Opini

Piala Dunia U-20, Israel dan Gus Dur

Tahun 2023 adalah tahun yang spesial untuk dunia sepak bola Indonesia. Pertama, PSSI berhasil mengangkat Ketua Umum baru, Erick Thohir, yang diharapkan membawa perubahan besar untuk dunia sepak bola di Indonesia dengan berbekal pengalamannya yang cukup banyak dalam industri olah raga internasional. Kedua, Indonesia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 yang akan diselenggarakan 20 Mei-11 Juni. Di tengah besarnya sambutan masyarakat, tidak sedikit pula di antara kita yang memberikan distraksi terhadap kelancaran hajat akbar tersebut.

Pada edisi Pildun U-20 kali ini, terdapat satu tim yang berasal dari negara paling dibenci se-Indonesia, yakni Israel. Berbondong-bondong tokoh nasional dari lintas bidang angkat suara, menyerukan agar memboikot Timnas (Tim Nasional) U-20 Israel dari kompetisi. Upaya boikot tersebut merupakan bentuk dukungan mereka terhadap rakyat Palestina. Mereka keberatan jika orang Israel yang telah membantai jutaan jiwa tak bersalah di Bumi Kan’an menginjakkan kakinya di Bumi Pertiwi.

Kalau kita menilik sekilas ke dalam sejarah, sikap penolakan terhadap Israel di atas tentunya tak lepas dari adanya konflik yang terjadi di bumi Palestina. Sejak diumumkannya Deklarasi Balfour di Inggris pada tahun 1917, wangsa Yahudi ramai-ramai eksodus mendiami tanah Palestina yang sebelumnya telah dihuni oleh bangsa Arab. Kala itu orang Yahudi masih tergolong sangat minim dan kawasan Palestina masih didominasi oleh orang-orang Arab. Namun, orang Yahudi merampas sedikit demi sedikit hak penduduk asli dan perlahan mulai melakukan okupasi.

Apa yang telah dilakukan oleh orang Yahudi terhadap bangsa Arab Palestina tak lain merupakan rangkaian dari agenda besar Zionisme. Mereka percaya bahwa Palestina merupakan tanah yang dijanjikan oleh Tuhan. Namun, sejak Kekaisaran Romawi melakukan ekspansi besar-besaran ke dunia Timur, mereka menebarkan propaganda anti-semit dan memburu serta membunuh satu-persatu wangsa Yahudi. Mereka yang takut dari kebengisan Kekaisaran Romawi berpencar meninggalkan tanah Palestina.

Setelah dikuasai Kekaisaran Romawi selama beratus-ratus tahun lawanya, Umar bin Khattab yang memimpin umat Islam melakukan ekspansi berhasil membebaskan tanah Palestina. Sejak saat itu kawasan tersebut dihuni oleh bangsa Arab dan mereka beranak-pinak di sana. Oleh karena itu, dalam ideologi zionisme, tanah Palestina sejatinya adalah hak wangsa Yahudi yang harus dikembalikan.

Agenda Zionisme untuk menguasai seluruh bumi Kan’an akhirnya memercikkan api konflik dengan bangsa Arab yang sebelumnya sudah lama mendiami kawasan tersebut. Puncaknya, pada tahun 1948 terjadi perang besar antara Israel dengan bangsa Palestina yang didukung oleh bangsa Arab lainnya di Timur Tengah. Situasi kian memanas dan tidak pernah menemukan jalan keluar. Liga Arab membantu rakyat Palestina berperang dan negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim mengutuk keras perbuatan Israel. Sementara itu, Israel mendapat dukungan politik bahkan materi yang sangat besar dari negara-negara Barat terutama Amerika Serikat.

Banyaknya negara yang ikut campur dalam konflik ini justru semakin membikin runyam keadaan. Konflik ini sampai-sampai dijuluki sebagai the most enduring conflict in the world (konflik paling alot di dunia). Di sisi lain, konflik tersebut melahirkan gerakan anti-Zionis dan anti-Israel. Sementara orang yang terjangkit Islamophobia menganggap gerakan perlawanan rakyat Palestina sebagai terorisme.

