Opini

Bahasa Politik di Era Edan

Pandemi saat ini telah memberikan dampak buruk di berbagai sentra kehidupan masyarakat, terutama pendidikan dan ekonomi. Banyak perusahaan dan pabrik melakukan PHK kepada pegawainya hingga pemotongan gaji untuk menutupi kerugiannya. Sedangkan kegiatan pendidikan tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Guru dan siswa hanya bisa belajar dan bertatap muka secara daring melalui Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Yang paling disorot sudah pasti pemerintahnya. Peran pemerintah dalam menangani situasi pandemi dinilai buruk karena tidak membawa perubahan yang signifikan.

Jika kita cermati, pemerintah mencoba mengendalikan suasana carut marut ini dengan beragam bahasa politik yang disampaikan setiap hari. Bahasa yang menenangkan diharapkan menjadi pelipur lara bagi masyarakat. Namun mirisnya, momentum ini dijadikan ajang nyuri langkah kampanye bagi sebagian tokoh. Sebut saja Puan Maharani dengan “Kepak Sayap Kebhinnekaannya” maupun Airlangga Hartanto dengan “Kerja untuk Indonesia.” Di tulisan kali ini, saya ingin membedah seputar bahasa politik dan kaitannya dengan krisis moral dari para elite yang tak bermoral.

Permainan
Permasalahan politik yang menyangkut kekuasaan, pengaturan kepentingan bersama merupakan masalah yang kompleks. Ini karena masalah politik senantiasa dikaitkan dengan berbagai kepentingan. Semua yang duduk di sana memiliki kepentingan. Politik disebut juga permainan. Permainan dalam politik ini merupakan representasi manusia sebagai homo luden atau bisa disebut binatang yang suka bermain. Nah, mereka bermain juga membutuhkan alat untuk melakukan aksinya, biasanya alat tersebut berupa diplomasi dan persepsi. Keduanya membutuhkan kemampuan berkomunikasi. Adapun bahasa memiliki peranan penting dalam proses komunikasi.

Menurut Ludwig Wittgenstein dalam penggunaaan bahasa terdapat permainan bahasa. Penggunaan bahasa dalam politik dengan sendirinya merupakan permainan –yaitu permainan bahasa (language games). Dalam telaah ilmu politik, bahasa menempati posisi penting. Hal ini dikarenakan sebagian besar tindakan manusia (termasuk tindakan politik) dilakukan dan dipengaruhi oleh penggunaan serta artikulasi kebahasaan. Bahasa juga tampil sebagai representasi dari penyebaran (deployment). Hingga akhirnya, ia dipahami sebagai salah satu ruang yang menyebabkan konflik berbagai kepentingan, kekuatan, proses hegemoni dan counterhegemony.

Umumnya bahasa politik membawa ideologinya sendiri, yaitu kepentingan penuturnya. Ia seringkali berwayuh arti (multi interpretations), ambiguous, bahkan menipu. Ia juga tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan sesuatu, namun juga untuk menyembunyikan sesuatu. Hal ini senada dengan peribahasa Perancis yang berbunyi: “Les paroles sont faites pour cacher nos pensees”,  yang artinya bahasa diberikan kepada manusia untuk menyembunyikan pikirannya.

Bahasa politik tidak mementingkan fakta, melainkan lebih tertuju pada akibat dan implikasi yang timbul dari pernyataan. Berkaitan dengan hal ini, John Langshaw Austin mengatakan bahwa tindakan bahasa (speech act) terdiri dari tiga hal. Pertama, tindakan lokusi (locutionary act), yaitu apa yang diucapkan penutur. Kedua, tindakan ilokusi (illocutionary act). Ia merupakan makna atau arti di balik suatu pernyataan. Terakhir, tindakan perlokusi (perlocutionary act) yaitu dampak dari apa yang diucapkan penutur.

Problem
Salah satu hal yang bisa kita amati saat ini ialah merebaknya politik yang amoral. Politik semacam ini dicerminkan lewat bahasa yang tidak santun. Ujaran kebencian, hoaks, hujatan bahkan fitnah yang dilontarkan oleh pelaku politik maupun masyarakat umum menjadi bukti sahihnya. Belum lagi selama pandemi ini masyarakat hanya menghujat dan mencaci maki pemerintah tersebab diadakannya PPKM yang tidak berkesudahan. Hal ini jelas menandakan bahwa bahasa politik kita sedang tidak baik. Sikap kesantunan yang dibawa oleh bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa daerah semakin hari semakin punah, bahkan lebih mengarah untuk menistakan.

Dikutip dari kompasiana.com, terdapat empat sebab yang menjadikan bahasa politik kian tidak santun. Pertama, akibat keinginan mengkritik yang dilandasi sikap dan pikiran negatif. Kedua, akibat memberi komentar dan pendapat yang dilandasi dengan emosi pribadi. Ketiga, akibat bertutur kata atas dorongan kebencian dan kecurigaan. Terakhir, akibat ambisi dan nafsu untuk memojokkan lawan politik. Berangkat dari maraknya hal ini, menurut hemat saya sudah tepat bila masyarakat dan tokoh politik kita sedang dilanda krisis moral.

