BukuResensi

Membedah Problematika Perempuan dalam Al-Quran

Oleh: Ainul Mamnuah

Maju dan mundurnya peradaban suatu daerah, itu ditentukan oleh bagaimana laku perempuan dalam suatu daerah tersebut.’’ Ungkapan atau asumsi semacam ini kerap kali saya dengar, baik di lingkup akademis maupun masyarakat secara umum. Berangkat dari ungkapan tersebut mucul sebuah gagasan tentang perempuan, gender dan feminitas. Sebenarnya fenomena ini merupakan fenomena sosial biasa, yang menjadi bagian historisitas perkembangan masyarakat. Hanya saja, akar problematika yang menyebabkan lahirnya gagasan dan gerakan di atas bukanlah fenomena biasa. Khususnya dalam polarisasi hubungan sosial, diferensiasi jenis kelamin itu terwujud karena disosialisasikan dan dikonstruksi, baik secara sosial maupun kultural Sehingga dipastikan hal ini menjadi value yang diyakini dan memengaruhi lelaku masyarakat.

Berangkat dari persoalan di atas, kita perlu mengidentifikasi akar-akar dari pemikiran serta perilaku mereka, sehingga mampu menghadirkan solusi kebenaran yang kuat untuk meluruskan pemikiran tersebut. Bukan lagi pertanyaan tentang apakah perempuan dan laki-laki itu setara atau bagaimana aksi feminis. Akan tetapi justru memulainya dengan pertanyaan sederhana; apa saja keistimewaan dari masing-masing gender tersebut?

Salah satu buku milik Abbas Mahmud al-Aqqad yang mengulas tentang problematika perempuan dan cukup menyita perhatian ialah Al-Mar’ah Fî Al-Quran. Ini merupakan satu dari dua karya beliau yang tidak berkaitan dengan kajian sastra, melainkan kajian tafsir al-Quran. Saya tertarik membaca buku ini bukan tanpa alasan, akan tetapi berawal dari rasa penasaran bagaimana seorang jurnalis, kritikus sekaligus sastrawan membahas tentang persoalan perempuan melalui kajian tafsir.

Di dalam pendahuluan buku ini, Abbas Aqqad menjelaskan bahwa problematika perempuan di setiap lini masa itu sama, yakni seputar tiga aspek yang mencakup segala persoalan kehidupan mereka, baik itu di ranah pribadi maupun sosial. Pertama, karakter alami seorang perempuan, termasuk berbicara tentang kemampuan dan kapabilitas mereka dalam bersosialisasi di antara mereka sendiri atau pun masyarakat secara umum. Kedua, hak dan kewajiban perempuan dalam lingkungan keluarga dan sosialnya. Ketiga, pergaulan atau interaksi perempuan dengan kehidupan sosial yang mengharuskan mereka memiliki etika dan moral, terutama dalam hal kebiasaan dan berperilaku. Dimana ketiga permasalahan ini telah dibahas dalam risalah-risalah yang berbeda.

Dari premis-premis di pendahuluan tersebut, kemudian penulis menjelaskan secara detail tiga aspek di atas. Pun Abbas Aqqad membahas terkait kejelasan serta kesesuaian antara ketentuan-ketentuan dalam kitab suci dengan ketentuan dalam realitas, logika dan kepentingan-kepentingan manusia. Di awal sebelum masuk pembahasan, Abbas Aqqad memaparkan beberapa alasan mengangkat tema ini. Salah satunya karena agama Islam sangat memuliakan perempuan dengan memberikan posisi yang unik di antara semua peradaban. Tersebab, Allah SWT menyebutkan kata perempuan dalam banyak ayatnya, bahkan terdapat surat yang membahasnya secara khusus tentang perempuan, yakni surah al-Nisa’.