Anti-Zionis sudah lahir jauh sebelum munculnya konflik antara ras Yahudi dengan rakyat Arab di Palestina. Dahulu gerakan tersebut sebatas merupakan penolakan terhadap upaya pembentukan kediaman nasional bangsa Yahudi di Palestina oleh pemerintahan Inggris. Akan tetapi, sejak berdirinya negara Israel dan meletusnya konflik yang tak berkesudahan dengan rakyat Palestina, gerakan anti-Zionis semakin besar. Mayoritas promotor propaganda ini adalah bangsa Arab dan umat muslim. Namun demikian, sebagian komunitas umat Kristiani dan Yahudi sendiri kedapatan mengampanyekan gerakan tersebut.

Selain dengan bentuk perlawanan secara politik dan militer, gerakan anti-Zionis juga tampil dalam fenomena yang beragam. Biasanya, gerakan tersebut diungkapkan dalam bentuk demonstrasi, unjuk rasa, dan cancel culture (budaya pengenyahan) dengan memboikot barang dagang, pemutusan hubungan internasional, dan pelarangan kedatangan warga negara Israel. Dalam kasus Piala Dunia U-20, anti-Zionisme oleh sebagian kalangan diperagakan dengan menolak kedatangan timnas Israel ke Indonesia dalam rangka mengikuti turnamen yang digelar oleh FIFA tersebut.

Sebenarnya dalam sejarah Piala Dunia FIFA, terdapat beberapa negara yang dilarang tampil sebab berbagai macam alasan. Meksiko misalnya dilarang tampil dalam pagelaran Piala Dunia U-20 sebagai sanksi sebab menggunakan empat pemain yang melebihi umur maksimal dalam peraturan turnamen. Ironisnya, Meksiko kala itu merupakan tuan rumah dalam ajang empat tahun sekali tersebut.

Selain itu, terdapat beberapa negara yang dilarang tampil di Piala Dunia karena alasan politik. Pasca-Perang Dunia II, FIFA yang sempat meliburkan pagelaran Piala Dunia kembali menggelarnya pada tahun 1950. Jerman dan Jepang yang dianggap sebagai dalang meletusnya Perang Dunia II dilarang tampil mengikuti turnamen. Afrika Selatan sempat diban selama lebih dari 30 tahun karena permasalahan apartheid yang tak kunjung usai dalam politik internalnya. Sementara itu, kasus pelarangan tampil yang paling dekat akhir-akhir ini adalah Rusia. Negara ini dilarang tampil pada Piala Dunia 2022 di Qatar kemarin karena agresi militer yang dilakukan terhadap tetangganya Ukraina.

Kalau berkaca pada kasus-kasus di atas, pemberian sanksi berupa pelarangan bermain kepada Israel adalah hal yang mungkin. Sebelas-dua belas lah dengan konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, Israel berusaha menguasai seluruh bumi Kan’an dan memproklamasikan Yerusalem sebagai miliknya. Sementara Palestina engos-engosan mempertahankan tanah tersebut sebagai miliknya. Dalam konflik tersebut, ribuan jiwa penduduk Palestina tak bersalah hilang begitu saja.

Sebagian kalangan yang menentang kedatangan Timnas Israel U-20 di Indonesia, menganggap bahwa dengan penolakan tersebut barangkali dapat menjadi senjata politik agar pemerintahan Israel menurunkan laras senapan yang menghadap Jalur Gaza. Lebih jelas lagi, penolakan tersebut merupakan penegasan sikap bangsa Indonesia yang mengutuk serangan militer Israel ke Palestina. Hal ini tak lain dikarenakan baiknya hubungan yang terjalin antar kedua negara ini. Terlebih, keduanya sama-sama mayoritas berpenduduk muslim sehingga ada interkoneksi religius yang terbangun.

