Islamologi

Di Balik Penanggalan Hijriah

Jamak diketahui bahwa penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Tidak hanya menggunakan penanggalan masehi, mereka juga merujuk pada penanggalan hijriah. Bicara mengenai dua sistem penanggalan tersebut, keduanya memiliki perbedaan patokan yang cukup signifikan. Kalender masehi berpatok pada matahari sedangkan kalender hijriah pada bulan.

Apa urgensi penanggalan hijriah sedangkan penanggalan masehi sudah digunakan sebelumnya? Mengapa konsep penanggalan hijriah harus berpatok pada bulan?

Sejarah Penetapan 
Sebelum menjawab dua pertanyaan tersebut, kita perlu mengkaji terlebih dahulu sejarah awal mula ditetapkannya penanggalan hijriah. Said Aqil Siradj dalam buku Memahami Sejarah Hijrah mengatakan bahwa masyarakat Arab sebelum Islam menggunakan sistem penanggalan lunisolar. Artinya, ia berpatok pada peredaran bulan dan menyesuaikan dengan matahari. Selain itu, mereka juga telah mengenal nama-nama bulan seperti Muharram, Safar, dan Zulkaidah. Beberapa penamaan bulan tersebut dikaitkan dengan fenomena alam atau peristiwa. Contohnya, penamaan Ramadan dikaitkan dengan puncak musim panas dan penamaan bulan Muharram dikaitkan dengan kesepakatan seluruh kabilah Arab atas keharaman terjadinya perang di bulan itu.

Dengan sistem penanggalan lunisolar ini, setiap bulann terdiri dari 29 atau 30 hari, sehingga setahun hanya berjumlah 354 hari. Hal ini tentu lebih sedikit dari pada kalender masehi yang berjumlah 365 hari. Maka, demi menyusul keterlambatan tersebut mereka menyisipkan bulan ke-13 atau yang disebut nasi’. Namun, penentuan batasan bulan sisipan ini rentan adanya manipulasi. Akibatnya, sering terjadi peperangan antarkabilah sebab ketidakjelasan awal bulan Muharram seperti yang disebutkan di atas.

Melihat penyalahgunaan bulan sisipan itu, Nabi Muhammad SAW mengubah penanggalan yang mulanya menggunakan sistem lunisolar menjadi lunar murni. Artinya, sistem ini berpatok pada peredaran bulan saja atau disebut juga penanggalan Qamariyah yang kemudian menjadi syariat ajaran Islam. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT untuk menghilangkan bulan sisipan tersebut dalam QS al-Taubah ayat 36: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan…”.

Lambat laun, hampir seluruh masyarakat Jazirah Arab memeluk agama Islam dan menggunakan sistem kalender lunar tersebut. Sampai pada masa Khalifah Umar bin Khattab, wilayah kekuasaan Islam yang luas dibagi menjadi wilayah-wilayah kecil dan dipimpin oleh gubernur sehingga mereka berkomunikasi melalui surat-menyurat. Akan tetapi, mereka tidak mencantukan tahun yang tepat, sebab tahun yang mereka kenal masih selalu dikaitkan dengan fenomena tertentu, Tahun Gajah misalnya. Oleh karena itu, hal ini membuat kerancuan dokumentasi dalam surat-menyurat.

Melihat hal ini, Abu Musa al-Asyari sebagai gubernur Irak mengusulkan kepada Khalifah Umar bin Khattab untuk membuat penanggalan Islam melalui suratnya yang kemudian disetujui. Selanjutnya, muncul beberapa usulan mengenai peristiwa yang dijadikan sebagai patokan tahun pertama Hijriah. Setelah bermusyawarah, akhirnya usulan Ali bin Abi Thalib yang disetujui, bahwa penetapan kalender hijriah berdasarkan hijrahnya Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin dari Makkah ke Madinah. Oleh karena itu, penanggalan Islam dinamai penanggalan hijriah, dengan harapan umat Muslim selalu mempunyai semangat berhijrah.

Urgensi Penanggalan
Setelah kita mengulas sejarah di atas, kita dapat menjawab pertanyaan pertama mengenai urgensi penanggalan hijriah. Kalender hijriah dibentuk oleh Khalifah Umar bin Khattab untuk merapikan dokumentasi surat-menyurat pemerintahan yang saat itu masih rancu. Hal ini menjadi salah satu bentuk kepiawaian Umar bin Khattab sebagai khalifah saat itu. Usahanya ini berjasa bagi kelancaran sistem pemerintahan selanjutnya.

Dengan umat Islam yang memiliki penanggalan sendiri, mereka dituntut untuk memahami sistem kinerja penanggalan tersebut. Pada akhirnya, muncul suatu fan ilmu baru yang disebut dengan ilmu falak yang menjadi acuan umat Islam dalam menentukan waktu ibadah, seperti puasa Ramadan. Munculnya fan ilmu baru ini menjadi salah satu bukti kemajuan keilmuan umat Islam pada saat itu. Al-Biruni adalah salah satu astronom Muslim yang pernah ada.

Konsep Penanggalan
Mengapa penanggalan hijriah berpatok pada peredaran bulan?

Untuk mengetahui hal itu, kita dapat melihat dari dua sisi. Pertama, jika dilihat dari sisi agama, penetapan ini merupakan perintah Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikatakan bahwa bulan sabit adalah tanda untuk menunaikan ibadah haji (QS al-Baqarah: 189). Selain itu, juga dikatakan dalam Hadits Nabi SAW: “Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihat bulan…”.

Kedua, jika dilihat dari sisi astronomi, penetapan kalender hijriah berpatok pada fase peredaran bulan mengelilingi matahari. Umat Islam tersebar di berbagai penjuru bumi yang letak geografis dan musimnya berbeda-beda, maka tidak adil jika misalnya Ramadan ditetapkan menurut sistem kalender solar atau lunisolar. Kondisi semacam ini mengakibatkan umat Islam di suatu kawasan berpuasa selalu di musim panas atau selalu di musim dingin. Sebaliknya, dengan menggunakan kalender lunar murni, umat Islam di berbagai penjuru dunia dapat merasakan puasa dan haji dalam kedua musim tersebut hingga sekarang.

Hikmah
Pengetahuan mengenai sejarah, urgensi, dan konsep dari penanggalan hijriah menyadarkan kita betapa istimewanya agama Islam dalam mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam sistem penanggalan yang sedari tadi kita bahas. Hal ini juga merupakan bukti dari fitrahnya Islam sebagai rahmatan lil alamin, bahwa ia mampu meredakan peperangan antarkabilah yang disebabkan tidak adanya kesepakatan mengenai penanggalan saat itu. Wabakdu, menggunakan kalender ini adalah bentuk menghargai keputusan yang ditetapkan oleh Khalifah Umar dan Sahabat.

Back to top button
Verified by MonsterInsights