Melalui ayat-ayat tersebut, Abbas Aqqad menulis secara lugas dan komprehensif membedah tuntas pelbagai persoalan perempuan dalam al-Quran dan membaginya ke dalam empat belas fasal. Dimulai dari pembahasan tentang bagaimana otoritas laki-laki atas perempuan. Kemudian baru membahas tentang problematika perempuan itu sendiri, di antaranya posisi perempuan dalam ayat-ayat al-Quran, moralitas perempuan, persoalan hijab, hak-hak perempuan dan permasalahan sosial. Semisal, pernikahan dan perceraian. Selain itu, dalam buku ini Abbas Aqqad juga membahas tentang rahasia pernikahan Nabi dengan istri-istrinya, persoalan perbudakan, interaksi atau etika pergaulan perempuan, dan pembahasan tentang ayat-ayat yang merujuk pada solusi untuk menyelesaikan masalah rumah tangga. Terakhir, pada penutupnya Abbas Aqqad memberikan kesimpulan singkat dengan menyajikan pandangannya terhadap isu-isu perempuan tersebut.

Adapun metode yang ditempuh oleh Abbas Aqqad dalam menyusun pembahasan di buku ini cukup menarik dan runut. Beliau memulai uraiannya dengan pengantar yang berhubungan dengan tema yang diangkat. Kemudian dalam menjelaskan tema tersebut Abbas Aqqad menggunakan satu ayat untuk menafsirkan ayat yang lain (tafsir al-ayah bi al-ayah). Namun, uniknya dalam buku Al-Mar’ah Fî Al-Quran ini, beliau lebih dominan menggunakan penjelasan-penjelasan berdasarkan pada rasionalitas dan logikanya sendiri.

Pun Abbas Aqqad banyak mengutip pendapat para mufasir sebelumnya untuk mendukung pendapatnya. Beliau juga mengutip hadis Nabi serta riwayat lain, baik dari sahabat maupun tabiin. Tak hanya itu, yang lebih menariknya beliau juga menggunakan doktrin-doktrin agama lain serta ajaran kitab suci selain al-Quran, seperti taurat dan injil. Hal tersebut dilakukan untuk menarik kesimpulan dari penjelasan yang diuraikannya serta penafsiran ayat-ayat yang dipaparkannya.

Dari sini dapat disimpulkan, langkah-langkah yang ditempuh Abbas Aqqad dalam penafsirannya, pertama, menentukan tema pokok yang hendak dibahas. Kedua, membaginya ke dalam sub tema. Ketiga, menggumpulkan ayat-ayat yang berkaitan. Keempat, memulai penjelasan dengan pengantar yang berisi uraiannya sendiri ataupun dari sumber-sumber lainnya. Kelima, melakukan tafsir ayat satu dengan ayat lain. Keenam, melakukan penjelasan maksud dari ayat-ayat yang telah disebutkan. Ketujuh, memberikan kesimpulan dari penjelasan-penjelasan tersebut.

Misalnya, dalam pembahasan masalah hijab. Dalam fasal ini, Abbas Aqqad memaparkan problematika awal atas asumsi orientalis bahwa hijab itu identik dengan seorang muslimah, hijab itu peraturan yang diberlakukan oleh Islam, hijab itu pengekangan terhadap kaum perempuan dan lain-lainnya. Sebelum masuk ke dalam pembahasan hakikat sebuah hijab, Abbas Aqqad menjelaskan terlebih dahulu histori isu hijab tersebut. Dijelaskan bahwa pembahasan problematika ini sudah ada sejak zaman Nabi Ibrahim dan masyhur di kalangan masyarakat setelah kenaikan Isa al-Masih.

