Humaniora

Ketimpangan Narasi Tentang Syaikhana Khalil

Oleh: Achmad Zaini Djafar

Tentu di dalam kehidupan, kita sering mendengar kisah atau cerita dari orang-orang sekitar kita, baik itu bersumber dari teman, guru maupun keluarga. Dari beberapa kisah tersebut tak jarang kita menjumpai banyak gagasan, emosi dan pelajaran berharga yang bisa dipetik. Pada dasarnya manusia memiliki emosi yang sama untuk menyukai cerita, ini salah satu cara agar manusia mudah memahami dunia sekitarnya. Cerita memiliki kekuatan unik untuk membentuk pandangan manusia akan dunia. Bahkan lebih dari itu, cerita memiliki peran yang besar dalam menilai hal yang salah dan benar, pada akhirnya hal ini mempengaruhi penilaian manusia secara moral. Jika seorang anak tumbuh dengan cerita-cerita yang penuh dengan harapan dan inspirasi, mungkin dia akan tumbuh dewasa dengan penuh harapan dan inspirasi.

Bercerita adalah seni penyampaian pikiran atau gagasan kepada orang lain, dengan beberapa cara yang sudah berkembang dari masa ke masa. Mayoritas dari informan cerita meriwayatkan dengan narasi yang sama, sementara ada beberapa yang mencampur, mengurangi atau bahkan menambahkan ceritanya agar terdengar lebih renyah, sehingga menyebabkan penilaian yang kurang tepat dari masyarakat kepada tokoh tertentu. Hingga tak jarang cerita-cerita yang sudah menyebar di masyarakat malah menjadi bias dan sulit untuk divalidasi. Tentu informan memiliki peran penting dalam menyampaikan ceritanya.

Hal serupa ini terjadi kepada Mahaguru para ulama di Nusantara ini, yaitu Syaikhana Muhammad Khalil Bangkalan. Mulanya banyak pengakuan dari para zuriah santri-santri Syaikhana Khalil bahwa waktu kakek buyut mereka belajar kepada Syaikhana di Bangkalan hanya menjadi khadam, membantu dan menyiapkan kebutuhan kiai dan keluarga, sampai-sampai menimbulkan kesimpulan seakan santri-santri Syaikhana mendapatkan ilmu tanpa proses belajar. Padahal memang santri terdahulu lebih bangga mengaku khadam kiai dari pada santrinya.
Ironinya, narasi-narasi yang beredar di media cetak atau elektronik terkait Syaikhana, umumnya hanya menyoroti sisi kekeramatan atau eksotisnya, tanpa meyoroti intelektualitas dan produktivitasnya. Cukup disayangkan, ketika perjalanan hidupnya yang istimewa tidak bisa diteladani hingga pada akhirnya hanya menjadi cerita legenda, tak sedikit orang yang menilai beliau hanya sebatas orang sakti. Seakan-akan segala hal yang meliputi Syaikhana tidak lebih hanya sebatas orang sakti yang bisa melakukan sesuatu di luar nalar. Sedangkan, keilmuan dan kealiman beliau lambat laun dikikis oleh kisah-kisah demikian.

Penilaian di atas cukup kontradiktif dengan realita yang ada. Kita bisa menjajaki ranah intelektualitas beliau dari metode pembelajarannya, semisal penemuan Lajnah Turats Syaikhana Muhammad Khalil akan kitab Jurumiyah yang di dalamnya terdapat taqrîrât atau catatan pinggir serta lengkap dengan terjemahannya yang ditulis oleh salah santri sewaktu mengaji kepada Syaikhana. Mengutip dari kanal Youtube Orang-orang Madura, KH Utsman Hasan, Ketua Lajnah Turats Syaikhona Khalil, menyatakan bahwa beliau pernah menjumpai kitab Alfiyah Ibn Malik yang dipenuhi dengan catatan samping dan terjemahannya. Kitab tersebut ditulis oleh Kiai Ismail salah satu santri kalong atau nyoloh (tidak menetap di pesantren) di pesantren Syaikhona saat itu.

Tidak cukup sampai di situ, konon pedagang-pedagang di kompleks pesantren pada masa itu hafal nazam Alfiyah Ibni Malik. Keadaan ini terjadi karena para pedagang terbiasa mendengar para santri yang acap kali mengulang-ulang hafalan Alfiyah-nya. Bisa dibayangkan intelektualitas santri-santrinya yang setiap hari mengaji, mendengarkan dan menghafal selama bertahun-tahun di hadapan beliau, sudah barang tentu akan sangat luar biasa.

