Esai

Hal-Hal yang Perlu Kita Ketahui dalam Agama

Beberapa hari lalu saya memiliki kesempatan untuk bertanya kepada seorang guru di tempat mengaji, “Apakah kita bisa menghitung hal apa saja yang masuk dalam kategori al-ma’lûm min al-dîn bi al-dlarûrah dengan menggunakan pembagian logis?” Guru saya kemudian menjawab, “Mungkin saja, namun sepertinya belum ada ulama yang mengumpulkannya di dalam satu karangan, komponen-komponennya (afrâd kulliy) tersebar di banyak tempat.” Lantas beliau menambahi bahwa masalah ‘yang mesti diketahui dalam agama’ merupakan perkara yang saat orang tergelincir dari pemahaman yang baik tentangnya, ia akan mudah mengkafirkan orang lain.

Pertanyaan ini pernah dilontarkan oleh M. Yunus Masrukhin kepada seorang dosen di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar pada 2007 silam, sebagaimana yang beliau tuliskan dalam esainya, al-Tsâbit wa al-Mutahawwil dalam Diskursus Islam yang dimuat Majalah Afkâr edisi XXXIX Juli 2007. Meski terpaut waktu yang tidak singkat, saya mencoba menghadirkan ulang pertanyaan di atas, barangkali ada jawaban yang berbeda. Ternyata asumsi saya meleset. Terlebih, guru yang saya tanyai menutup jawaban beliau dengan mengungkap ketidaksukaan beliau terhadap pembahasan tersebut.

Namun, sebelum meracau lebih jauh, barangkali saya akan menyebut istilah al-ma’lûm min al-dîn bi al-dlarûrah ini dengan frasa ‘tembok batas’—supaya lebih singkat saja. Meskipun penyebutan ‘tembok batas’ di sini barangkali kurang tepat; karena tembok batas menandakan adanya sekat dan batas yang jelas antara A dan B, sedangkan istilah tadi menurut saya, justru mengandaikan kawasan abu-abu yang tidak sedikit dari kita kebingungan menentukan identitasnya. Tidak percaya? Teruslah membaca.

Menurut saya, jawaban sang guru di atas menyisakan dua hal yang terasa bertentangan. Di satu sisi, kita seolah bisa mengatakan bahwa ‘tembok batas’ tadi bisa dilihat dengan jelas; ia berbilang, bisa dihitung apa saja komposisi bangunannya. Namun di sisi lain, selama ini belum ada ulama yang benar-benar menghitung apa saja, ada berapa komposisi bahan yang sebenarnya dibutuhkan untuk membangun ‘tembok’ tadi itu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kita sebenarnya belum pernah benar-benar tahu apa saja sebenarnya komposisi ‘tembok batas’ itu. Kita selalu mengamini bahwa ‘tembok’ itu ada—dan untuk kemaslahatan agama Islam sendiri ia memang wajib ada—, namun tidak pernah tahu bagaimana hakikatnya.

Sedikit yang saya tahu tentang ‘tembok batas’. Paling tidak di antara ‘materi penyusunnya’ ialah bahwa syahadat merupakan syarat masuk seseorang ke agama Islam, bahwa Nabi Muhammad Saw. diutus kepada sekalian umat, rukun iman ada enam dan rukun Islam ada lima, dan bahwa siapapun yang mengatakan dan meyakini konsep trinitas maka ia bukan bagian dari orang-orang muslim sebab ayat al-Quran melarang kita untuk mengucapkannya.

Konsep ‘tembok batas’ ini sudah problematis sejak awal. Misalnya begini: syahadat merupakan syarat masuknya seseorang ke dalam Islam, tentu saja dan bagaimana tidak, ia merupakan rukun Islam pertama. Namun di saat yang sama, ia mengalami pemaknaan yang berbeda-beda. Misalnya, kelompok Sunni mengatakan bahwa syahadat ialah bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Sedangkan kelompok Syiah menambahkan aksiden lain bahwa Ali bin Abi Thalib adalah wali-Nya. Bagi siapa yang tidak meyakini itu menurut kelompok ini, maka keislamannya tidak sah—dan tentu saja kafir. Atau bagi Muktazilah misalnya, bahwa yang pertama kali harus dilakukan oleh seorang muslim ialah berpikir tentang wujud Tuhan.

