Opini

Peranti Kontekstualisasi Fikih

Usai membaca “Bagaimana Selayaknya Fikih dipandang”, saya telah dapat mengurai perbedaan fikih dengan syariah secara ringkas. Keduanya tidaklah identik, masing-masing memiliki ranah dan muatan yang sangat berbeda. Dari tulisan tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa fikih adalah suatu produk hukum keagamaan yang bersifat dinamis. Dalam artian, fikih senantiasa membuka ruang luas untuk didialogkan dengan realitas sosial sehingga mampu melahirkan hukum-hukum baru yang sesuai dengan konteksnya. Tentunya, dalam proses dialektika keduanya terdapat beberapa peranti yang perlu diperhatikan oleh para pelajar ilmu syariat. Tujuannya agar mereka kelak dalam mengaplikasikannya tidak menerobos batasan-batasan semestinya, yang mana jika hal tesebut diabaikan dapat mencederai kualitas fikih itu sendiri.

Pada umumnya, kemandekan fikih dalam mengakomodir berbagai persoalan kekinian menjadi kegelisahan yang kerap muncul di tengah para cendikiawan muslim, serta turut dialami kalangan pelajar ilmu syariat. Sebab sejak dulu, fikih (baca: fikih klasik) telah berhasil memengaruhi suatu realitas dengan berbagai solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan problematika yang terjadi. Hal tersebut menurut saya senada dengan yang dituangkan Grand Syekh al-Azhar, Imam Ahmad Thayib dalam bukunya yang berjudul at-Tajdid Wa al-Turats yang kurang lebih disebutkan bahwa turats dalam perjalanan sejarahnya selalu berkelindan dengan realitas yang ada. Keberadaannya senantiasa memberikan pengaruh positif terhadap kualitas kehidupan umat.

Kemudian, kegelisahan tersebut ––tak jarang–– diejawantahkan menjadi sebuah diskusi yang berorientasi pada semangat merajut nalar fikih kontekstual sebagai upaya pembaharuan hukum agama. Lalu perlahan, diskusi tersebut dikembangkan ke dalam kajian ilmiah dalam upaya mendialektikakan antara teks dan realitas yang sejak memasuki era modern mengalami berbagai tantangan yang kompleks. Hal tersebut menuai respon yang cukup beragam dari sejumlah kalangan. Setidaknya ada dua kalangan yang dirasa cukup menarik untuk disinggung.

Pertama, kalangan santri (baca: Santri Salaf/klasik). Sebagai suatu individu yang tumbuh di lingkungan pesantren, mereka cenderung memertahankan karakteristik pembelajaran fikih yang cukup ketat. Mereka tidak mudah terbuai dengan jargon-jargon pembaharuan yang marak diperbincangkan. Para santri sangat menghargai proses dan mengerti batasan-batasan yang ada sebelum melangkah pada pembaharuan yang dimaksud. Tentunya, respon tersebut tidaklah lahir dari ruang kosong, namun lahir dari kebiasaan mereka melatih diri secara konsisten untuk berinteraksi dengan berbagai literasi fikih klasik. Dengan bertahap, mereka belajar memahami kaul para ulama dahulu melalui bilik diskusi di sudut-sudut pesantren. Apresiasi santri terhadap kitab-kitab fikih klasik bisa dikatakan cukup tinggi, sehingga dalam hal ini, nilai-nilai fikih klasik senantiasa melebur pada diri para santri.

Dari situ barangkali justru menjadikan para santri merasa puas dan meyakini bahwa kitab-kitab fikih klasik dapat menyelesaikan berbagai realitas yang dinamis. Menanggapi hal tersebut, para pemikir kontemporer; seperti Nurcholis Majid, Jalaluddin Rakhmat, Husen Muhammad dan lain-lain cukup merisaukan jika kekayaan intelektual pesantren gagal memandu arus kehidupan yang transformatif.

Kedua, kalangan mahasiswa. Mereka diidentikkan sebagai individu yang intelek, kritis dan memiliki gairah tinggi dalam merespon berbagai persoalan yang kian mengemuka. Jika dibandingkan dengan santri, para mahasiswa ––bisa dikatakan–– berada selangkah lebih depan dalam melihat arus realitas yang senantiasa bertransformasi membentuk sebuah realitas baru. Jargon-jargon pembaharuan hukum agama memeroleh tempat yang cukup luas di benak para mahasiswa. Hal tersebut adalah sesuatu yang positif, namun cukup disayangkan jika para mahasiswa ––terlebih mereka yang tidak memiliki latar belakang pesantren–– hanya fokus dalam mendiskusikan berbagai pembaharuan, tanpa kembali membedah pemikiran-pemikiran ulama klasik secara komprehensif.

