Wawancara

Meluruskan Miskonsepsi Pendidikan Seks

Pewawancara: Fayyadh Muchlis Muhammad Hanafi dan Muhammad Haikal Ali

Pendidikan seks merupakan isu yang kerap kali diperdebatkan di jagat nyata maupun maya. Label “tabu” dan “amoral” seakan-akan menempel pada entitas pendidikan ini. Sayangnya, fokus masyarakat hanya terpaku pada diksi “seks” dan tidak mengindahkan kedudukan kata “pendidikan” sebagai sandarannya. Di sisi lain, berita-berita seputar penyelewengan seksual makin eksis di tengah khalayak. Lantas, apakah pendidikan seks penting diimplementasikan? Lalu, pendidikan seks seperti apa yang sebaiknya diterapkan?

Berangkat dari hal di atas, sehubungan dengan terbitnya Buletin Bedug Edisi ke-57 yang bertemakan “Edukasi Seks; Perlu atau Tabu?”, kru Bedug Media berkesempatan untuk mewawancarai Ibu Najelaa Shihab selaku psikolog dan praktisi pendidikan sekaligus pendiri Sekolah Cikal. Putri pertama Abi Quraish Shihab ini merupakan influencer penggagas jaringan Semua Murid Semua Guru (SMSG) yang aktif menyuarakan isu pendidikan progresif, termasuk pendidikan seks di Tanah Air. Selain itu, ia turut mengasuh lembaga pendidikan lain seperti Yayasan Guru Belajar, Sekolah Murid Merdeka, dan Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ). Simak hasil wawancara kami berikut:

KB (Kru Bedug): Secara umum, bagaimana urgensi pendidikan seks? Seberapa penting?
NS (Najelaa Shihab): Saya rasa, pendidikan seks atau yang biasa saya sebut dengan pendidikan seksualitas dan hubungan ini amatlah penting melihat bahwa seksualitas adalah unsur esensial pada perkembangan manusia. Setiap insan pasti akan mengalami fase-fase seksualitas sejak usia dininya hingga ia dewasa. Pada praktiknya di lapangan, diakui atau tidak, sebenarnya anak-anak maupun remaja sekarang telah mendapatkan banyak sekali informasi tentang seksualitas. Hal ini dapat dilihat dari media sosial, percakapan dengan teman sebaya, ataupun observasi terhadap perilaku orang lain di sekitarnya.
Namun sayangnya, informasi tentang seksualitas yang didapat, acap kali tidak mendorong mereka pada perilaku seksual yang sehat, bertanggung jawab dan sesuai dengan nilai moral. Hal tersebut dikarenakan sumber informasi dalam tahap belajarnya mungkin tidak tepat dan tidak direncanakan dengan baik. Sehingga, saya tegaskan bahwa pendidikan seks yang harus dimasyarakatkan adalah pendidikan dengan sumber yang tepat, terencana, dan sesuai dengan nilai serta tahap perkembangan seseorang, khususnya anak-anak.

KB: Siapa pihak yang bertanggung jawab dalam memasyarakatkan pendidikan seks? Apa saja peran yang dapat dilakukan oleh pihak tersebut?
NS: Jika berbicara mengenai siapa yang bertanggung jawab dalam pemasyarakatan pendidikan seks, maka hal itu kembali kepada kaidah yang sering saya kampanyekan, yaitu Semua Murid Semua Guru (SMSG). Artinya, semua elemen yang ada di Tanah Air harus aktif berperan dan saling bersinergi dalam menyebarkan pendidikan seks yang positif. Namun bila ingin dirunut, tentunya peran yang paling utama adalah peran orang tua. Hal ini tidak bisa dinafikan karena orang tualah pihak yang paling dekat dan diperhatikan oleh seorang anak sejak dilahirkan.
Baru setelah itu, pendidikan formal yang ada di sekolah turut andil dalam mentransfer ilmu ini. Pelajaran seksualitas di sekolah formal sama pentingnya dengan pelajaran-pelajaran lain seperti olahraga, fisika, kimia dan agama. Saat berbicara mengenai pendidikan formal, pastinya terdapat fungsi pemerintah di dalamnya. Peran pemerintah cukup vital karena kuasanya mengatur kebijakan seputar kurikulum dan undang-undang.
Terakhir, menengok zaman digital dewasa ini, nampaknya peran media sosial dan media massa dalam mengenalkan pendidikan seks juga tidak kalah penting. Anak-anak zaman sekarang banyak mengonsumsi asupan dari media tersebut sehari-hari. Oleh sebab itu, sangat disayangkan apabila seorang anak memperoleh pendidikan seks yang baik dari orang tua maupun sekolahnya, namun media yang dikonsumsi menyuguhkan asupan tentang seksualitas yang buruk dan amoral.

