Opini

Rame-rame Memborong Gelar

Oleh: Moh Al Fayyadh

Belum sampai sebulan, koran Kompas menyuguhkan dua sajian menarik nan menggelitik jagat raya Indonesia. Layaknya makanan enak, sajian tersebut cukup mengenyangkan dan memuaskan serta masih menagih publik untuk mengkonsumsi kembali. Sebab sajian kali ini diolah dengan bumbu spesial dan proses panjang. Kompas sendiri menamai sajiannya dengan, “Usaha Perjokian Merajalela, Bagai Pabrik Karya Ilmiah” dan “Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah”.

Pemilihan judul demikian seolah sudah memberitahukan kepada pembaca, bahwasanya pendidikan kita sedang sakit dan tidak kunjung pulih. Jika kita mengamati, problem sakitnya pendidikan Indonesia telah lama terjadi dan itu sudah menjadi rahasia umum masyarakatnya. Akan tetapi sekarang, menurut saya, semakin parah. Pasalnya pendidikan yang menjadi salah satu elemen dasar untuk memajukan negara telah diperkosa oleh orang yang hyper gelar.

Berbicara perihal gelar, saya teringat dawuh guru di kelas waktu di pondok. Kurang lebih beliau mendawuhkan begini, “Orang itu tidak perlu mendewakan gelar, sampai S2 saja sebenarnya sudah cukup.” Sekilas pernyataan itu kontradiktif dan membuat bingung teman sekelas saya. Kemudian beliau melanjutkan lagi, “S2 itu Sullam al-Taufîq dan Safinat al-Najâh. Keduanya cukup untuk bekal dunia dan akhirat.” Sontak saya memikirkan kembali dawuh tersebut, setelah sekian tahun tidak saya gubris. Ternyata, maksud dari S2 adalah kurikulum pendidikan orang-orang zaman dahulu.

Mungkin bagi orang zaman sekarang hal tersebut tidak relevan lagi dan sudah tergantikan oleh rumusan-rumusan kurikulum baru dari pemerintah. Saya mengamini hal itu, tetapi prinsip guru saya tadi mempunyai arti sendiri bagi saya. Seolah-olah ia ingin memberitahu muridnya bahwa orang terpelajar bukan karena ia mempunyai banyak gelar, melainkan orang yang senantiasa menjaga etika di mana pun ia menginjakkan kakinya.
Balik lagi ke masalah gelar. Sebenarnya apa itu gelar, seberapa misterius dan menguntungkannya dia sampai begitu banyak orang meminatinya, hingga adu jotos satu sama lain? Baiklah, saya akan menjelaskan perihal gelar itu sendiri. Tapi sebelum itu, perlu diketahui, selain sulit diucapkan di mulut secara cepat, gelar juga sulit didapat. Karena ia bukan air liur yang diperoleh ketika tidur.

Academic degree atau yang lebih dikenal dengan gelar akademik merupakan sebutan yang diberikan oleh perguruan tinggi kepada lulusan pendidikan akademik, pendidikan vokasi dan pendidikan profesi. Jenjang gelarnya bermacam-macam, mulai dari diploma, sarjana, magister, doktor hingga profesor. Tentu ketika seseorang telah mendapatkan semua gelar itu, ia akan istimewa dari yang lainnya. Tersebab, bukan karena tempelan gelar yang ada di awal dan di akhir nama seseorang, melainkan karena ia telah menjalani Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berbunyi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Inilah yang menjadikan gelar itu sesuatu yang sakral dan tidak boleh diberikan kepada sembarang orang.

Seseorang yang bergelar sudah barang tentu mampu mentranformasikan pengetahuan yang dimilikinya kepada para mahasiswa. Tidak hanya sekadar itu, ia juga harus mampu melakukan penelitian dan mempublikasikannya ke khalayak umum. Pun tak kalah pentingnya, ia juga wajib mengabdikan dirinya kepada masyarakat. Sebab bangunan pengetahuan yang ia miliki tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga harus bermanfaat kepada masyarakat. Hal ini merupakan tujuan puncak dari orang yang terpelajar.

Nah, sekarang, ada mahkluk baru yang saya sebut dengan ‘gelarolog’. Ia adalah makhluk misterius yang muncul di kalangan akademik dan sekonyong-konyong mengaku sebagai ‘Guru Besar’. Disebut misterius karena ia tetiba hadir dengan segala gelar yang ia punya, sambil mendaku dirinya sebagai pakar. Padahal ia tidak melakukan apa pun, termasuk Tri Dharma Perguruan Tingg itu sendiri. Sehingga secara otomatis dia mendapatkan privilese di tengah masyarakatnya. Fenomena semacam ini ada dan bereceran di dunia akademik, karena makhluk seperti itu selalu haus pengakuan dari khalayak. Kehausan itu tidak teratasi hanya dengan mempunyai satu gelar. Ia harus mendapatkan banyak gelar untuk memantapkan kedudukan dirinya di hadapan makhluk lain.