Peranti Kontekstualisasi Fikih
Realitas kehidupan memang meniscayakan perlunya upaya pembaharuan paradigma fikih, agar bisa berjalan beriringan sebagaimana yang diharapkan. Pembaharuan tersebut adalah sebuah upaya yang telah melalui berbagai proses tertentu dan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki otoritas dan kapabilitas dalam pengembangan hukum Islam (ijtihad). Dalam melakukan perihal tersebut, ada beberapa peranti yang perlu kita ketengahkan sebagai pakem bagi para mahasiswa atau santri yang tengah menjadi mahasiswa.

Di antaranya adalah memperbanyak pengalaman menelaah kitab-kitab fikih klasik, sehingga dengan perlahan seseorang akan mengerti pola pikir ulama terdahulu dalam merespon masalah. Tidak sampai di situ, seseorang juga seyogianya menguasai betul perbedaan-perbedaan pendapat para ulama fikih. Hal tersebut cukup banyak digaungkan oleh para ulama terdahulu, seperti Imam al-Ghazali, Hisyam Bin Abdullah ar-Rozi, Sufyan Bin Uyainah dan lain-lain. Salah satunya ada yang mengatakan (Al-Ghazali) “Innama yahshulu al-Ijtihadu bi mumârasati al-Fiqh, Fahuwa thorîqu tahshiili ad-Durbati fii hâdza az-Zaman.” Jadi dapat dipahami bahwa pada zaman ini, upaya ijtihad hanya dapat dimulai dengan melakukan interaksi terhadap kitab-kitab fikih secara konsinten dan komprehensif.  

Selanjutnya, kematangan dalam ilmu Ushul Fikih menjadi prasyarat yang sangat penting dikuasai. Mengacu pada objek pembahasan ilmu tersebut meliputi dalil-dalil bersifat umum yang berfungsi untuk menetapkan hukum-hukum agama, ilmu tersebut menjadi sebuah metodologi berfikir dalam berinteraksi dengan nash. Sebagaimana disebutkan dalam banyak keterangan, bahwa seseorang yang ingin memiliki pandangan-pandangan fikih yang kosmopolit harus didukung dengan kematangan dalam ilmu Ushul Fikih.

Kemudian, sudah seyogianya para pelajar ilmu syariah mulai membuka diri dengan beralih dari mempelajari madzhab qouli (tekstual) menuju usaha mempelajari madzhab secara manhaji (metodologis). Maksudnya, bermadzhab qouli adalah mengikuti produk pemikiran para fukaha, sedangkan bermadzhab manhaji adalah mengikuti metode para fukaha dalam menetapkan hukum. Pengembangan terhadap keduanya memiliki fokus yang berbeda. Dalam hal ini, KH. Sahal Mahfuz (Fikih Sosial) mengutarakan bahwa pengembangan fikih qouli dilakukan dengan melakukan kontekstualisasi kitab-kitab fikih klasik atau melalui pengembangan contoh-contoh aplikasi dari kaidah fikih atau kaidah ushul fikih. Misalnya, kaidah “al-Daf’u awla min al-Raf’i”, menolak lebih utama daripada menghilangkan. Dalam fikih sosial, kaidah tersebut dikembangkan dalam masalah kesehatan, yaitu; menolak penyakit dengan daya kebal yang kuat lebih utama dan lebih efektif ketimbang menyembuhkan penyakit yang terlanjur diidap oleh seseorang. Dalam hal kesehatan ibu dan anak, program imunisasi, pemberian ASI dan makanan-makanan bergizi harus mendapat perhatian serius dalam rangka mewujudkan generasi yang sehat. Melalui aplikasi kaidah di atas, dapat ditarik benang merah bahwa melahirkan generasi yang sehat merupakan perintah agama.

Adapun pengembangan madzhab secara manhaji dilakukan dengan pengembangan teori masâlik al-Illat (konsep menemukan illat) seperti menggabungkan pemahaman qiyas murni dengan konsep maqashid al-syariah. Dengan cara ini, fikih yang dilahirkan akan relevan dengan kemaslahatan umum. Hal ini mengingatkan saya dengan statement Syekh Ali Jum’ah pada kanal youtubenya, “al-Ittiba’ Fî Manâhijihim Dûna Masâilihim …” Dalam artian, menjadi sebuah keharusan untuk mengikuti metode berpikir para ulama dahulu (manhaj) bukan hanya terjerembab pada masalah yang telah dipecahkan oleh para ulama.

Pada akhirnya, mempersiapkan diri dengan melakukan pembacaan kritis terhadap kitab-kitab klasik sebelum atau saat masuk pada ruang pembahasan tentang pembaharuan merupakan perkara yang perlu menjadi perhatian. Supaya dalam melakukannya, seseorang tidak menabrak batasan-batasan yang ada. Selain itu, seseorang dituntut untuk aktif mengikuti gejolak realitas, agar mampu menangkap substansinya, sehingga keilmuan-keilmuan yang diperoleh dari turats mampu merespon realitas secara kontekstual.

Cek Juga
Close
Back to top button
Verified by MonsterInsights