KB: Bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia di sektor pendidikan seks? Apakah sudah terbilang baik sejauh ini?
NS: Kebijakan dan peran pemerintah dalam sektor pendidikan seks sekarang, menurut saya menunjukkan perkembangan yang cukup berarti. Misalnya, pertama, di Kurikulum Merdeka, terdapat proyek penguatan profil pelajar pancasila (P5) yang di dalamnya memuat tema utama seputar kesehatan jiwa dan raga. Proyek ini sangat bisa dikembangkan oleh pihak sekolah untuk membahas isu-isu penting seputar pendidikan seksualitas.
Kedua, hadirnya program asesmen nasional yang sudah cukup aware akan isu seksualitas dan kekerasan. Program evaluasi terhadap lembaga pendidikan di Tanah Air ini mencakup survei karakter dan lingkungan sekolah yang harus bebas dari kekerasan seksual. Harapannya, dengan pengawasan berupa asesmen, kasus-kasus kekerasan seksual di sekolah yang sebelumnya tersembunyi “di bawah karpet”, dapat terungkap dan dituntaskan dengan baik. Ketiga, sudah ada peraturan-peraturan yang cukup tegas dalam mencegah serta menghadapi kasus kekerasan seksual. Ini dapat dilihat dari undang-undang yang baru disahkan (UU TPKS) nyatanya lebih memihak kepada korban kekerasan.
Namun, mungkin yang perlu digarisbawahi adalah perlunya pengawasan serta pemberian panduan yang rapi kepada para pemangku media dan masyarakat. Walaupun kebijakan penyensoran di media menimbulkan kontroversi, setidaknya pemerintah perlu memberikan panduan kepada media agar bijak dalam menyajikan konten seksual dan juga panduan kepada orang tua dalam membimbing anak saat mengonsumsinya. Selain itu, kampanye pendidikan seksualitas yang tepat juga hendaknya digencarkan lebih ekstensif kepada seluruh kalangan. Pesan saya terakhir, lagi-lagi kebijakan yang positif ini tak akan berjalan jika akhirnya tidak diiringi dengan pengimplementasian yang baik oleh semua pihak.

KB: Bagaimana langkah yang efektif menurut Ibu Ela, selaku psikolog dan juga seorang ibu dalam memberikan pendidikan seks kepada anak di usia dini?
NS: Pendidikan seks bagi anak usia dini bagi saya dapat dimulai dari hal yang sederhana, yaitu menunjukkan bagian-bagian tubuh anak yang enggak boleh dipegang dan dilihat oleh orang lain. Anak dilatih konsep consent atau memiliki kesadaran bahwa tubuhnya adalah hak milik dia. Anak diajari agar punya kuasa untuk berkata “tidak” saat tubuhnya diperlakukan kurang baik oleh orang lain bahkan oleh keluarga sendiri.
Orang tua harus pula mengajarkan cara bagaimana sang anak merawat badannya dan bagaimana ia mengenali emosi-emosi di dalam tubuhnya. Karena jika kita melihat hubungan cinta pertama anak, lazimnya adalah orang tuanya. Makin dia punya hubungan emosional yang kuat dengan orang tuanya, hal ini akan menjadi pondasi bagi sang anak dalam berhubungan dengan calon pasanganya dan saat ia menjadi orang tua kelak. Selain itu, orang tua mesti terbiasa dalam menghormati pendapat atau pertanyaan yang dilontarkan anak. Sehingga, anak jadi terasah untuk percaya diri saat berbahasa dan berkomunikasi. Kebiasaan ini turut melatih anak dalam berpikir kritis serta membedakan mana yang baik dan buruk baginya.