Seperti kita ketahui, keadaan bangsa Indonesia kini sangat memprihatinkan. Kehidupan rakyat tidak tenang. Dari musibah satu datang musibah yang lainnya, yang terlama bisa jadi pandemi Covid-19 ini. Di tengah musibah ini, masih saja terdapat beberapa oknum yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi maupun kelompok, seperti yang sudah saya singgung di awal tulisan. Ditambah belum lama ini kasus mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, yang baru saja mendapat vonis 12 tahun penjara. Ada hal yang janggal dari putusan hakim. Salah satu hal yang mendasari hakim untuk meringankan hukuman bagi Mensos tersebut ialah banyaknya penghinaan dan cacian yang disampaikan publik kepadanya dan keluarganya.

Dengan banyaknya fenomena di atas, kiranya boleh bilamana kita menyebut zaman semrawut yang melanda negeri saat ini sebagai zaman edan. Yakni zaman ketika orang kehilangan kepercayaan diri dan matinya rasa simpatik terhadap rakyat atau sesama rakyat.

Tata Krama
Untuk meminimalisir krisis moral –baik karena politik tidak santun maupun perilaku elite yang menyeleweng— mungkin tak ada salahnya kita belajar kembali tentang tata krama Jawa. Unggah-ungguh misalnya, ia telah diperkenalkan sejak usia dini  dan diharapkan menjadi salah satu usaha yang memberi bekal untuk hidup bermasyarakat pada masa dewasa. Seorang yang santun dan rendah hati akan lebih mudah diterima oleh lingkungan, lebih bisa bergaul dan lebih banyak bermanfaat bagi masyarakat.

Bila kita pikirkan kembali, apa gerangan yang menyebabkan watak dasar manusia yang baik berubah 180 derajat menjadi manusia yang tanpa hati nurani, tanpa tenggang rasa? Jawabannya ialah marebaknya kehidupan yang sulit dan kesenjangan sosial. Iming-iming “sesuatu yang memancing” seseorang untuk menjadi keluarga yang berkecupan (kaya) banyak diinisiasi oleh kehidupan para selebritis, tokoh publik yang memiliki kehidupan mewah dan ditayangkan oleh stasiun Tv maupun platform media sosial.

Dikutip dari buku Krisis Budaya –buku kumpulan esai—, Parwatri Wahjono mengisahkan bahwa masyarakat yang dahulu memiliki watak menjauhi Ma Lima kini justru berlomba-lomba mencari Ma Lima tadi. Ma Lima madat, main, madon, maling dan mateni— merupakan lima hal yang menjadi sumber penderitaan manusia yang disebabkan ketidakmampuan diri mengendalikan hawa nafsu. Pertama, madat. Dulu ia dikenal dengan istilah nyeret atau menghisap candu. Adapun untuk sekarang ialah memakai narkoba dan mabuk-mabukan. Candu merupakan kesenangan yang membuat ketagihan, membuat akal sehat hilang dan sangat berbahaya. Jika kita cermati banyak pejabat maupun tokoh publik yang seringkali diciduk karena hal ini, seperti Nia Ramadhani beserta keluarganya dan Coki Pardede. Alasan Nia Ramadhani salah satunya karena “tidak betah” dan merasa susah di masa pandemi ini.

Kedua, main. Istilah terdahulunya ialah kasukan yang artinya berjudi. Bila orang sudah berjudi ia akan lupa diri, ketagihan dan menuntut selalu menang. Segala macam perjudian bukan membuat orang semakin kaya, melainkan sumber banyaknya utang dan menjadikan pelakunya melarat. Ketiga, maling. Merampok, korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan perbuatan yang mengakibatkan masyarakat kecil menderita yang mana sedang marak di Tanah Air. Banyak elite politik nyambi menjadi maling uang rakyat di era pandemi yang entah kapan usainya. Rasa empati mereka hilang ketika melihat dana Covid-19 begitu besarnya yang dianggarkan oleh Pak Jokowi.

Keempat, madon yang berarti main perempuan. madon di sini sifatnya umum untuk laki-laki dan perempuan, baik selingkuh maupun poligami yang menyakiti hati sang istri. Karena jika kita cermati, kasus madon dewasa ini menyebabkan sumber bencana bagi sebuah rumah tangga. Sudah pasti tidak ada kebahagiaan, ketentraman maupun kasih sayang dalam rumah tangga yang salah satu pasangannya selingkuh. Menurut hemat saya juga seorang perempuan yang dimadu tidak akan bisa hidup bahagia apalagi tentram. Kelima, mateni. Ia memiliki arti membunuh, yang jelas menyebabkan orang lain sengsara. Mateni identiknya dengan menghilangkan nyawa, namun  dewasa ini menghilangkan mata pencarian, menjegal karir seseorang dengan fitnah hingga memecat pegawai dengan sembarangan termasuk ke dalam bentuk pembunuhan kontemporer.

Dari sana jelas bahwa Ma Lima menunjukkan gambaran orang yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya, jauh dari pekerti luhur dan menganggu ketentraman masyarakat. Watak nista ini semestinya dijauhi karena manusia sebaiknya menjalankan hal-hal yang menunjukkan watak madya dan utama. Setidaknya, di era edan dan semrawut seperti ini, kita lebih memanusiakan manusia sebagai bentuk solidaritas sebagai sesama anak bangsa.

Back to top button
Verified by MonsterInsights