
Pada awal bulan April, media Indonesia ramai dengan pemberitaan dukun Slamet yang konon dapat menggandakan uang di Banjarnegara. Korban yang berhasil ditipu sudah mencapai 12 orang dan dibunuh secara sadis. Pun, pada tahun lalu muncul Pesulap Merah, sesosok pesulap yang berani membongkar trik dan rahasia para dukun. Pria Bernama lengkap Marcel Radhival itu dengan berani membuktikan bahwa jenglot, bulu perindu, botol penangkap tuyul serta perangkap gaib lainnya adalah kebohongan dan hanya trik belaka. Hal ini memancing para dukun untuk melaporkannya kepada polisi sebab merasa tersudutkan dan terganggu akibat berkurangnya klien.
Kasus pesulap merah dan praktik perdukunan ini menyadarkan kita tentang kebohongan para dukun, sekaligus menampakkan kepada kita perihal realita masyarakat Indonesia yang masih banyak mempercayai hal-hal magis. Di Indonesia, bukan lagi menjadi hal aneh ketika seseorang mendatangi dukun untuk meminta hajat, menjauhi kesialan atau bahkan mendatangkan keberuntungan. Permintaannya pun bermacam-macam, mulai dari hal kecil sehari-hari sampai hal besar yang bisa melibatkan keselamatan nyawa seseorang.
Para pelanggan dukun juga bukan hanya dari masyarakat desa saja, masyarakat terpelajar dan kelas atas pun juga ada yang mendatangi dukun untuk melancarkan hajatnya demi melindungi dirinya dari marabahaya. Sering terdengar berita bahwa terdapat peserta tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) membawa jimat ke dalam ruang tes. Bahkan perdukunan juga masuk dalam ranah politik di Indonesia. Hal ini diakui oleh politikus dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Permadi. “Mulai dari pemilihan lurah sampai presiden selalu ada calon menemui dukun atau orang dianggap memiliki kekuatan spiritual,” tuturnya. (Merdeka.com)
Tentu kebiasaan ini tak terjadi begitu saja. Jejak historis kepercayaan masyarakat Indonesia mempunyai peranan penting dalam pembentukan budaya perdukunan yang masih terawat sampai sekarang. Sebelum datangnya agama Hindu dan Budha, masyarakat setempat telah melewati serangkaian proses pembentukan dan pengembangan kepercayaan yang ada pada zaman praaksara. Wujud dari proses tersebut adalah lahirnya kepercayaan animisme dan dinamisme.
Secara epistimologi, animisme dapat diartikan sebagai kepercayaan kepada makhluk halus, roh para leluhur dan roh-roh orang yang sudah meninggal. Para penganut kepercayaan ini meyakini bahwa roh orang yang sudah meninggal akan bergentayangan dan mengganngu. Sehingga, mereka banyak mengadakan ritual-ritual sebagai bentuk penghormatan dan penghindaran bala. Adapun dinamisme adalah kepercayaan terhadap kekuatan yang berada dalam zat suatu benda serta diyakini dapat mendatangkan suatu manfaat dan marabahaya. Kepercayaan animisme dan dinamisme ini didasari oleh kebutuhan manusia terhadap zat yang dianggap mampu menolongnya. Sehingga, berimplikasi pada perilaku masyarakat nusantara yang mempercayai hal-hal abstrak dan menganggap alam sebagai subjek.
Perilaku masyarakat tersebut terealisasikan dalam ritual atau upacara yang dilakukan secara individual atau kolektif. Ritual-ritual tersebut kini masih berlanjut dan terlestarikan oleh sebagian masyarakat kita. Hal ini terlihat dari masih eksisnya kegiatan seremonial yang mengaitkan hal gaib di dalamnya. Misal, upacara ruwatan yang masih dilestarikan oleh masyarakat Demak, Jawa Tengah. Upacara yang disertai wayangan ini dimaksudkan untuk menolak kesialan dan marabahaya. Ada juga upacara labuhan dengan menyajikan sesaji kepada roh yang dipercayai mendiami suatu tempat dengan tujuan yang mirip seperti upacara ruwatan. Sesuai dengan namanya, upacara ini dilakukan dengan melabuhkan atau membuang sesuatu ke dalam air sungai atau laut.
Tradisi ritual yang dilakukan secara turun-temurun turut mewariskan kepercayaan animisme dan dinamisme. Kontinuitas kepercayaan ini membawa pada kebutuhan akan hadirnya seseorang yang dianggap sebagai sarana untuk mendatangkan kebaikan dan menangkal keburukan. Dengan kata lain, dukun dianggap sebagai penyambung antara dunia nyata dan dunia yang penuh abstraksi. Sehingga ia memiliki nilai magis di tengah masyarakat terkait hal-hal demikian.
Berkembangnya arus teknologi dan informasi tidak cukup meredupkan kepercayaan masyarakat terhadap hal magis. Dukun masih menjadi pilihan sebagian masyarakat dalam penyelesaian perkara hidup mereka. Di antara hal-hal yang melatarbelakanginya, pertama, dukun merupakan produk sejarah panjang yang sudah lama sekali bercokol dalam diri masyarakat Indonesia, sehingga sulit untuk melepasnya begitu saja.