KB: Perbincangan mengenai pendidikan seks di Indonesia terkadang masih dirasa tabu oleh beberapa pihak karena dianggap bertentangan dengan koridor moral dan agama. Bagaimana sikap Ibu Ela dalam menanggapi stigma tersebut?
NS: Anggapan mengenai bertentangannya pendidikan seks dengan nilai agama biasanya muncul akibat pemahaman yang sempit bahwa pendidikan seks itu mengajarkan cara berhubungan seksual di luar nikah. Allah menjelaskan banyak petunjuk yang cukup detail kepada manusia tentang bagaimana seharusnya ia berperilaku. Faktanya, ajaran ini mengarahkan manusia dalam berperilaku seksual yang bertanggung jawab, sehat dan sesuai moral. Islam memandang manusia sebagai makhluk seksual sebagai sebuah fitrah yang amat penting.
Oleh sebab itu, isu sekarang harusnya bukan lagi soal apakah pendidikan ini sesuai dengan agama atau enggak. Justru, isu yang perlu digalakkan adalah bagaimana pendidikan seks diintegrasikan sebagai bagian dari pendidikan agama. Bagaimana caranya agar pendidikan seksualitas diarahkan dalam menguatkan ketakwaan, ibadah dan akhlak yang mulia antar-sesama manusia.
Selain itu, catatan untuk sekarang adalah kesediaan para pemuka agama dalam mendiskusikan topik seputar seksualitas. Jadi, tidak hanya praktisi pendidikan umum saja yang bersuara. Hal itu dapat dimulai dengan menghadirkan tafsir-tafsir yang lebih moderat serta seminar-seminar yang progresif. Sehingga, pendidikan ini pun bisa dipahami dan didefinisikan secara lebih komprehensif. Bahkan, Abi Quraish Shihab sendiri sekarang sedang menggarap buku tentang pendidikan seksualitas dalam perspektif Islam. Usaha-usaha tersebut diharapkan agar tidak ada lagi anggapan bahwa pendidikan seks adalah suatu yang tabu, liberal dan bertentangan dengan nilai agama maupun moral.

KB: Sebagai praktisi pendidikan sekaligus pendiri Sekolah Cikal dan lembaga-lembaga lain, apakah kurikulum pendidikan seks sudah terintegrasi dan diaplikasikan di lembaga tersebut?
NS: Kalau di Sekolah Cikal, pendidikan seksualitas dan hubungan punya sesi atau jam khususnya sendiri. Sesi ini biasa kita sebut dengan boys talk dan girls talk. Pada jam itu, murid laki-laki dan perempuan dipisah kelasnya dan diajak berdiskusi seputar seksualitas sesuai dengan usianya. Pelajaran ini mulai ditujukan kepada anak kelas V SD sampai remaja kelas XII SMA. Selain sesi diskusi, tentunya pelajaran seksualitas dan hubungan juga terintegrasi pada pelajaran lain seperti olahraga, sains dan agama.
Saya juga mendirikan lembaga lain bernama Kampus Guru Cikal dan Yayasan Guru Belajar. Keduanya aktif dalam membuat pelatihan seputar pendidikan seksualitas untuk guru-guru Cikal ataupun guru di luar Cikal. Lalu, ada Yayasan Keluarga Kita dan Sekolah Murid Merdeka. Di lembaga ini, program pendidikan seks enggak hanya diberikan untuk anak saja. Kita pun memiliki training wajib yang harus dilalui oleh wali murid agar mereka bisa sejalan dengan sekolah saat membahas pendidikan seks. Lembaga ini juga turut aktif menyebarkan modul-modul pendidikan seksualitas buat para wali murid di sekolah-sekolah lain.
Kalau di PSQ (Pusat Studi Al-Qur’an), kita punya platform bernama IslamEdu. Platform ini merumuskan kurikulum agama yang relevan dan menyenangkan bagi semua kalangan. Di dalam kurikulum tersebut, kita enggak ketinggalan dalam memberikan porsi pendidikan seks di dalamnya. Namun, lagi-lagi kebanyakan masyarakat kita malah hanya fokus pada kasus-kasus seksual yang viral saja. Berita atau program baik yang dicanangkan oleh berbagai lembaga seputar seksualitas justru memperoleh atensi yang minim. Harapan saya, semoga langkah baik ini dapat diperhatikan dan digalakkan lebih luas lagi.

