Dengan Menyebut Nama Allah, Bacalah!
Diterjemahkan oleh: Azzurin Nisa' Salsabila Syafitri Inayah

Salah satu penganut paham sekulerisme ekstrimis menuliskan, bahwasanya karya Syekh Imam Mutawalli al-Sya’rawi menjadi buku terlaris dan paling banyak dicari di pameran buku. Stan Azhar mengapresiasi dengan menampilkan video dokumenter yang menceritakan kehidupan sosok yang mulia, Syekh Mutawalli al-Sya’rawi. Video tersebut pun menuai banyak respon dari khalayak, baik yang positif maupun negatif. Bentuk respon positif ialah antusiasme yang tinggi dari berbagai kalangan, bahkan respon yang mereka berikan melebihi ekspektasi. Sedangkan respon negatifnya ditunjukkan dengan banyaknya intervensi dan serangan dari mereka yang tidak sependapat.
Meskipun demikian, banyak dari pengikutnya yang tetap setia dan tidak luntur kecintaannya kepada Syekh Imam Mutawalli. Salah satu contohnya, mereka terus mengikuti kajian yang beliau lakukan. Kesederhanaan dalam penyampaian hikmah-hikmah dan risalah yang disampaikan, membuat ajarannya mudah diterima oleh banyak kalangan. Oleh karenanya tidak mengherankan, karyanya tidak hanya diterbitkan di kalangan al-Azhar atau penerbit Islam saja, melainkan juga telah menyebar di stan Dâr al-Akhbâr al-Youm, yakni penerbit umum yang sudah banyak menerbitkan buku Imam Besar Syekh Mutawalli al-Sya’rawi. Pun pengikutnya terus berlomba-lomba mengikuti karya yang beliau terbitkan. Animo antusiasme ini berlangsung hingga hari wafatnya.
Ketika saya membaca kitab tafsir karangan beliau, saya mendapati kata demi kata yang dikemas secara ringan, lembut dan mengalir. Sebagai contohnya ialah tafsir beliau mengenai QS. al-Fatihah (fâtihat al-kutub). Dalam tafsir tersebut beliau menulis dengan begitu apik, ditulis dengan tiga ribu kata dalam lima belas lembar untuk menafsirkan basmalah. Beliau menyebutkan bahwa al-Quran diturunkan dengan nama Allah, basmalah. Hal itulah yang melatarbelakangi praktik kita saat ini, yaitu ketika hendak memulai bacaan al-Quran dianjurkan dengan membaca basmalah. Ini juga selaras dengan wahyu pertama yang disampaikan Allah dalam surah al-‘Alaq pada ayat pertamanya. Dimana ayat itu diturunkan oleh Allah dengan perantara Malaikat Jibril. Saat itu Nabi sedang berdiam di Gua Hira. Lalu Jibril mendatanginya dan mengatakan “Iqra”. Nilai penting yang terkandung di sana bahwa basmalah tidak hanya menjadi tanda awal mula turunnya al-Quran, juga sebagai hikmah kepada seluruh umat manusia.
Selanjutnya, bentuk dari kata Iqra’ (yang berarti membaca) merupakan kata perintah yang bersifat permintaan. Hal ini mengandung makna bahwa jika manusia ingin menghafal sesuatu, tentu ada sesuatu yang akan dihafal (adanya objek). Begitu pula dengan membaca, tentu ada objek yang akan dijadikan bahan bacaannya. Akan tetapi, beda halnya dengan Rasulullah, beliau tidak membaca dan menghafal suatu tulisan, meski telah dihadapkan kepadanya sebuah objek bacaan, yakni al-Quran. Hal itu dikarenakan Nabi adalah seorang yang ummi yakni tidak bisa membaca maupun menulis.
Kemudian, ketika Jibril mendatangi Nabi di Gua Hira dan memerintahkannya untuk membaca, Nabi Muhammad SAW membalas, “Saya tidak bisa membaca”. Namun, Malaikat Jibril pun kembali memerintahkan Nabi untuk membaca dan beliau membalas dengan jawaban yang sama. Mendengar hal itu, para pembenci Islam pun menggunakan peristiwa tersebut sebagai senjata untuk merendahkan Nabi Muhammad dengan berkata, “Bagaimana bisa seorang Rasul yang terpilih untuk menyampaikan kitab-Nya, namun tidak bisa melaksanakan perintah Tuhannya untuk membaca?” Hal itu juga dijadikan sebagai alat untuk menghancurkan Islam dari luar.