Saya teringat dengan Tuan Heidegger, seorang filsuf berkebangsaan Jerman, ketika membahas eksistensi manusia di dunia. Ia mengatakan bahwa seseorang tidak mengenal orang lain kecuali dengan emblem sosial yang melekat pada dirinya. Emblem sosial itu yang akan membentuk eksistensinya, tapi ia bersifat dangkal dan tidak mencerminkan diri sejati penyandangnya. Kedangkalan ini sekarang terwujud pada ketidakjujuran calon atau yang sudah menjadi guru besar. Sebab gelar yang disandangnya tidak merepresentasikan jati dirinya yang sesungguhnya.

Di negeri kita, hal demikian sudah lumrah terjadi. Dalam arti lain, mileu akademik kita tercemari oleh ketidakjujuran intelektual. Para gelarolog berusaha memupuk eksistensinya melalui ruang-ruang kelas dan bersembunyi di bawah nama perguruan tinggi sambil memperkosa ilmu pengetahuan menjadi sebuah simbol belaka. Dengan gagahnya ia menamai dirinya dengan orang yang berilmu.

Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi laboatorium pengujian berbagai ide, sebelum dikonsumsi oleh masyarakat luas, telah beralih fungsi sebagai pasar untuk transaksi jabatan. Pergeseran tersebut disebabkan banyaknya gelarolog yang alergi dengan budaya dialektis. Benturan ide yang seharusnya tumbuh subur di perguruan tinggi hampir mati ditelan oleh praktik-praktik amoral. Dampaknya akan lahir intelek-intelek prematur yang hanya memperkeruh suasana jagat raya. Bahkan cita-cita Tri Dharma Perguruan Tinggi hanya sebatai tempelen saja, tidak mengilhami laku-laku akedemiknya.

Kalau saya bahasakan lebih ringkas, perguruan tinggi sekarang sudah kelihangan jati dirinya. Ia larut dalam kesemrawutan realita, dan tidak kunjung menjadi entitas solutif bagi dirinya sendiri. Permasalahan ini juga datang dari para gelarolog yang memandang pekerjaan mulia ini (baca; mengajar) sebagai instrumen untuk mensejahterakan dirinya sendiri. Apalagi ketika seseorang sudah menjadi guru besar yang kesejahteraannya akan berlipat ganda melalui sertifkasi dosen dan juga tunjangan kehormatan yang besarnya dua kali lipat dari gaji pokok.

Sebenarnya perilaku mereka yang seperti itu tidak perlu dikritik, mereka sudah patut melakukan demikian. Sebab negeri kita sedari dulu kurang apresiatif kepada para masyarakat akademik. Maka tidak heran ketika pendidikan yang berfungsi untuk menjadikan masyarakat beradab, beralih sebagai lahan untuk mencari kesejahteraan. Alias dari non-materi menjadi materi.

Seturut dengan hal di atas, kebijakan pemerintah mengenai pendidikan juga berandil dalam polarisasi pendidikan kita, baik langsung maupun tidak. Sebagaimana kata Ketua Umum Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemantri Brodjonegoro, yang menilai bahwa praktik perjokian publikasi ilmiah tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang memaknai mutu pendidikan sebatas “pencitraan” dengan pencapaian peringkat dan jumlah publikasi. Keharusan pempublikasian bagi perguruan tinggi dan dosen, dengan iming-iming tambahan pengahasilan membuat jumlah publikasi karya ilmiah di negeri ini meningkat. Namun, mirisnya di balik itu semua Indonesia mendapat julukan sebagai negara yang publikasi ilmiahnya banyak yang masuk jurnal ilmiah abal-abal.

Dari sini, saya berasumsi bahwa tidak heran kemudian jika tingkat literasi di Indonesia dinilai rendah. Lantaran pemerintah dan perguruan tinggi yang seharusnya menjadi pionir bagi kemajuan pendidikan kita turut mementingkan simbol (baca: gelar) daripada kompetensi anak didiknya. Sehingga kita tidak perlu menampik bahwasanya banyak para akademisi mengemban setumpuk gelar tapi tidak mengerti dengan fungsi gelarnya sendiri.

Akhirnya, saya turut berduka atas musibah yang menimpa pendidikan kita yang dari dulu tidak kunjung pulih. Peliknya permasalahan ini tidak lantas membuat kita menyalahkan satu pihak saja, melainkan harus melihat dari semua aspek. Baik pemerintah, perguruan tinggi, dan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Termasuk diri kita sendiri, yang nantinya bakalan turut terjun ke dunia akademik. Sudah jujurkah kita?

Moh Al Fayyadh Ar

Habib Fayyadh
Back to top button
Verified by MonsterInsights