Opini

Melacak Akar Budaya Konsumerisme

Oleh: Muhammad Alfin Ghozali

Manusia merupakan makhluk yang tidak pernah lepas dari aktivitas konsumsi. Setiap orang di muka bumi pasti melakukan aktivitas konsumsi sebagai upaya untuk bertahan hidup. Kata konsumsi dalam KBBI diartikan sebagai penggunaan barang hasil produksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari definisi tersebut, dapat kita ambil satu poin bahwa pada dasarnya, kegiatan mengonsumsi suatu barang yang dilakukan oleh setiap manusia, erat kaitannya dengan pemenuhan ‘kebutuhan’ hidupnya. Namun dalam perkembangannya, praktik konsumsi mulai mengalami pergeseran dari hakikat aslinya. Ia tidak hanya berupa aktivitas menggunakan suatu barang demi memenuhi kebutuhan hidup saja. Lebih dari itu, ia kini juga menjadi sebuah praktik gaya hidup (way of life).

Kebanyakan orang pada saat ini melakukan aktivitas konsumsi jauh lebih banyak dari apa yang seharusnya dibutuhkan. Atau bisa diartikan bahwa kebutuhan tersier masyarakat saat ini semakin meningkat. Bahkan, kegiatan konsumsi pada masa ini telah menjadi sebuah identitas sosial bagi seseorang. Bagaimana pola konsumsi yang ia lakukan terhadap suatu komoditas, dapat menentukan strata sosialnya di tengah masyarakat. Beberapa anomali tersebut; kegiatan konsumsi yang jauh di luar kebutuhan dan menjadi identitas sosial seseorang merupakan sebuah fenomena konsumerisme. Tentu, kondisi tadi memunculkan satu pertanyaan besar, mengapa masyarakat saat ini sangat konsumtif?

Siasat Masyarakat Kapitalis

Ketika menyinggung persoalan pola hidup konsumtif masyarakat modern, satu hal yang menjadi penopangnya ialah globalisasi. Era globalisasi ditandai dengan beberapa karakteristik, seperti kecepatan (fast) dan cakupan yang luas (wide)¹  akan mempermudah laju perputaran kegiatan ekonomi; produksi, distribusi dan konsumsi. Melalui kemajuan teknologi, barang-barang hasil produksi dapat terdistribusi secara cepat dan memiliki jangkauan yang sangat luas. Di lain sisi, fleksibilitas media sosial juga memiliki pengaruh besar terhadap laku konsumsi masyarakat yang semakin berlebihan. Melihat beberapa hal di atas, tidak heran jika masyarakat kita saat ini menjadi cukup konsumtif. Namun sejatinya, di balik beberapa sebab yang telah disebutkan, ada satu penyebab utama yang melatarbelakanginya, tidak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai akar dari budaya konsumerisme, yaitu kapitalisme.

Jean Baudrillard, sosiolog berkebangsaan Prancis yang cukup tekun mengamati logika konsumsi masyarakat pascamodern dalam bukunya The System of Object berpendapat bahwa, akar dari timbulnya budaya konsumtif masyarakat pada era ini adalah golongan kapitalis. Kapitalisme sendiri merupakan sistem ekonomi yang memberikan kebebasan penuh pada setiap orang untuk melakukan segala kegiatan ekonomi demi memperoleh keuntungan. Dalam sistem ini, keikutsertaan pemerintah terhadap aktivitas ekonomi sangat diminimalisir. Pemegang kendali utama dalam sistem tersebut adalah golongan yang kita sebut sebagai kapitalis. Para kapitalis merupakan pemilik modal dan orang-orang yang memegang alih produksi. Mereka berhak melakukan usaha apapun untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Lalu, bagaimana keterkaitan antara kapitalis dan budaya konsumerisme?

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa sistem kapitalisme memberikan ruang seluas-luasnya kepada para pelaku industri untuk melakukan produksi dan mengambil keuntungan, hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah barang produksi. Hal tersebut kian dipermudah dengan adanya revolusi industri pertama, yang ditandai dengan tersebar luasnya mesin di berbagai sektor kehidupan. Keberadaan mesin mampu mempersingkat kerja produksi berkali lipat dari sebelumnya. Hasilnya, jumlah barang-barang produksi meningkat cukup pesat. Untuk mengimbangi laju produksi yang kian meningkat, golongan kapitalis menyiasatinya dengan berbagai cara, salah satunya ialah dengan usaha mengubah (meningkatkan) pola konsumsi masyarakat.