KB: Lalu, apa tantangan terbesar yang Ibu hadapi saat mengampanyekan pendidikan seks di Sekolah Cikal itu sendiri dan di tengah masyarakat secara umum?
NS: Tantangan pertama, orang-orang tuh mikirnya pendidikan seks ngajarin soal hubungan seksual saja. Anggapan seperti ini menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran yang membuat banyak pihak memilih untuk menunda pemberian pendidikan seks sejak dini. Problemnya adalah, kita ini balapan dengan pihak atau sumber lain yang menyebarkan isu seksualitas negatif. Pemberian pendidikan seks sejak dini yang saya tekankan, agar sang anak tidak lebih dahulu mendapatkan informasi seksualitas yang buruk dan tak bertanggung jawab.
Tantangan selanjutnya adalah orang tua dan guru kerap kali menganggap anak yang bertanya tentang seksualitas adalah anak nakal dan genit. Mereka memilih untuk memarahi anaknya alih-alih mengarahkan atau mengajarkannya perihal seksualitas yang baik. Tantangan terakhir datang dari problematika di media massa dan media sosial yang sudah saya singgung tadi. Konten tontonan yang disuguhkan oleh mereka sayangnya sering kali mencederai nilai seksualitas yang positif. Tantangan-tantangan seperti ini, bagi saya pribadi, dijadikan sebagai motivasi agar lebih giat dan semangat lagi dalam mengampanyekan pendidikan seksualitas dan hubungan.

KB: Apakah ranah pendidikan seks juga membahas seputar penanganan terhadap korban trauma kekerasan seksual? Secara umum, apa langkah yang ditempuh untuk memulihkan korban trauma tersebut?
NS: Bicara soal kekerasan seksual, peran pendidikan sebetulnya lebih banyak di aspek pencegahan. PR utama pendidikan yang saya catat itu ada dua. Pertama yaitu mengidentifikasi jenis anak yang lebih berisiko menjadi korban pelecehan. Misalnya adalah anak yang lebih cepat mengalami masa pubertas dan telah menarik secara seksual. Tugas pendidik lebih lanjut yakni mengajarkan keterampilan agar sang anak bisa lebih asertif dalam memberikan batasan perlakuan orang terhadapnya. PR kedua adalah proses penanganan pasca-kekerasan secara komprehensif. Dalam penanganannya, terdapat 2 proses yang harus berjalan paralel secara maksimal.
Pertama, prosedur hukum. Proses litigasi yang komprehensif berupa penindakan tegas, pengumpulan bukti, prinsip keterbukaan serta kerahasiaan perlu dititikberatkan demi keadilan dan penanganan trauma korban. Proses kedua adalah pemulihan mental korban. Penanganan ini sendiri bukan hanya tugas lembaga pendidikan saja. Kita butuh kawan-kawan dari psikolog, konselor, keluarga, dan lingkungan sosial sekitar korban. Label buruk yang disematkan kepada korban kekerasan harus secepatnya dihilangkan. Sebagai psikolog, tidak jarang saya mendapati keluarga korban yang tidak konsisten dan totalitas melakukan proses konseling. Kasus ini patut diperhatikan mengingat pemulihan pasca-kekerasan biasanya membutuhkan waktu cukup lama. Inkonsistensi proses konseling dapat berpotensi membuat korban tidak pulih secara maksimal (fully recovery).

Back to top button