikir dan banyak potensi dalam diri perempuan yang diberdayakan. Namun juga beberapa ide dan ideologi ekstrem berseliweran di lingkungan universitas yang dapat merasuki alam pikir perempuan dan berakibat revolusi sosial radikal hingga ke tingkat pemikiran tentang keluarga. Akan tetapi, jika tidak diberi pendidikan sama halnya dengan membunuh generasi penerus karena kebodohan pada diri seorang ibu hanya akan melahirkan kebodohan yang berkelanjutan.

Di sini, saya tertarik dengan pemikiran salah satu pemikir Mesir, yakni Abbas Mahmud Aqqad dalam bukunya “al-Mar’ah fi al-Quran” pada bab “Makânat al-Mar’ah (Posisi Perempuan)”. Dalam bukunya, ia menyatakan peradaban Islam memiliki sudut pandang yang berbeda dari peradaban-peradaban lain sebelumnya. Peradaban lain seperti Yunani, Romawi hingga Arab Kuno memakai sudut pandang kemanfaatan dalam memosisikan perempuan dan dinyatakan bahwa mereka berada di posisi kelas dua akibat tidak bisa menjadi simbol kekuatan hingga tidak bisa berperang. Islam mendudukkan kedua jenis gender tersebut dalam satu keselarasan antara kehidupan lahir dan batin. Masing-masing memiliki tanggung jawab dalam menjaga tatanan sosial dari keluarga hingga tingkat negara sehingga diposisikan setara dengan porsi tanggung jawab yang berbeda. Bisa dilihat, peradaban berdasar wahyu memiliki sudut pandang lebih menyeluruh dan utuh dari pada peradaban lain yang bergantung pada asas fungsi dan keberpihakan sosial.

Maka, saya berpendapat bahwa persoalan ketaatan tidak ada korelasi dengan pendidikan tinggi bagi perempuan. Masalah ketaatan, baik itu sebagai istri atau anak, merupakan persoalan keselarasan tatanan hidup dalam keluarga dan masyarakat. Kemudian, keluwesan perempuan memperoleh pendidikan tinggi merupakan cara bagaimana mereka menyesuaikan dan menyelaraskan diri untuk mengemban tanggung jawab sosial. Dari sini, saya sependapat dengan Grand Syekh Azhar Ahmad Thayyib mengenai hak perempuan atas pendidikan agar dibuka seluas-luasnya dengan harapan siklus sosial yang dinamis dan baik.

 

Back to top button