Hal itu ditandai dengan pengulangan pembahasan burqa dalam kitab perjanjian lama dan kitab perjanjian baru. Seperti, dalam kitab Taurat, pasal 38. Dijelaskan bahwa pada suatu ketika terdapat seorang laki-laki yang akan menemui seorang wanita, maka wanita tersebut diperintahkan untuk segera menutupi dirinya atau seluruh tubuhnya dengan burqa. Kemudian datang agama Islam yang mengangkat derajat perempuan dan masa ini pula bercampurlah makna terkait hijab tersebut. Apakah hijab itu sebuah bentuk keegoisan terhadap diri sendiri atau bentuk perlindungan masyarakat, bentuk larangan untuk berhias, dan lain-lainnya.

Dari sini Abbas Aqqad menghadirkan ayat-ayat al-Quran tentang hijab dan penafsirannya, misalnya QS. al-Nur ayat 30-31 dan surat QS. al-Ahzab 32, 33 serta 53. Kemudian pada kesimpulannya, Abbas Aqqad mengatakan bahwa hijab itu bukan pengekangan atau belenggu, bukan pula pengasingan atau pengucilan perempuan dari lingkungan sosial-masyarakat. Tersebab, bagaimana bisa Allah SWT memerintahkan kepada laki-laki khususnya, untuk menundukkan pandangan jika perempuan diasingkan dari masyarakat. Sehingga, hakikat hijab itu ialah, larangan untuk berhias secara berlebihan serta sebagai bentuk upaya menjaga kehormatan seorang perempuan.

Dari pembacaan saya atas buku Al-Mar’ah Fî Al-Quran ini, saya mendapati banyak keunggulan selain dari metode penyusunan pembahasan di atas. Yakni mulai dari pelajaran yang diberikan penulis tentang bagaimana membaca topik ini dari sudut padang manusia secara umum, bukan hanya dari satu sisi atau objek—perempuan. Nilai psikologis yang meyakinkan pembaca tentang nilai-nilai kemanusiaan di dalam diri seseorang serta keberanian penulis dalam menyampaikan pendapatnya tanpa memihak antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, dalam buku ini dijelaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki persamaan dalam hak dan kewajiban, tapi dalam persamaan itu juga mereka memiliki perbedaan antara satu sama lain, seperti kemampuan, bakat, keahlian dan karakteristik yang merupakan pemberian dari Allah SWT. Kemudian dari sisi keberanian dan ketegasan penulis dalam menyampaikan ini juga menuntut pembaca supaya lebih kritis dalam berpikir untuk menerima pendapat penulis dengan memperhatikan penelitian di baliknya.

Namun, sayangnya terdapat kekurangan dalam buku ini, yakni perihal gaya bahasa atau diksi rumit yang digunakan oleh Abbas Aqqad, sehingga hal ini membuat pembaca lebih condong untuk memberontak pendapat penulis, daripada menerimanya. Misalnya, penggunaan diksi al-Kayid dan riya’ yang dihadirkan penulis dalam fasal akhlak perempuan. Dimana kedua term tersebut bisa bermakna baik dan buruk, sehingga hal ini menimbulkan miskonsepsi pembaca. Bahkan terkadang terdapat mubâlaghah dalam penjelasannya, seperti di beberapa pandangan penulis yang terlalu kasar dan kejam terhadap perempuan, meskipun penulis selalu mengutip dari al-Quran dan Hadits. Misalnya, pada pembahasan otoritas seorang laki-laki atas perempuan. Di sini seolah-olah penulis mengatakan perempuan itu sangat lemah dan banyak kekurangannya.

Walhasil, terlepas dari kekurangan dan kritik di atas, buku ini tetap recommended bagi pembaca yang minat mendalami persoalan perempuan dengan insight berbeda. Sebab buku ini sangat unik, karena penulis membuka pemikiran pembaca dengan menghadirkan refleksi diri, oposisi dan penciptaan pemikiran independen untuk setiap pembaca.

Judul Buku : Al-Mar’ah Fî Al-Quran

Pengarang : Abbas Mahmud Al-Aqqad

Penerbit : Daar An-Nahdah Mesir

Tebal Buku : 189 Halaman

Ainul Mamnu'ah

If You Think You Can, You Can

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button