Opini

Kesederhanaan Ilmu Ala Imam Ghazali

Menjadi mahasiswa, akan menjadi elegan jika kita juga mengulik persoalan jurusan kuliah seseorang yang sarat akan fan ilmu tertentu yang nantinya berpengaruh pada identitas pemikiran seseorang. Belum lama ini saya melihat beberapa kegelisahan teman saya di status Whatssapp, ia berujar: “Cita-cita saya ingin menjadi kepala desa, tapi jurusan saya Akidah Filsafat, ketika pulang, ilmu saya tidak tahu mau diarahkan ke mana? Sementara yang lain berujar, “Saya mengambil jurusan Tafsir, tapi di Indonesia kian marak para intelek yang sudah turun tangan, tapi kondisinya masih gini-gini saja.”

Kegelisahan semacam itu saya rasa cukup substansial untuk dapat ditelaah lebih lanjut, melihat banyak kader Indonesia yang belajarnya ekspansi ke luar negeri; artinya jangan sampai seakan kita buram atas jurusan yang sudah kita ambil, lantas memukul rata bahwa ilmu itu tidak digunakan. Barangkali tulisan saya kali ini akan mencoba menjawab sedikit persoalan semacam itu. Di tulisan ini saya akan menggunakan pisau ontologi ilmu dari perspektif al-Ghazali.

Ilmu dijadikan sebagai jembatan bagi manusia untuk menyadari akan sebuah kebenaran, dimana kebenaran itu terletak pada Tuhan yang menciptakan entitas, maka di dalam ilmu terdapat dua faktor pendukung yang diberikan Tuhan, yaitu mau’unah dan hidayah. Dua faktor ini yang kemudian nantinya dapat menciptakan paham atas sebuah ilmu, sehingga dapat menyadari sebuah kebenaran. Lantas bagaimana kita dapat meraih dua faktor tersebut untuk dapat dijadikan sebagai kendaraan mencapai suatu kebenaran? Menurut al-Ghazali yang menafikan kebenaran selain Tuhan, menganggap bahwa dua faktor tersebut didapatkan dengan pendekatan diri kepada Tuhan, dari pemahaman sufistiknya ini, maka al-Ghazali memiliki pengertian ilmu yang tunggal, yaitu ilmu Tuhan. Sedangkan ilmu yang dimiliki manusia adalah jembatan untuk menghantarkan pengenalan terhadap Tuhan (sebagai yang mempunyai kebenaran).

Dari pemahaman ilmu yang disampaikan al-Ghazali lantas melahirkan dua klasifikasi ilmu, yaitu ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah. Keduanya dilihat dari kemampuan manusia yang berbeda-beda, namun memiliki sumber muara yang sama, yaitu Tuhan (wujud kebenaran) yang mana aspeknya juga akan berbeda. Ilmu pertama, kerap kali dikaitkan dengan aspek teologi ketuhanan (secara langsung kepada Tuhan), sedangkan ilmu kedua adalah aspek yang memegang kendali terhadap potensi manusia (tidak langsung kepada Tuhan).

Dalam pemikiran tersebut, al-Ghazali juga memberikan gambarannya dalam kitab masterpeace-nya yaitu Ihya Ulum al-Din, bahwa ilmu mukasyafah termasuk dalam bagian ilmu yang berkaitan erat dengan hal-hal ghaib dan abstrak, sehingga bentuk penyuluhannya hanya sebatas pada mengetahui dan memahami, tidak perlu untuk diamalkan. Sebagaimana halnya para wali Allah yang diberikan mukasyafah.

Sementara ilmu mu’amalah berkaitan erat dengan sesuatu yang dapat dijangkau manusia, sehingga dapat diterapkan dan diamalkan. Ditinjau pada aspek kebutuhan manusia dari kedua klasifikasi ini, maka ranah mu’amalah tentu memiliki cakupan yang lebih luas. Pada hal ini ilmu mu’amalah terbagi menjadi ilmu syariah dan non-syariah, yang mana pada keduanya memiliki masing-masing identifikasi tersendiri. Ilmu syariah dijadikan sebagai otoritas suatu agama, sedangkan non-syariah identik dengan ilmu-ilmu eksakta, sosial dan humaniora. Nah, dari dua pemahaman ilmu dalam klasifikasi al-Ghazali, lantas bagaimana kita dapat berkontribusi untuk menyumbangkan buah ilmu –hasil pemikiran selama kegiatan belajar- untuk masyarakat?