Kedua, hal magis adalah pelarian manusia dari realitas melalui sosok dukun yang dipercaya membantu pelarian tersebut. Semisal seorang pedagang yang meminta penglaris kepada dukun. Selain itu pelarian ini dimaksudkan agar keinginan yang dituju bisa tercapai dengan cepat. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa-Putra, yang mengatakan bahwa masyarakat menilai hal magis seperti sihir, santet, hingga babi ngepet adalah cara cepat menyelesaikan masalah. “Itu cara cepat. Karena logikanya gini, kalau kita pakai agama, kita tidak punya power untuk menyuruh Tuhan. Kalau pake scientific harus kerja keras dan lama. Tapi kalau pakai itu (santet atau ilmu-ilmu- magis) cepat. Saya bisa punya kuasa untuk sesuatu yang lain dan itu bisa saya manfaatkan,” ujar Heddy. (CNNIndonesia.com)
Ketiga, faktor emotional stress. Malinowski (seorang antropolog Polandia) berpendapat bahwa sebagaimana agama, magis juga muncul dan berfungsi dalam situasi-situasi krisis, kosong dan hampa. Hal ini sejalan dengan manusia modern yang sering ditimpa stress dan rasa hampa akibat tuntutan kehidupan yang semakin banyak. Ketiga faktor inilah yang menjadi faktor utama masih eksisnya praktek perdukunan di Indonesia.
Jika ditinjau dari kacamata budaya, perdukunan dengan segala sejarah dan perjalanannya di Indonesia terlihat cukup menarik dan menjadi sisi keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Perdukunan dapat digolongkan sebagai kearifan lokal karena merupakan pandangan hidup atau strategi kehidupan yang dilakukan masyarakat lokal dalam merespon berbagai permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan. Lalu, apakah realitas perdukunan Indonesia adalah suatu keunikan budaya yang patut kita pertahankan, atau justru suatu bentuk kemunduran berpikir yang harus kita singkirkan?
Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut, penulis rasa perlu untuk menjelaskan secara singkat tentang pergeseran makna kata “dukun” dari masa kolonial Belanda ke pemaknaan seperti yang kita ketahui sekarang. Seorang sejarawan dari Institut Agama Islam Negeri Surakarta, Martina Safitry, mengatakan bahwa terjadi penyempitan makna “dukun” menjadi peyorasi. Dukun zaman dulu mengacu pada profesi yang dekat maknanya dengan dunia medis. Asal kata dukun itu sendiri berasal dari bahasa Persia děhqn atau dukkan yang memiliki arti kemampuan untuk mengobati.
Dukun pada zaman kolonial Belanda merupakan profesi yang dicari untuk melakukan berbagai pengobatan, bahkan oleh para koloni itu sendiri ketika menjajah ke Nusantara. Jumlah dukun yang banyak dan harga yang lebih terjangkau membuat masyarakat lebih memilih mereka ketimbang dokter. Martina juga menjelaskan bahwa pengobatan tradisional yang dilakukan dukun sudah tertulis dalam berbagai naskah atau babad, seperti Serat Centini, Serat Primbon Jampi Jawi dan Serat Tata Cara. Bahkan Antropolog Belanda, Leendert Theodorus Maijer, sempat meneliti profesi dukun saat ia tiba di Hindia awal abad ke-20. Ia mengatakan, bahwasanya dukun mempunyai pengetahuan anatomi tubuh manusia, fungsi organ, serta mampu mendiagnosis penyakit dan menanganinya.
Seiring berjalanannya waktu, makna dukun pun makin menyempit. Dukun tidak lagi identik dengan makna medis, justru didominasi oleh makna gaib, jampi dan magis. Penyempitan makna menjadi peyorasi ini akhirnya sampai pada makna yang kita kenal sekarang. Dukun kini hanya dianggap sebagai profesi dan hanya berkaitan dengan hal mistis saja. Meskipun terdapat dukun yang tidak berkaitan dengan hal mistis saja yaitu dukun beranak yang masih ditemukan keberadaannya di beberapa desa saja
Maka dari itu, jika perdukunan yang dimaksud adalah makna dukun zaman kolonial, yang berkonotasi maka praktek ini bisa disebut sebagai keunikan yang bisa dipertahankan. Namun, jika perdukunan yang dimaksud adalah praktik ritual, jampi-jampi, pemujaan dan pengkultusan jimat serta perangkat gaib lainnya, maka perdukunan bisa dikatakan sebagai bentuk kemunduran berpikir yang harus disingkirkan. Perdukunan dalam makna ini menyebabkan seseorang bergantung pada hal-hal abstrak dan mengabaikan usaha yang realistis. Kemajuan dan kemerdekaan berpikir harus digalakkan di Indonesia agar bisa mencapai cita-cita bangsa. Bagaimana mungkin bangsa yang mempunyai cita-cita mencerdaskan kehidupan masyarakatnya ini masih terbelenggu dalam bayang-bayang perdukunan yang mengurung sisi intelektual mereka?