Saat Indonesia sudah menyatakan dirinya siap menjadi tuan rumah, seharusnya hal-hal seperti ini adalah risiko yang harus diterima. FIFA berhak meloloskan tim mana saja yang mampu menyelesaikan babak kualifikasi untuk berlaga di babak final. Pada tahun ini, kebetulan satu di antara tim yang lolos babak kualifikasi adalah Timnas Israel U-20. Oleh karena itu, mau tak mau Indonesia harus menerima keputusan tersebut. Toh satu-satunya gugatan tersebut adalah melalui pengaduan terhadap FIFA yang memegang regulasi bukan PSSI yang hanya bertindak sebagai tuan rumah.

Penolakan semacam ini justru menunjukkan kualitas pemerintahan Indonesia yang tak mampu bersikap profesional dalam ajang internasional. Kedewasaan bangsa kita masih dipertarukan, kina hingga mendatang. Untuk menghilangkan kebencian yang meliputi konflik Israel-Palestina, cancel-culture bukanlah pilihan yang tepat apalagi untuk dijadikan sebagai satu-satunya jalan.

Barangkali diplomasi meja makan menjadi satu di antara dua solusi yang bisa dilakukan. Namun sayangnya, Israel-Palestina adalah isu yang sangat sensitif di Indonesia. Isu ini memiliki pengaruh yang besar dalam benak masyarakat Indonesia. Sebut saja kalimat permusuhan terhadap bangsa Yahudi atau Israel, maka secara spontan simpati masyarakat berhasil diraih. Maka tak jarang para punggawa politik atau siapapun yang hendak mengambil simpati masyarakat biasa memainkan isu ini. Pada saat yang sama, upaya diplomasi apapun hanya akan menghadirkan penolakan yang keras dari jutaan masyarakat Indonesia.

Persis seperti apa yang telah dilakukan Gus Dur sebelum dan setelah ia mulai menjabat jadi presiden. Perdana Menteri Israel kala itu, Shimon Peres sangat dekat dengannya. Berkali-kali Gus Dur mengunjungi Israel hingga berusaha membuat perjanjian dagang. Sontak jutaan warga mencibir dan menolak. Hal yang sama bahkan dari teman-teman politiknya. Mereka garuk kepala dengan apa yang telah dilakukannya. Sebab pikir mereka, tak lain apa yang dilakukan Gus Dur hanya akan mencoreng citra baik dan mengundang lebih banyak oposisi.

Sejatinya apa yang hendak dilakukan Gus Dur adalah uapaya untuk mendamaikan Konflik Palestina-Israel. Lantas mengapa harus menjalin diplomasi dengan Israel alih-alih datang mengunjungi barisan korban bangsa Palestina? Akan hadir ribuan pertanyaan memang, kiranya kita melihat sepak terjang diplomasi perdamaian Gus Dur. Singkatnya, kedudukan Israel secara politik dan militer lebih diperhitungkan. Maka, apabila hati pemerintah Israel berhasil direnggut, bukan tidak mungkin peredaan konflik akan lebih cepat dan nyata tanpa perlu menghabiskan banyak pengeluaran.

Upaya yang telah dilakukan Gus Dur bukan tidak mungkin bisa terapkan dalam turnamen Piala Dunia U-20 ini. Maka dalam menguji kelayakan Indonesia dalam turnamen internasional seperti ini, pengaturan serta pelayanan yang baik terhadap para tamu sangat diperlukan. Selain untuk menunjukkan kebesaran bangsa Indonesia, melalui hal yang sama, terdapat subliminal massage yang bisa kita mainkan dalam rangka mendukung rakyat Palestina. Untuk melakukan hal itu, maka mengambil hati dengan setidaknya tidak menolak adalah hal yang paling dasar. Penolakan hanya berujung pada penolakan lainnya. Kemarahan hanya melahirkan kemarahan lainnya. Lantas siapa pula mau berdamai setelah ia dienyah?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button