
Selain kitab suci, ada pedoman hidup baru yang dianut oleh masyarakat kita hari ini, yakni klip-klip pendek berisikan ungkapan bijak yang bertebaran di beranda media sosial. Salah satu konten yang cukup populer kini ialah, doktrin mengenai kebebasan dalam menjalani kehidupan. Pernyataan “bijak” yang dikemas dalam bentuk klip pendek di media sosial, seperti reels di Instagram yang sifatnya parsial. Dalam artian, penerapannya ke dunia nyata tidak selamanya dapat menjadi solusi. Bayangkan saja, ungkapan seperti “Jadilah diri sendiri!” bakal berakibat fatal bila dipahami secara mentah oleh orang yang secara tabiat sudah jelek, misalnya seorang pemalas dan memang memiliki sifat amoral. Pernyataan yang sebenarnya dapat menjadi positif, justru berubah menjadi bumerang bagi orang yang tidak cakap memahami konten tersebut. Kini, acap kali pernyataan tersebut menjadi pembelaan sebagian masyarakat atas tindakan-tindakan amoralnya.
Keaadan di muka, berintegrasi dengan orientasi hidup masyarakat yang cenderung materialistik. Sehingga membuat masyarakat yang menuhankan materi, rela melakukan apapun dengan mengatasnamakan kebebasan. Satu lagi ungkapan yang cukup populer ialah, “Hanya Tuhan yang berhak menghakimi saya”. Jika dipahami secara konvensional, ungkapan tersebut seakan tidak mengindahkan peraturan dan kesepakatan yang masyarakat buat. Memang dalam sejarahnya, kebebasan dapat menjadi tema yang selalu laku di pasaran. Kita dapat membacanya dalam epik-epik lama sampai cerita-cerita yang ditemukan pada novel modern. Sebut saja Minke, yang diceritakan Pramoedya dalam Bumi Manusia yang berusaha membebaskan diri dari belenggu kolonialisme dan kebodohan dengan pengetahuan.
Pada dasarnya, sejak lahir ke dunia, manusia memiliki kebebasan yang setara. Adapun yang saya maksud ialah, secara sadar, manusia memiliki kebebasan untuk mencapai apa yang ia inginkan. Ironinya, kebebasan yang mestinya menjadi anugerah untuk setiap individu, tidak bakal lepas dari eksploitasi kebebasan yang dilakukan satu individu atas individu yang lain. Pertentangan antarsatu kebebasan dengan kebebasan yang lain, acap kali menyebabkan sikap dan tindakan yang amoral bahkan kriminal. Kini, komersialisasi hal-hal yang tidak layak, misalnya ketelanjangan, dapat menjadi contoh bahwa ungkapan di muka mengantarkan sebagian masyarakat kita menuju dekadensi moral. Kasus dua bocah di Makassar, Januari lalu, yang mencoba menjual organ tubuh temannya sendiri, pula bermula dari konten negatif di internet ujar, Kapolrestabes Makassar Budi Haryanto.
Demi mengikuti tekanan dari stereotip yang sedang tren, sebagian masyarakat kita nekat melakukan apapun. Akibatnya, kesadaran sebagai manusia yang bermoral mulai memudar dan meniscaya individu yang satu mengabaikan kebebasan individu lain. Memang ada beberapa hal-hal yang kiranya masih dapat dimaklumi; beberapa standar soal moral yang berubah seiring berjalannya waktu. Hanya saja, yang menyedihkan ialah, sebagian masyarakat kita sudah memilih untuk melanggar norma yang sifatnya prinsipil, misalnya adat dan agama, atas dasar kebebasan. Secara tidak langsung, eksploitasi atas kebebasan ini melanggar prinsip dasar manusia sebagai makhluk bermasyarakat yang saling bergantung. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya mengungkapkan, dalam membangun sebuah peradaban, manusia mesti memiliki pergerakan yang terorganisir.¹
Menurut saya, kesepakatan masyarakat mengenai peraturan dan norma yang berlaku merupakan bagian dari pergerakan yang terorganisir yang saya singgung di muka. Perlu diingat, mewujudkan norma dan peraturan yang berlaku, justru bertujuan untuk menjaga kebebasan yang sudah dimiliki oleh tiap individu, bukan mengekangnya. Dalam artian, masyarakat yang masih memegang teguh peraturan dan norma yang ada, berniat untuk melindungi kebebasan miliknya dan secara tidak langsung juga menjaga kebebasan milik individu lain. Skema yang saling bergantung ini, termanifestasi dalam konsep terbentuknya sebuah masyarakat milik Ibnu Khaldun. Dalam penjelasannya, Allah menciptakan manusia yang tidak bisa hidup tanpa makanan. Proses dari sebuah makanan ini yang ia soroti dan menjadikannya bukti bahwa tiap individu manusia bergantung dengan individu lain.²
Belakangan ini, spirit saling tolong yang Ibn Khaldun beberkan dalam bukunya, mulai banyak terlupa. Berganti dengan persepsi baru yang kita kenal dengan slogan “uang dapat membeli apapun”. Meskipun manusia akan tetap saling bergantung seperti yang Ibn Khaldun beberkan, semangat yang mendasari skema tersebut rusak dengan persepsi yang saya singgung sebelumnya. Ialah materi yang katanya dapat menebus apa saja yang manusia ingin, termasuk moral dan peraturan. Sehingga, manusia berlomba-lomba mendapatkan materi sebanyak mungkin dengan cara apapun. Model spirit yang baru ini, tidak lepas dari peran dari teknologi yang menjadi wadah berkumpulnya ungkapan yang cenderung mengabaikan hal-hal prinsipil dan menggiring masyarakat kita menuju dekadensi moral.