Pasalnya, ketika seseorang telah belajar ilmu-ilmu teolog, filsafat serta mendalami, menekuni, maka sebagai pelajar harus dapat memilah apa yang tepat dan pas untuk diamalkan pada masyarakat. Apa yang dipelajari hendaknya bisa digunakan sebagai metode, bukan bahan dalil untuk dapat menyentuh pemahaman masyarakat, bahkan mengubah pemikiran masyarakat. Terlebih pemahaman mengenai filsafat sangat kompleks, maka dalam filsafat tidak serta-merta dapat dijadikan hiasan dalil pada masyarakat. Pada dasarnya masyarakat hanya membutuhkan suatu pemahaman ilmu yang tepat dan pas dengan bahasa yang terlampau sederhana. Pun bagi seseorang yang bergelut pada bidang tafsir, hadits hingga syariah. Lantas apakah sebenarnya jurusan filsafat (misalnya) tidak bisa menggunakan teorinya untuk mengubah masyarakat? Jawabannya tentu bisa. Dengan apa, yaitu dengan bahasa. Penggunaan bahasa yang tepat dapat dijadikan sebagai alat untuk menyederhanakan istilah ilmu yang dirasa rumit oleh masyarakat awam. Bahasa ini dapat dimasukkan pada aspek non-syariah yaitu dalam ranah sosial. Mengapa harus bahasa? Karena bahasa telah dijadikan sebagai alat kontrol sosial.

Semisal, kita membaca kitab Ihya Ulum al-Din karya al-Ghazali, rangkaian kalimat yang tersusun menjadi alinea, paragraf, sub bab, hingga bab bahkan jilid, merupakan sebuah bahasa yang sedang berbicara pada pembacanya. Lebih dari itu, seseorang yang sedang berkhutbah atau berdakwah juga sebagai bentuk bahasa. Nah, maka dari itu saya rasa sangat tepat jika para pegiat literasi dan para pelajar-pelajar Islam (terlebih Masisir) untuk dapat mengimplementasikan bahasa yang pas dan relevan bagi masyarakat atas hasil pemikirannya terhadap suatu fan ilmu. Menurut saya, bukan lagi menyoal bagaimana ilmu saya bisa digunakan di masyarakat, namun lebih pada bagaimana saya bisa menyampaikan ilmu pada masyarakat secara sederhana.

Mengapa demikian? Padahal hakikatnya, ilmu merupakan sesuatu yang tidak dapat disentuh kecuali dengan bahasa. Artinya, transisi pengetahuan atau pemahaman terhadap sebuah ilmu ke dalam pikiran manusia, hanya bisa didapatkan melalui bahasa. Maka, bahasa berfungsi sebagai alat keterpengaruhan. Misal, pemahaman mengenai Hadits, maka seseorang harus mengetahui apa itu Hadits, menggunakan suatu istilah yang dapat dipahami. Hal semacam ini adalah bukti bagaimana bahasa itu sedang berbicara mengenai istilah Hadits, sehingga seseorang akan mendapatkan pengaruh (sebuah pemahaman) dari istilah tersebut. Maka, posisi bahasa dijadikan sebagai alat kontrol dalam transisi semua bidang ilmu yang nantinya akan mempengaruhi sosial masyarakat.

Walakhir, ilmu dalam klasifikasi al-Ghazali memberikan gambaran kepada kita bahwa setiap ilmu memiliki tujuannya, terlebih kepada manusia. Klasifikasi tersebut dapat dijadikan sebagai denah pemikiran untuk memahami suatu fan ilmu beserta terapannya. Artinya setiap fan ilmu yang digeluti oleh pelajar dan mahasiswa, baik dari Filsafat hingga bahasa, memiliki kedudukannya masing-masing di masyarakat. Yang terpenting dan perlu dipahami adalah bagaimana pemahaman suatu ilmu itu dapat sampai kepada masayarakat? Sementara yang saat ini saya tawarkan adalah bahasa sebagai alat yang dapat dijadikan sebagai kontrol masyarakat, untuk mencapai kepahaman masyarakat. Maka saya rasa kita hanya perlu menyiapkan teori yang pas dan disampaikannya dengan bahasa yang sederhana.

Back to top button
Verified by MonsterInsights