Resensi

Melihat Relasi antara Metodologi Kritik Sejarah dan Kritik Hadits

Oleh: Moh Al Fayyadh Ar

Judul Buku: Al-Manhaj al-Naqdî ‘inda al-Muhadditsîn wa Alâqatuhû bi al-Manâhij al-Naqdiyah al-Târikhiyyah

Pengarang: Dr. Abdur Rahman bin Nuwayfi’ Falih Al-Sulmi

Penerbit: Namaa for Research and Studies Center

Tebal Buku: 240 Halaman

Hadits sebagai epistemologi agama Islam nomer dua sedari dulu memang tidak pernah benar-benar terbebas dari masalah. Ia selalu diobrak-abrik sedemikian rupa oleh para sarjana Barat dengan tujuan yang hampir sama, yaitu untuk meruntuhkan keabsahan Hadits sebagai sumber hukum dan sumber sejarah. Hal ini senada dengan pendapat orientalis asal Austria, Aloys Sprenger, dan orientalis Skotlandia, William Muir. Keduanya berpendapat bahwa Hadits Nabi sebenarnya tidak kredibel sebagai sumber hukum dan sumber sejarah.

Adanya tuduhan seperti di atas tidak lepas dari metodologi yang dibangun oleh sarjana Timur dalam meneliti kalam Nabi. Mereka menganggap bahwa metodologi kritik Hadits tidak sah dijadikan sebagai metodologi ilmiah yang objektif. Unsur subjektivitas yang mewujud pada kritikus Hadits adalah salah satu alasan ilmu kritik Hadits tidak bisa dijadikan pijakan metode ilmiah. Untuk mengatasi masalah seperti ini, para pemikir Barat merumuskan metode ilmiah yang bernama kritik sejarah. Metode ini telah dipakai oleh banyak institusi dan dibuktikan keefektivitasannya dalam membahas sejarah.

Pada momentum ini, timbul pertanyaan apakah metode kritik sejarah yang dinilai objektif dalam membaca sejarah bisa diterapkan pada sejarah Hadits dan periwayatnnya? Inilah pertanyaan mendasar yang dikemukakan oleh Dr. Abdur Rahman bin Nuwayfi’ Falih as-Sulmi di pengantar bukunya, dengan tujuan mengetahui relasi antara kritik sejarah dan kritik Hadits, serta seberapa jauh kesamaan dan perbedaaan di antara keduanya.

Sekilas Perkembangan Kritik Sejarah

Kritik sejarah sendiri merupakan sebuah metode untuk memahami sejarah secara utuh dengan kaidah-kaidah yang terhimpun di dalamnya. Bila ditelisik lebih jauh, munculnya kritik sejarah bisa kita temukan sebelum datangnya Islam, pada era jahiliyah. Mereka menamai peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu dengan sebutan asâthîr alias cerita legenda. Dimana makna asâthîr sendiri adalah suatu cerita yang tidak memiliki landasan kuat dan selalu diceritakan oleh banyak orang tanpa diyakini kebenarannya. Di samping itu, terdapat suatu cerita—bukan legenda—yang mereka amini dan imani serta diriwayatkan dari masa ke masa. Sayangnya—sebagaimana penulis kemukakan—kebanyakan dari cerita tersebut tidak berdasarkan dokumen dan bukti yang tervalidasi. Dari sini bisa kita katakan bahwa mereka kurang mempunyai metode dalam memahami sejarahnya sendiri.

Berbeda dengan era jahiliyah, era Islam sedikit lebih maju, umat Islam pada waktu itu sudah mulai menginggalkan term asâthîr yang dahulunya sangat kental di masa jahiliyah. Mereka mulai merumuskan kaidah-kaidah untuk memilah dan memilih peristiwa yang diterima atau ditolak. Salah satu rumusan kaidahnya adalah dokumentasi peristiwa sejarah melalui pelaku sejarah sendiri, hal ini yang dikenal dengan Ilmu al-Tarâjim. Kesadaran semacam ini tidak lain timbul, bahwasanya sejarah merupakan bagian integral yang mempunyai nilai tinggi (qîmah ‘aliyah) bagi umat Islam. Pasalnya sejarah dalam kacamata Islam adalah suatu yang erat kaitannya dengan agama, periwayatan, ulama dan kondisi sosial-politik. Untuk itu Abu Hatim al-Razi mengatakan, “Tidak satupun umat sebelum umat Nabi Muhammad yang cakap dalam menjaga dan melestarikan peninggalan-peninggalan Nabinya dan silsilah nasab nenek moyangnya”.