Nyatanya tuduhan yang mereka lontarkan tentu tidak berdasar. Mereka asal menuduh bahwa Nabi Muhammad tidak bisa membaca. Padahal tidak sepenuhnya begitu, mulanya Nabi tidak bisa mengikuti apa yang diperintahkan Allah (membaca) melalui malaikat-Nya, karena selaku orang yang ummî. Namun, perlu diingat ketika Allah sudah berkehendak dengan kun fayakun-Nya, segala sesuatu menjadi mungkin terjadi. Hal ini pun sama, ketika mulanya beliau tidak bisa membaca, namun ketika Allah menghendaki Nabi untuk membaca, maka dimudahkanlah beliau dalam melantunkan bacaan al-Quran bahkan mengulanginya sampai tiga kali. Demikian juga atas kuasa-Nya menjadikan Nabi Muhammad sosok teladan yang mengajarkan seluruh umat di muka bumi.
Selanjutnya, hal yang melatarbelakangi terpilihnya Nabi Muhammad sebagai suri tauladan ialah karena keistimewan beliau yang belajar langsung dengan Allah SWT dan terpilihnya sebagai guru untuk seluruh umat. Pertama, keistimewaan Nabi Muhammad karena belajar langsung dengan Sang Pemilik Ilmu. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat pertama surah al-Alaq, “Iqra’ bi ismi rabbika alladzî khalaqa, khalaqa al-insâna min a’laq”. Artinya, bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Termaktub secara implisit di sana bahwa Allah mampu menjadikan hal yang tiada menjadi ada, pun sebaliknya. Begitu juga Nabi yang mulanya tidak bisa membaca al-Quran menjadi mampu. Hal itulah yang menjadi mukjizat Nabi, yakni kemampuan memahami al-Quran. Sebagaimana yang diketahui al-Quran tidak hanya dipahami ketika waktu turunnya saja, melainkan hingga nanti datangnnya hari kiamat.
Kedua, Allah menjadikan Nabi Muhammad sebagai manusia terpilih sebagai mualliman (guru) bagi seluruh umat. Dikuatkan dengan ayat setelahnya“Iqra’ wa rabbuka al-akram. Alladzî ‘allama bi al-qalam”. Artinya, bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Mulia dan mengajarkan dengan pena. Dalam penggalan ayat tersebut kata “al-akram” berasal dari kata “karim” yang menggunakan sighah mubalaghah atau kata sifat superlatif (menyatakan paling), sehingga dapat dimaknai dengan yang paling mulia. Dengan begitu, dapat kita simpulkan bahwasannya orang yang menuntut ilmu dengan sesamanya saja mendapat ganjaran kemuliaan dari Allah. Lalu sama halnya dengan kemuliaan yang akan diperoleh Nabi Muhammad karena telah belajar langsung dengan Sang Pemilik Ilmu.
Adapun maksud dari kisah pertama kali diturunkannya wahyu yang telah diceritakan di atas, bahwasanya Allah ingin menunjukkan kebenaran kepada mahkluk-Nya, yakni kemampuan Nabi Muhammad dalam membaca. Nabi dapat membaca tanpa melalui proses belajar layaknya manusia pada umumnya, akan tetapi beliau mampu membaca atas kehendak Allah. Walakhir, dari contoh tafsiran Syekh Mutawalli al-Sya’rawi di atas, dapat kita pahami bahwa beliau ingin menunjukkan kepada para pembaca akan adanya keterikatan antara basmalah dengan ayat-ayat al-Quran yang lain. Beliau juga menggunakan sebagian ayat tersebut untuk menjelaskan ayat yang lain dengan tujuan memudahkan pembaca untuk memahaminya (paham dalam sekali membaca.) Tentunya, hal itu membuktikkan betapa besarnya usaha beliau dalam menyampaikan tafsiran al-Quran.
Diterjemahkan dari koran Shout al-Azhar edisi 08/02/23