
Pada bulan lalu, media sosial dihebohkan dengan kasus penganiayaan pemuda bernama David, anak salah satu petinggi PP GP Ansor oleh anak salah satu pejabat Direktorat Jendral Pajak. Buntut dari kasus itu, netizen mulai mencari tahu latar belakang pelaku. Hasilnya terungkap bahwa keluarga pelaku memiliki beberapa skandal. Salah satunya adalah pelaku sering memamerekan mobil mewah, Jeep Wrengler Rubicon yang harganya berkisar 1 Miliyar Rupiah. Dari skandal tersebut, masyarakat Indonesia mulai mengaitkan mobil Jeep dengan kehidupan orang kaya. Hingga melahirkan asumsi bahwa mobil Jeep hanya dapat dimiliki oleh kalangan atas; pejabat, artis atau pengusaha.
Sejatinya, jika ditilik kembali, mobil Jeep hanyalah mobil biasa sebagaimana mobil lain. Fungsinya pun sama, yaitu kendaraan darat beroda empat yang digunakan sebagai alat transportasi. Namun, dari hakikat yang sebenarnya disadari, anggapan bahwa mobil Jeep Rubicon hanya diperuntukkan kepada orang berstrata sosial tinggi sulit untuk memudar. Berangkat dari kasus di atas, disadari atau tidak, sering kali kita mengklasifikasikan suatu benda dengan tingkat sosial dalam masyarakat. Lantas mengapa fenomena seperti itu bisa terjadi?
Fenomena ini mengingatkan saya pada salah satu teori semiotika Roland Barthes, yaitu denotasi-konotasi. Teori ini digunakan sebagai pembacaan terhadap karya sastra atau fenomena budaya. Semiotika Barthes lahir dari konsep penanda dan petanda Ferdinand De Saussure yang menilai setiap gejala sosial memiliki tanda sehingga dapat menghasilkan makna. Semiotika Barthes menjelaskan bagaimana cara manusia memandang gejala kehidupan sehari-hari tidak hanya dengan makna denotasi, tapi juga menggunakan makna konotasi.
Makna denotasi merupakan makna definisional, harfiah, jelas atau makna secara zahir dari suatu tanda (benda atau nama) dan biasanya bersifat konvensional. Sementara itu, makna konotasi merupakan asosiasi-asosiasi sosiokultural dan personal (ideologi, emosi, dll) dari tanda yang muncul. Makna konotasi biasanya berhubungan dengan stratifikasi sosial, gender, usia, atau etnisitas dari pemakai tanda.
Secara ringkas, makna denotasi merupakan pemaknaan biasa yang mengacu pada kamus atau pun sesuai pada tangkapan panca indra. Kita mengambil satu kata, misalnya “hijau”. Dalam pemaknaan denotasi, hijau berarti salah satu warna konvensional di suatu masyarakat. Sedangkan makna konotasi hijau akan bersifat polisemi (multittafsir) dan menyimpan makna berlapis. Pemaknaan konotasi bisa memberikan ruang eksploratif bagi pemberi makna, serta berkaitan dengan aspek kultural dan sosial-politik. Konotasi yang terlampau eksploratif akan melahirkan mitos dan lebih jauh lagi akan bertransformasi menjadi ideologi. Dengan begitu, tidak asing didengar pemaknaan hijau sebagai simbol kemakmuran, kesejahteraan, gerakan politik, ideologi, bahkan menjadi rujukan untuk penyebutan suatu entitas. Misal warna hijau yang identik dengan organisasi Nahdlatul Ulama dan biru bagi organisasi Muhammadiyah.
Pada hakikatnya, kita tidak akan bisa lepas dari pemaknaan denotasi-konotasi. Makna denotasi-konotasi juga dipengaruhi oleh perkembangan zaman serta telah mengakar hampir pada setiap objek di masyarakat. Konsekuensinya, ada kalanya kita perlu memaknai benda dengan denotasi atau adakalanya memaknainya dengan konotasi. Pemaknaan dengan paradigma denotasi-konotasi selayaknya menjadi perhatian. Perubahan makna menuju konotasi yang secara ekstrem memberikan dampak negatif, salah satunya menimbulkan anggapan pembeda antar-kelas sosial masyarakat. Masyarakat tidak lagi memandang suatu barang dari fungsi dan manfaat, tapi mereka tergiring ke dalam konotasi dan berusaha melakukan apa pun untuk bisa setara dengan kelas yang sebenarnya mereka ciptakan sendiri.