Salah satu contoh rekaman sejarah dalam Islam adalah karya Imam al-Dzahabi yang mengarang kitab tentang sejarah perawi dan ulama. Seperti Siyar A’lam al-Nubala’, Mizan al-I’tidal dan Tarikh al-Islam. Karya tersebut secara metode berlandaskan kepada karya sejarah ulama-ulama sebelumnya. Semisal al-Thabaqât li Ibn Sa’id, Târîkh al-Awshath dan Thârîkh al-Kabîr karya al-Bukhari, Târîkh al-Damasyq karya Abu Zur’ah al-Damasyqi dan Tarikh Baghdad Khatib al-Baghdadi. Tidak hanya itu, Imam al-Dzahabi tidak serta merta menerima riwayat yang ada di kitab-kitab tersebut, ia terkadang berbeda dengan para pendahulunya dan mendiskusikan periwayatan yang ada di kitab seniornya.

Selain ulama yang disebutkan di atas, terdapat nama ulama yang sangat dikenal di dunia sejarah, yaitu Ibn Khaldun. Cendekiawan yang bernama lengkap Abdu al-Rahman Abu Zaid Waliyy al-Din bin Khaldun, merupakan sosiolog Islam yang sangat menaruh perhatian kepada sejarah. Hal ini terlihat bagaimana ia membahas urgensitas kritik sejarah serta juga merumuskan metode kritik sejarah itu sendiri. Baginya kritik sejarah bukan hanya fokus pada kritik riwayat-riwayat yang terjadi pada masa lalu, tetapi lebih dari itu, kritik sejarah harus mampu memahami kondisi sosial dan tradisi masyarakat yang dahulu dengan mengamati realitas sekarang. Tidak kalah penting juga, seorang kritikus harus memperhatikan indikasi-indikasi yang menyebabkan diterima dan ditolaknya riwayat serta dibarengi dengan kejelian dalam membedakan yang mungkin dan mustahil terjadi. Ketelitian dalam merapikan pondasi sebuah diskursus keilmuan, inilah yang menjadikan Ibn Khaldun dikenal di kalangan cendekiawan Timur dan Barat.

Di Barat sendiri—sebagaimana penulis katakan—kritik sejarah mulai menemui perkembangannya dan menjadi ilmu independen pada abad 19. Di masa itu, institusi dan para peneliti mulai tertarik pada kritik sejarah untuk digunakan sebagai alat penelitian. Salah dua pemikir terkenal dalam bidang ini adalah Victor Langlois dan Charles Seignobos, yang karyanya berjudul Introduction aux Etudes Historique. Buku ini dinilai sebuah karya pertama di Barat yang menjelaskan metodologi penelitian sejarah.

Relasi Kritik Sejarah dan Kritik Hadits

Pembahasan sebelumnya merupakan uraian singkat terkait perkembangan kritik sejarah dari masa jahiliyah, Islam dan Barat. Selanjutnya, dalam membahas relasi antara kritik sejarah dan kritik Hadits, penulis tidak semerta-merta mencari tali-temali dua objek tersebut kemudian dipertautkan begitu saja. Akan tetapi ia memulai pembagian bahasan buku dengan kerangka dasar dan titik tolak yang menjadi pijakan kritik sejarah dan kritik hadits. Pembahasan ini penting karena dua elemen tersebut nantinya mempengaruhi metode pembacaan sejarah, baik dalam ilmu Hadits maupun yang sejarah lainnya.

