Islamologi

Safar; Bulan Istimewa atau Sial?

Oleh: Muhammad Rifky al-Varez

Sebagian masyarakat Indonesia melihat bulan Safar sebagai bulan pembawa sial. Di Banjar, Kalimantan Selatan, misalnya, masyarakatnya rutin mengadakan upacara tolak bala pada hari Arba Mustamir. Mereka melakukan shalat sunnah mutlak dan selametan kampung dengan menulis wafak di atas piring berisi air lalu diminum.

Selain amalan Arba’ Mustamir, adat Banjar terkait bulan Safar yang perlu disoroti adalah batimbang anak. Mereka menimbang setiap bayi yang lahir pada bulan Safar, kemudian membuat sedekah yang setimpal dengan berat badan bayi. Namun, kepercayaan dan tradisi ini sebenarnya merupakan suatu kebudayaan dan hasil dari kebiasaan sosial yang sudah turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi.

Bagaimana sebenarnya awal mula anggapan kesialan Safar ini muncul?

Anggapan bahwa bulan Safar adalah bulan pembawa sial atau tasya-um berawal dari mitos orang-orang Arab Jahiliah. Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya mengatakan bahwa arti nama bulan Safar adalah kosong. Hal ini didasarkan dari kebiasaan bangsa Arab kala itu yang berbondong-bondong keluar mengosongkan daerahnya untuk berperang ataupun menjadi musafir. Interpretasi ini tidaklah sejalan dengan anggapan bulan Safar merupakan bulan pembawa sial, karena di balik penamaannya tidak ada ungkapan kesialan.

Pandangan pesimis atas bulan Safar atau hal lain justru memungkinkan terbukanya pintu bala itu sendiri. Ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam sebuah Hadits qudsi yang menyatakan bahwa Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Dari segi akidah, kita wajib mengamini bahwa kesialan atau keberuntungan itu hanya diberikan oleh Allah semata berdasarkan sifat iradah-Nya. Agama Islam tidak mengenal bulan sial. Begitu juga dengan bulan Safar. Ia adalah bagian dari dua belas bulan dalam satu tahun hijriah dan bukan bulan sial

Pandangan tentang hal ini sejalan dengan Ibnu Rajab al-Hanbali yang mengatakan di dalam kitabnya Lathâ-if al-Ma’ârif: “Adapun mengkhususkan kesialan dengan suatu zaman tertentu bukan zaman yang lain, seperti (mengkhususkan) bulan Safar atau bulan lainnya, maka hal ini tidak benar.”

Ibnu Rajab menolak anggapan Safar sebagai bulan sial. Sebab, semua zaman, bulan, dan tahun merupakan makhluk Allah SWT yang di dalamnya bisa saja terjadi suatu kesialan, bencana ataupun musibah. Tidak patut mengkhususkan bala hanya pada bulan Safar dan meniadakannya pada bulan-bulan lain.

Keistimewaan
Sejarah mengungkap bahwa Islam membantah kesialan bulan Safar. Sebuah Hadits sahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim merekam bahwa: “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Safar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang.”

Jauh dari anggapan kesialan, beberapa peristiwa istimewa justru terjadi pada bulan Safar. Di dalam Mandzûmah Syarh al-Âtsâr fî mâ Warada ‘an Syahri Shafar, Habib Abu Bakar al-Adni menyebutkan bahwa pada bulan dimaksud, Rasulullah SAW melangsungkan pernikahan dengan Sayidah Khadijah, sebagaimana Sayidah Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib.

Hemat saya, pernikahan keduanya merupakan puncak bantahan terhadap mitos kesialan Safar warisan Arab Jahiliah. Pernikahan Nabi dengan Sayidah Khadijah menjadi bukti kuat bahwa asumsi yang dianut penduduk Makkah waktu itu tidaklah benar. Pernikahan merupakan perkara mulia. Betapa mulianya jika itu adalah pernikahan Ahlu Bayt?

Masih tentang keutamaan bulan Safar, Habib Abu Bakar menambahkan bahwa hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah berlangsung hingga bulan tersebut. Sebagaimana kita tahu, hijrah menandai permulaan tersebarnya agama Islam ke penjuru dunia. Peristiwa hijrah dikenang sebagai asal permulaan kalender hijriah. Habib Abu Bakar melihat bahwa hijrah serta pernikahan tadi mampu menampik kebiasaan masyarakat Arab Jahiliah yang enggan melakukan pekerjaan penting seperti pernikahan dan perniagaan. Hal ini dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat Indonesia yang masih beranggapan buruk terhadap bulan Safar.

Amaliah Safar
Kendati demikian, amaliah-amaliah doa dan ibadah tolak bala yang sudah mengakar di masyarakat, tidak dapat dihukumi sebagai kekeliruan. Kebolehan amalan tersebut termaktub dalam buku Mujarrabât al-Dairabi (Fath  al-Mâlik al-Majîd al-Muallaf li Naf’ al-‘Abîd wa Qam’i kulli Jabbâr ‘Anîd) karangan Syekh Ahmad bin Umar al-Dairabi dan kitab al-Jawâhir al-Khams karya Syekh Muhammad bin Khathiruddin al-Atthar. Keduanya mengutip perkataan seorang arif, “Sebagian orang makrifat dari ahli kasyaf dan tamkin menyebutkan bahwa setiap tahun turun 320.000 bala atau cobaan. Semuanya itu turun pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, maka pada hari itu menjadi hari paling sukar di tahun tersebut.”

Kutipan ini menjelaskan bahwa seorang yang telah mencapai level wali atau kasyaf mengatakan bahwa dalam setiap tahun, hari rabu terakhir di bulan safar Allah SWT menurunkan 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam bala di malam harinya. Hal ini berkesinambungan dengan anggapan sebagian masyarakat Indonesia tentang kesialan bulan Safar, bahkan tidak sedikit ahli agama menyampaikan rujukan diatas dan mengajak masyarakat untuk bermunajat pada malam rabu terakhir di bulan Safar.

Menanggapi hal ini Ahmad Lutfi Hakim, seorang mursyid Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah, menyatakan: “Menurut dawuhnya orang-orang saleh di setiap Rabu terakhir bulan Safar turun bala yang  besar. Ulama kemudian mengantisipasi turunnya bala itu. Kita berharap dengan amaliah ini pandemi ini berakhir,” kata Kiai Lutfi. Ia mempersilakan masyarakat untuk memilih pandangan mana saja yang berkembang di kalangan ulama. “Yang percaya sesuai ilham sebagian salihin ini silakan. Yang tak meyakini, juga tidak apa-apa,” ungkapnya.

Walhasil, kedudukan bulan Safar sama seperti bulan-bulan lain. Anggapan bahwa kesialan terkhususkan pada bulan Safar ialah keliru. Kita seyogianya menyadari dan mengimani bahwa Allah menurunkan keberkahan dan keburukan sesuai dengan kehendak-Nya, kapan saja di mana saja. Terkait amaliah, hal ini tergantung pandangan dan keyakinan masing-masing umat muslim, boleh melakukan, boleh juga meninggalkan.

Back to top button
Verified by MonsterInsights