Kembali ke fenomena mobil Jeep. Makna denotasi mobil Jeep adalah merek mobil keluaran 90-an yang sama halnya dengan mobil lain. Di kalangan masyarakat saat itu, mobil Jeep tidak identik dengan kalangan atas. Tetapi seiring berjalannya waktu, mobil Jeep tidak sesederhana itu. Konotasi mobil Jeep berubah menjadi sebuah simbol ekslusivitas untuk orang kaya. Mobil jeep dengan nama-nama yang sulit dan merek yang berbeda bertransformasi dari sekadar mobil biasa menjadi sebuah penanda suatu kelas.
Selain pembedaan kelas seperti contoh di atas, denotasi-konotasi seringkali bermain di ranah pandangan gaya hidup. Misalnya gaya hidup bermedia sosial yang harus menggunakan telepon genggam bermerek Iphone. Konotasi menjadikan fungsi telepon tidak sesedarhana untuk berkomunikasi. Telepon genggam bisa menjadi alat untuk adu gengsi dan kadang kala menjadi syarat yang harus dimiliki seseorang untuk bisa percaya diri ketika berteman dengan kelompok tertentu. Pada tahapan yang lebih jauh, orang yang ingin memiliki Iphone harus menyiapkan hal lain sebagai perangkat pendukung. Semisal harus menyiapkan perangkat pendukung (Airpods, Apple watch, Ipad) dan berpenampilan gaul.
Tentu sah-sah saja, semisal kita ingin menentang anggapan-anggapan tak tertulis tersebut. Misalnya menggunakan telepon genggam jadul di tengah circle telepon genggam bermerek. Kita tetap saja bisa berkomunikasi dan bersua foto dengan telepon genggam tersebut. Di lain hal, seseorang tetap bisa bepergian dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan mobil biasa. Akan tetapi, kita akan merasa asing serta merasa tidak setara dengan yang lain. Kemudian merasa termarginalkan karena tidak memenuhi hal yang dianggap prasyarat turunan untuk bergaul di sana.
Perpindahan denotasi ke konotasi di satu sisi akan menjadi sebuah boomerang bagi pemberi makna. Sikap memaksakan diri untuk mengikuti konotasi sedikit demi sedikit akan menggerogoti usaha seseorang untuk memantaskan identitas dan idealismenya. Dampak lainnya, ia akan melahirkan perilaku boros dan hedonisme serta cenderung tidak mampu menyiapkan kebutuhan mendatang.
Kasus-kasus di atas sebenarnya tersebar di banyak aspek kehidupan kita saat ini. Banyak sekali makanan, pakaian, aksesoris berharga “tidak normal” yang sebenarnya secara fungsi sama saja dengan yang berharga standar, tetapi sengaja diciptakan untuk menegaskan perbedaan kelas. Sayangnya, sering kali kita terjebak dalam hal semu semacam itu. Demi mengikuti gengsi, masyarakat modern rela membeli barang-barang mahal dan mengonsumsi barang yang sejatinya tidak penting, padahal posisinya hanya sebagai barang tersier.
Dari fenomena ini, identifikasi kita terhadap tanda dengan pemaknaan konotasi terus menerus akan diuji. Semakin luas pemaknaan tanda oleh suatu masyarakat konvensional, maka terbuka juga kemungkinan untuk pemberian makna yang mengarah kepada pembedaan kelas dan pembedaan gaya hidup atau pun pemaknaan lainnya. Sehingga pemaknaan denotasi pada suatu barang tertentu diamini oleh masyarakat sebagai ‘pembeda kelas’, meski tidak tertera secara tertulis hukum tersebut.