Di sisi lain, penulis juga memaparkan tiga kemungkinan relasi metode kritik sejarah dan kritik hadits. Pertama, ada kesamaan titik tolak dan fokus kritik sejarah dan kritik hadits. Kedua, ada kesamaan dan perbedaan beberapa aspek antara keduanya. Ketiga, tidak ada hubungan sama sekali antara keduanya, dan tidak bisa dipertemukan. Urutan ini didasarkan pada penelitian komparatif penulis terhadap kritik hadits dan kritik sejarah serta juga pada potensi relasi kedua objek tersebut.

Selanjutnya, menurut saya penulis lebih cenderung kepada kemungkinan yang pertama. Dalam arti lain, penulis alih-alih menolak adanya relasi antara keduanya, ia lebih membaca adanya tautan kuat antara kritik sejarah dan kritik Hadits. Karena itu, poin kemungkinan pertama mandapat porsi besar dalam pembahasan buku ini. Seperti penjelasan elemen dasar yang harus ada dalam seorang kritikus, awal mula titik tolak kritik dari semua metode kritik sejarah serta dasar yang jadi pijakan metode kritik Hadits dan dan kritik sejarah.

Berkaitan dengan dasar pijakan metode kritik Hadits, di sini penulis memaparkan beberapa dasar yang menjadi pijakan dari kedua metodologi tersebut. Pertama, suatu riwayat tidak mungkin cacat kecuali disebabkan oleh perawinya, baik sengaja maupun tidak. Begitu pun dalam kritik sejarah, aspek perawi atau informan juga mendapat tempat paling tinggi, sebab ia merupakan sumber dari kesahihan dan kesalahan riwayat. Kedua, tujuan perumusan metode kritik Hadits yang dirumuskan oleh Muhadditsin adalah untuk menjaganya dari kesalahan dan kebohongan suatu riwayat dengan perangkat-perangkat yang mencukupi. Hal ini setali dengan kritik sejarah yang mana tujuan dirumuskannya metode tersebut tidak lain untuk menghindari dari kesalahan suatu sumber sejarah.

Selain paparan mengenai dasar pijakan, menariknya penulis di sini secara tidak langsung melakukan kontra persepsi mengenai ketidakilmiahan metode kritik Hadits dibanding kritik sejarah dan metode yang lain. Hal ini dibuktikan bahwa Muhadditsin tidak serampangan merumuskan metode kritiknya, mereka melandaskan metodenya pada pengetahuan apriori yang diamini semua orang, penalaran indukti metode komparatif dari riwayat satu dengan riwayat yang lainnya. Dimana poin ini juga kita temukan pada metodologi ilmiah yang dirumuskan oleh sarjanawan Barat. Sebagaimana perkataan sejarawan Lebanon, Asad Rustum dalam bukunya Mushtalah al-Târikh, “Jika para sejarawan Barat membaca dan meneliti karya-karya ulama Hadits pada zaman dahulu, maka mereka tidak akan telat sampai abad 19 dalam merumuskan ilmu metodologi.”

Penjelasan di atas tadi merupakan kejelian penulis dalam mentautkan antara kritik Hadits dan kritik sejarah. Adapun unsur yang kurang dari buku ini adalah penggunaan bahasa yang terlalu kaku dan terdapat istilah-istilah yang agak sulit dipahami bagi orang pemula dalam menekuni kritik Hadits, terlebih lagi ketika pembahasan kritik sejarah. Dampaknya buku ini kurang bisa dibaca dan dipahami oleh semua kalangan. Sebaliknya, buku ini cocok untuk para penikmat kajian Hadits yang sudah lama menekuni kajian Hadits untuk pengembangan wacana perihal ilmu Hadits serta membaca Hadits dengan interdisipliner. Mengingat bahwa buku ini erat kaitannya dengan pembahasan Musthalah al-Hadits, ‘Ilal al-Hadîts dan Ilm Rijâl al-Hadîts.

 

 

 

 

Moh Al Fayyadh Ar

Habib Fayyadh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button