Memang tidak dapat dimungkiri, banyak hal positif yang dapat manusia capai dengan kebebasan yang ia punya. Amartya Sen, seorang ekonom yang tertarik dengan isu-isu sosial dan filsafat, mengemukakan, “Kebebasan yang lebih banyak dapat memberikan kesempatan yang lebih besar untuk sesuatu yang kita anggap bernilai.”³ Pernyataan ini, meniscaya beragam pilihan yang hadir untuk manusia. Ia dapat meraih apa yang ia inginkan dalam hidupnya, tanpa pengaruh dari luar. Hanya saja, pernyataan tersebut dapat memantik persoalan penting berikutnya; apakah kebebasan yang Sen pahami dalam pernyataan tersebut ialah kebebasan mutlak? Tentu saja tidak, ia menawarkan pertimbangan etis dalam kebebasan yang ia pahami. Pertimbangan etis Sen, saya pahami sebagai batas untuk melindungi kebebasan manusia lain yang memiliki kebebasan yang setara.
Pertimbangan etis dalam bentuk yang lebih jelas, ialah kesadaran atas tanggung jawab sebagai manusia. Kesadaran tersebut dapat menjadi rem untuk menahan ego-ego yang mengatasnamakan kebebasan. Terkesan klise, namun kesadaran tersebut yang kiranya sudah terkikis lalu terlupa eksistensinya di masyarakat kita. Term kebebasan bakal selalu dikaitkan dengan konsep tanggung jawab tersebut. Dalam bukunya, al-Fikr al-Dîniy wa Qadlaya al-‘Ashr, Dr. Hamdi Zaqzuq mengungkapkan, “Di dunia ini, tidak ada yang namanya kebebasan absolut. Bilamana kebebasan absolut ada pada tiap individu, chaos menjadi keniscayaan. Oleh sebab itu, kebebasan tidak dapat dibayangkan tanpa adanya tanggung jawab.”⁴ Pernyataan tersebut dapat menjadi pembanding bagi ungkapan mengenai kebebasan yang tidak berdasar. Dalam hal ini, menyikapi dengan bijak ungkapan yang ditemui di media sosial menjadi kewajiban. Meskipun tindakan amoral atau kriminal tidak melulu berangkat dari pengaruh media sosial.
Tanggung jawab yang disinggung di muka, dapat menjadi batasan moral bagi tiap individu untuk tidak menyinggung kebebasan individu lain. Meski Sen menganggap kebebasan dapat memberi manusia dan masyarakat kesempatan yang lebih besar untuk tujuan yang besar juga, ia tidak menafikan perlunya etika yang mendasari kebebasan tersebut. Sayangnya, masyarakat kita hanya memiliki gairah kebebasan saja, namun meninggalkan spirit yang bersinergi dengan pengetahuan yang Minke pakai untuk keluar dari belenggu kolonialisme dan kebodohan yang ada.
¹Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Maktabah Ashriyyah, Beirut, cet.-, 2021, Hal, 46
²Dalam Muqaddimahnya, Ibn Khaldun membeberkan hikmah dari penciptaan manusia yang tidak bisa hidup tanpa makanan. Proses sesuatu untuk menjadi makanan membutuhkan tenaga manusia-manusia lain yang memiliki kapasitas dalam mengolahnya. Lihat lebih lanjut.. Ibid.
³Amartya Sen, The Idea of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts, cet-, 2009, hal 228
⁴Dr. Muhammad Hamdi Zaqzuq, al-Fikr al-Diniy wa Qodoya al-‘Ashr, Dar al-Quds al-Arabiy, Kairo, cet. I, 2016, Hal, 119.