Di sela-sela kesibukannya sebagai pengajar dan tokoh masyarakat, Syaikhana juga cukup produktif menghasilkan karya-karya ilmiah, bahkan produktivitasnya berlangsung sampai usia senjanya. Data yang yang dikumpulkan dari Lajnah Turats Syaikhona menyebutkan bahwa beliau masih aktif menulis pada umurnya yang ke 70 tahun. Fakta ini didapati di bagian belakang salah satu manuskrip milik Syaikhana Khalil yang tertulis tahun penulisannya. Saat ini, setidaknya ada tujuh karyanya yang telah dicetak dan terdistribusi, di antaranya al-Matnu al-Syarîf, al-Silah fî Bayân al-Niâah serta lima lainnya yang dicetak dan dipublikasikan oleh Lajnah Turats Syaikhona Khalil. Pun masih ada puluhan judul yang lain berbentuk manuskrip dan belum dicetak.

Selain terkenal sebagai orang alim, Syaikhana memiliki sifat luhur dan berbudi pekerti yang mulia. Meski beliau dikenal sebagai seorang ulama, beliau lantas tidak semena-mena angkuh dan congkak. Perilaku beliau untuk tetap andap asor kepada guru-gurunya, menghormati yang sepuh dan menerima keterbukaan selalu menjadi ciri khasnya. Salah satu sikap ketebukaan beliau termaktub di salah satu manuskripnya dalam bahasa Madura. Yakni, “Sapah-sapah orheng she nenghalen dhek tarjemah al-Qor’an panekah, ghunegaleh dhek salanah, ngaoelle pabecchek kalabhen ekhlas tanpa cat-nyacat, karna she nolhes ariyah parak dhepa’ah min dzohriha ila batniha.” Terjemahannya, “Siapa saja yang melihat terjemahan al-Qur’an ini, kemudian mendapatkan kesalahan, mohon diperbaiki dengan ikhlas, karena yang nulis ini sudah hampir mencapai min dhahrihâ ilâ batnihâ (ajalnya).”

Dari pemaran di atas sudah jelas kiranya bahwa Syaikhana Khalil bukan saja orang keramat, akan tetapi juga intelek yang cukup produktif serta memiliki perangai yang mulia. Bahkan gagasan pembelajaran Alfiyah-nya sukses dikembangkan oleh para santrinya lewat pesantren-pesantren mereka. Lantas apa faktor yang memicu ketimpangan narasi tersebut? Setelah penulis amati setidaknya ada dua faktor utama yang memicu terjadinya ketimpangan narasi ini, Pertama, beragamnya kemampuan komunikasi dan persepsi yang dimiliki masyarakat. Kedua, kultur sosial masyarakat Madura dan Jawa yang cenderung tertarik dengan hal mistik dan eksotis, sehingga mereka lebih tertarik mengangkat sisi kekeramatan Syaikhana dari pada intelektualitasnya. Hal ini tentu umum sekali terjadi, terutama di beberapa pesantren masih menyebar kisah-kisah kekeramatan seorang kiai daripada kisah ketekunannya dalam belajar maupun karya-karyanya.

Untuk mereduksi ketimpangan narasi semacam ini, setidaknya ada lima unsur yang perlu diterapkan dalam bercerita. Pertama, penentuaan konteks cerita, sehingga pendengar bisa memahami struktur cerita secara keseluruhan. Kedua, penggunaan analogi yang ringan agar pendengar mudah terpamor oleh isi cerita. Ketiga, perangsangan emosi dan imajinasi pendengar. Keempat, menjaga agar cerita tetap konkret dan realistis. Cerita yang tidak realistis sulit dipercaya pendengar, sehingga tidak terekam dengan baik oleh pendengar. Kelima, sesuaikan narasi dengan lingkungan pendengar.

Mesti demikian, bercerita tidak semudah melambaikan tangan. Kekurangan ide kerap akan mejadi penghambat ketertarikan pendengar akan cerita, sampai-sampai cerita tersebut tidak terekam dengan baik di benak pendengar. Oleh karena itu, kita memang perlu banyak membaca, berkomunikasi dengan pelbagai macam kelompok agar mengenal beragam karakter manusia, sehingga kita mampu untuk berkomunikasi sesuai dengan kadar kemampuan yang dimiliki setiap lapisan masyarakat. Tentu, kita perlu banyak mengangkat sisi intelektualitasnya para ulama Nusantara kita, agar menjadi sebuah pelajaran bagi generasi masa depan untuk gigih dalam belajar.

Achmad Zaini Djafar

Mahasiswa Ushuluddin Universitas al-Azhar
Back to top button
Verified by MonsterInsights