Menurut Baudrillard, industri kapitalis berusaha menggeser pola konsumsi masyarakat kita melalui sebuah cara yang ia sebut sebagai ‘industri budaya’. Mereka terus-menerus melakukan manipulasi dan indoktrinisasi serta menciptakan ‘kebutuhan palsu’ di tengah-tengah masyarakat. Media sosial dan internet merupakan salah satu agen paling berjasa dalam menyebarkan berbagai doktrin dan manipulasi tesebut. Di antara wujudnya ialah dengan terciptanya sebuah tren-tren yang tersebar luas di media sosial. Seperti maraknya penggunaan brand tertentu atau maraknya penggunaan suatu barang yang sejatinya kurang esensial dalam kehidupan.

Selain metode pengiklanan (advertising) dan doktrin manipulatif, kaum kapitalis juga mempermudah akses konsumsi masyarakat terhadap barang-barang produksi. Salah satu contohnya ialah dengan banyaknya jual beli menggunakan sistem kredit atau cicilan. Mereka tidak ingin jika barang produksi hanya dapat dirasakan oleh segelintir orang (elit), mereka ingin menjangkau konsumen secara lebih luas, khususnya kalangan menengah. Singkatnya, beberapa upaya kaum kapitalis untuk menyeimbangkan antara laju produksi dengan konsumsi, berhasil memaksa masyaraka—secara tidak sadar, untuk semakin meningkatkan pola konsumsi mereka. Dari sanalah fenomena konsumerisme menjadi sebuah ‘budaya’ di masa ini.

Budaya konsumerisme yang kian menjamur tentu menimbulkan beberapa masalah yang cukup kompleks, salah satu yang paling buruk ialah isu lingkungan. Menurut data International Energy Agency (IEA), emisi karbon dioksida dari pembakaran energi (kendaraan bermotor dan sebagainya) dan aktivitas industri global mencapai 36,8 gigaton pada 2022, meningkat 0,5 gigaton dari tahun sebelumnya. Banyak pula sumber daya alam yang dieksploitasi habis-habisan demi memenuhi kebutuhan pasar. Selain isu ekologi, dampak lain budaya konsumerisme yang tidak kalah buruknya ialah isu sosial. Arus kehidupan yang konsumtif membawa kita untuk hidup di tengah simbol-simbol dan kepalsuan, hal tersebut yang oleh Jean Baudrillard disebut sebagai simulakra.

Konsumserisme dan Nilai Tanda

Jean Baudrillard membagi aktivitas konsumsi menjadi tiga bentuk, konsumsi nilai guna, nilai tukar dan nilai tanda. Secara mudahnya, nilai guna ialah kegunaan barang untuk memenuhi kebutuhan. Lalu, nilai tukar sering diidentikkan dengan harga barang tersebut. Sedangkan, nilai tanda adalah nilai simbolis yang terkandung di dalam objek tersebut, misalnya merek atau brand suatu benda yang menyiratkan kemewahan dan sebagainya. Baudrillard berpendapat bahwa pada era postmodern, nilai guna dan nilai tukar suatu benda, mulai tersamarkan oleh nilai tandanya. Mulai banyak masyarakat yang mengonsumsi suatu barang, bukan melihat kegunaan barang tersebut, namun karena simbol dan tanda yang terkandung di dalamnya. Misalnya, banyak orang yang lebih memilih ngopi di kafe ternama daripada di angkringan, hanya sebab kafe memiliki kesan lebih mewah. Padahal inti dari keduanya adalah sama-sama ngopi.

Selain contoh di atas, masih banyak bentuk dari nilai tanda yang semakin menyebar di tengah-tengah budaya konsumerisme, seperti penggunaan produk Apple, konsumsi minuman Starbucks dan lainnya, yang beberapa merek tersebut identik dengan kesan glamor, dan masih banyak lagi. Makna atau identitas glamor yang menempel pada produk Apple semisal Iphone ataupun Starbucks sejatinya merupakan sebuah realitas semu, oleh sebab hubungan antara Iphone dan galmor hanya bersifat imajiner-tidak nyata. Tidak ada keterkaitan nyata antara Iphone dengan sifat kaya. Kontruksi pikiran seperti itulah yang disebut sebagai simulakra. Bagi Baudrillard, maraknya kelompok yang terbuai dengan realitas palsu seperti beberapa contoh di atas, merupakan bentuk kemenangan besar kapitalisme. Hal itu sebagai upaya pemaksaan budaya konsumtif terhadap masyarakat untuk mengimbangi jumlah produksi yang kian besar dan tak terbendung.

 

[1] Klaus Martin Schwab merangkum, setidaknya ada tiga karakteristik utama era globalisasi, yaitu kecepatan, keluasan dan integrasi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Verified by MonsterInsights