Opini

Autokritik atas Kontribusi Alumni

Saya rasa tidak perlu diragukan lagi, hampir semua orang mengamini bahwa lulusan Timur-Tengah dan Afrika (Timtengka) pasti dapat memberikan kontribusi terbaiknya untuk bangsa. Hal ini sejalan dengan niat setiap pelajar di Timtengka yang ingin ikut andil untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik, terutama di rumah sendiri, Nusantara. Hal baik ini disambut hangat dengan adanya bantuan dari organisasi-organisasi jaringan alumni Timtengka seperti OIAAI, JATTI, IKAT dan JAMI. Berbagai organisasi yang saya sebutkan di atas hanyalah sedikit contoh dari organisasi yang dipelopori oleh alumni lembaga pendidikan alumni Timtengka dan memberikan beragam fasilitas kependidikan.

Ruang lingkup studi di Timtengka yang bercorak pada praktisi agama (agamawan) menjadikan alumninya cukup memiliki nilai jual tersendiri. Oleh sebab publik Indonesia memandang keberagamaan sebagai konsumsi publik, embel-embel agama menjadi perbincangan menarik.

Diskursus agama tidak pernah sepi. Di dalamnya selalu ada debat perkara halal-haram atau hanya sekadar pertanyaan sebuah dalil melakukan sesuatu. Di tengah kompleksitas yang terjadi di tengah masyarakat kita ini, saya tidak pesimis bahwa alumni Timtengka akan sulit membangun karirnya. Hal ini justru menjadi titik paling krusial:  sejauh mana persiapan (calon) alumni Timtengka untuk memberikan kontribusinya?

Kritik
Jauh sebelum pertanyaan, “Apa yang alumni Timtengka bisa berikan terhadap Indonesia?” menurut saya perlu ada beberapa perkara yang perlu dibenahi.

Beberapa hari sebelum saya berangkat ke Mesir di akhir 2016, saya mendengar beberapa spekulasi yang bernada ‘mahasiswa di Timtengka—dengan tidak mengkhususkan Mesir sebagai negara tempat saya tinggal sekarang— itu sepi dari narasi’. Pernyataan ini terus saya diamkan, hingga ketika saya mengikuti wawancara sebagai anggota PPIDK Timtengka, salah satu pertanyaan yang terlontar saat itu ternyata juga menyangkut pertanyaan yang sama; “Bagaimana meningkatkan literasi di Timtengka?”

Saya rasa permasalahan ‘cara meningkatkan literasi’ berhenti di negara tempat saya tinggal dengan mengikuti komunitas terkait. Tapi dari kejadian di atas, setidaknya imajinasi saya mengenai literasi (narasi baca tulis) terhadap mahasiswa di Timtengka ternyata benar adanya. Hal ini adalah masalah klasik dan ternyata tidak hinggap di kepala saya seorang. Namun, sebelum meracau lebih jauh, mengapa kita perlu mempermasalahkan narasi literasi sebagai bentuk sebab-akibat sebuah kontribusi? Seberapa berdampaknya memang sebuah kontribusi jika narasinya biasa-biasa saja?

Pada titik ini, saya tidak meragukan pelajar yang pulang ke tanah air serta membawa ijazah licence (gelar sarjana strata satu) atau MA (magister agama)-nya tidak melalui proses literasi (baca tulis). Namun, saya akan membawa kepada cakupan yang lebih luas; proses pembacaan dan respon terhadap fenomena sosial sekitar, dialog hingga pembentukan ide, yang mana keduanya merupakan syarat sebelum memberikan kontribusi itu sendiri. Pada titik inilah saya merasa cara ajar di kampus tidak bisa dijadikan acuan cukup. Proses belajar yang searah bahkan cenderung konservatif-tekstualis, dimana kita dituntut untuk terus dijejali dan menerima materi menurut saya tidak akan membawa kita memahami lebih baik dibanding dialog.

Katakanlah kita menyepakati bahwa mahasiswa Timtengka tidak lagi sepi narasi dengan banyaknya komunitas literasi keilmuan. Sebut saja PPI masing-masing negara, lembaga-lembaga afiliatif hingga komunitas lintas negara seperti PPIDK Timtengka memiliki sebuah program kerja keilmuan. Dari program kerja ini lahirlah semacam webinar atau dialog yang hanya dihadiri segelintir orang karena sangat klise, tidak menarik, atau justru mahasiswanya malas. Media massa kita cukup menggambarkan betapa kebanggan itu hanyalah formalitas program kerja tahunan.

Indonesia; PR kita bersama
Apapun kontribusi yang akan kita sumbangkan ke Indonesia nanti, label agama tidak akan pernah lepas sebagai identitas yang kita bawa sebagai alumni Timtengka. Di sinilah menurut saya penting untuk membaca realitas sosial menggunakan kacamata agama, karena seperti yang saya sebutkan di awal, pembahasan agama selalu ‘laku’ di manapun dan apapun konteksnya. Dengan lebih cerdas menanggapi atau merespon realitas sosial yang ada, setidaknya saya berangan-angan tidak lagi mendapati dua golongan di bawah ini:

Pertama, tidak mampu membawa nas-nas agama dalam fenomena sekarang. Seperti misalnya ketika ada sebuah webinar PPIDK (1/12/2020) yang mengangkat tema bank syariah sebagai bahas diskusi, tapi tema yang disajikan hanya seputar ‘riba dari persektif agama’ (mengapa kita sibuk memicarakan hal yang sudah pasti dalam nas al-Quran?). Ketidakmampuan dalam mengkontekstualkan nas agama terhadap kehidupan modern adalah hasil dari pembacaan yang terlalu tekstualis dan kurang matang mengolah ide menjadi bahan diskusi.

Kedua, ekstrimis dalam menghukumi sesuatu. Saat ramai isu mengenai pernyataan Macron di awal Oktober tahun lalu, saya berhasil menghadiri sebuah ruang diskusi dan mendengarkan dengan jelas pernyataan seorang mahasiswa yang menukil dari sebuah kitab dan mengatakan bahwa orang yang diam saja ketika agama Allah dihina, maka ia juga termasuk ke dalam golongan orang tersebut. Tidak hanya berhenti di sana, ia juga dengan jelas menukil kaul-kaul kaum khawarij atau syiah dan mengafirkan kami yang tidak merespon apapun terhadap pernyataan Macron.

Dua contoh di atas adalah sedikit dari sekian realita yang saya temui di sekeliling saya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana Indonesia sepuluh atau dua puluh tahun ke depan jika (calon) alumninya memiliki pemikiran seperti itu. Kontribusi alumni Timtengka tidak perlu diragukan lagi. Sokongan dan dukungan dari berbagai organisasi lembaga alumni melimpah. Tinggal bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menciptakan kesan agama yang membawa perdamaian, tidak saklek dan tentunya terus beriringan dengan zaman.

 

Tulisan ini meraih Juara Ketiga dalam Lomba Opini PPDK Timur Tengah 2021.

Back to top button
Verified by MonsterInsights