Terkait iman terhadap kitab-kitab samawi juga demikian. Al-Quran misalnya, adalah kalam Allah. Namun apakah ia kalam nafsiy atau lafdziy, bagaimana proses pewahyuan kitab suci ini menurut teolog dan para filsuf, apa makna ayat tertentu di dalamnya dalam tataran tafsir dan ilmu al-Quran juga menuai berbagai pendapat yang tak berujung. Al-Quran memberi penjelasan gamblang mengenai keberagaman itu: kullu hizbin bi mâ ladaihim farihûn.

Baiklah, anggap saja kita sepakat bahwasannya hal apa saja yang menjadi komposisi ‘tembok batas’ ini problematis, dan oleh karenanya kita tidak bisa dan tidak boleh semerta mengujarkannya begitu saja. Lantas untuk apa kita dituntut untuk memahami term tersebut, jika ia sendiri tidak mungkin untuk dipahami secara sepakat? Mengapa konsep ini masih sangat efektif untuk menjustifikasi batas yang tetap (al-tsâbit) dan yang berubah (al-mutahawwil)? Sebenarnya untuk siapa atau katakanlah, siapa yang sebenarnya dituntut untuk memahaminya dengan baik, seorang muslim itu sendiri untuk dirinya sendiri, atau semua umat terlepas dari keyakinan dan agamanya?

Kita tentu tak lupa bagaimana peristiwa mihnat khalqi al-Qur’ân menyayat ingatan masa lalu sejarah kita; saat Khalifah al-Makmun, seorang Muktazili mewajibkan bahwa al-Quran adalah makhluk, dan Imam Ahmad bin Hanbal enggan untuk mengatakannya. Imam Syafii di dalam hal ini pun dipaksa untuk mengatakan demikian, hanya saja beliau selamat. Beliau mengatakan dengan menghitung empat jemari beliau bahwa Taurat, Zabur, Injil dan al-Quran adalah makhluk Allah. Ini terjadi saat sekte Muktazilah berkuasa.

Tak jauh berbeda saat sekte Ahlussunnah yang berkuasa. Misalnya, pada masa di mana Imam Ghazali menjadi rektor Madrasah Nidzamiyah di Baghdad, seluruh diktat perkuliahan dirancang sesuai dengan paham akidah Ahlussunnah dan paham-paham terkait Muktazilah direpresi sedemikian rupa agar tidak berkembang bahkan lenyap. Sederhananya, hal-hal terkait al-ma’lûm min al-dîn bi al-dlarûrah bisa diterapkan hanya dalam kawasan internal mereka yang memahaminya saja. Akidah Ahlussunnah berlaku bagi penganutnya, Pemahaman Syiah, Muktazilah dan umat muslim secara keseluruhan, hanya berlaku bagi masing-masing penganut.

Dengan demikian, apakah lantas ajaran Islam hanya direpresentasikan dalam term itu saja? Saya rasa tidak. Term al-ma’lûm… dan seterusnya hanyalah sebuah penanda parsial dari agama Islam dan mencakup ranah-ranah yang sangat terbatas. Term tersebut dengan segala gradasi pemahamannya, dari yang aksiomatik dan muttafaq ‘alaih hingga mukhtalaf fîh, tetap ada sebagai ‘tembok batas’ sebagaimana yang saya sebut di muka. Ia merupakan term yang kabur secara semiologis. Namun sebagai ekspresi dan representasi keimanan serta kesalehan seseorang, term ini merupakan piranti yang cukup efektif sebab ia merupakan konsekuensi dari pemahaman kita atas titah-Nya.

Back to top button
Verified by MonsterInsights