Islamologi

Hikmah Turunnya Islam di Jazirah Arab

Oleh: Izuki Muhasonah

Mengapa Jazirah Arab dipilih Allah sebagai tempat kelahiran dan pertumbuhan Islam? Apakah hal tersebut merupakan hak prerogatif Tuhan dengan segala kesempurnaan-Nya, atau terdapat hikmah yang mungkin digali untuk dijadikan pelajaran dalam kehidupan manusia? Untuk menjawabnya, kita dapat melihatnya dari beberapa aspek.

Dilihat dari sisi moral, menurut al-Jahiz, cendekiawan dan sastrawan Afrika-Arab, bangsa Arab berada di tengah-tengah negara adidaya yang berperadaban tinggi dengan segala kekacauan yang menyebar di sekitarnya. Romawi dan Persia, negara adidaya itu telah mencapai kemajuan dalam hal politik dan militer namun mengalami dekadensi dalam soal moral. India, dengan warisan kitab kuno yang begitu hebat juga tengah mengalami kemunduran yang luar biasa dalam hal agama dan sosial.

Kondisi tersebut berbeda jauh dengan keadaan penduduk Arab yang masih hidup tenang dan damai serta selamat dari hiruk-pikuk kekacauan negara sekitarnya. Bisa dibilang, bangsa Arab masih murni, belum terjamah oleh kepemimpinan dan berbagai pengaruh negatif. Kebersihan jiwa mereka pun tetap terjaga. Mereka akan lebih mudah untuk menerima petunjuk dan kebenaran. Tidak heran jika Tuhan menjadikan Jazirah Arab sebagai tempat diturunkannya Islam.

Selanjutnya, dari sisi geografis, Jazirah Arab merupakan tempat paling strategis untuk jalur perdagangan kala itu. Di sana merupakan pusat rute ekspor-impor hasil produksi antarnegara. Di antaranya ialah dua jalur perdagangan terbesar di Jazirah Arab antara Syam dan Samudra Hindia. Pertama, dari Hadramaut ke Bahrain melalui Teluk Persia kemudian menuju Sur. Kedua, dari Hadramaut menyisiri Laut Merah menuju Syam.

Posisi geografis Jazirah Arab ini ternyata membawa dampak positif bagi penduduknya, baik dari segi ekonomi maupun sosial budaya. Dari segi ekonomi, kondisi ini cukup menguntungkan, karena mereka bisa membuka lapangan pekerjaan yang cocok dan sesuai, seperti menjadi pengangkut barang, pengawal, dan penunjuk arah bagi kafilah yang berlalu lalang. Dari segi sosial budaya, mereka tidak lagi berinteraksi dengan sesama anggota suku saja, akan tetapi mereka mulai terbuka dan menerima hal baru dari suku yang lain.

Ahmad Amin dalam bukunya, Fajr al-Islâm pernah bertutur mengenai beberapa negara maju di kawasan Jazirah Arab saat itu, yakni Hijaz dan Yaman. Ia mengatakan bahwa kedua negara tersebut dengan sengaja memanfaatkan kondisi wilayahnya yang strategis sebagai jalur perdagangan untuk mempelajari peradaban dan intelektual negara-negara yang lebih maju di luar kawasan tersebut, seperti Syam dan Mesir. Bahkan, tidak dapat dimungkiri bahwa tujuan utama mereka berdagang bukan sekadar mendapatkan keuntungan materi, melainkan juga sebagai media berinteraksi dan mempelajari bahasa asing untuk mengetahui satu sama lain. Interaksi tersebut memberi pengaruh pada cara berpikir bangsa Arab untuk lebih maju, berkembang dan melahirkan akulturasi budaya yang terjadi secara alami.

Dari aspek karakteristik bangsa Arab, penduduk Arab terkenal memiliki watak yang keras, temperamen, cenderung mudah marah serta lebih memilih jalan perang untuk menyelesaikan permasalahan. Karakter tersebut lahir disebabkan kondisi geografis lingkungan mereka. Sebuah padang pasir yang begitu panas dengan keberadaan air yang begitu terbatas;tanaman tidak mudah tumbuh serta hewan-hewan ternak begitu kurus. Selain itu, jarang pula hewan yang dapat dijadikan alat transportasi perjalanan selain unta. Kondisi ini menyebabkan mereka hanya dapat berinteraksi dengan orang yang ada di sekitarnya, sehingga pikiran belum terkontaminasi oleh pengaruh luar. Dengan watak yang keras, mereka tidak mudah dijajah dan diatur oleh bangsa manapun.

Tidak sampai di situ, kehidupan di padang pasir begitu sepi, tidak terjamah oleh lalu lalang manusia. Kehidupan di sana hanya terfokus pada apa yang ada, bahkan mereka tidak menggunakan apapun untuk bertahan hidup kecuali dari alam.

Selain keras dan temperamen, bangsa Arab memiliki rasa fanatisme kesukuan yang tinggi. Meskipun fanatik, mereka tetap bisa menerima Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, tersebab Islam mampu memberikan tawaran yang mereka nantikan. Seperti tidak adanya sistem perbudakan dalam Islam, meniadakan kebiasaan mengubur perempuan hidup-hidup yang mana hal tersebut sesuai dengan karakter penduduk Arab yang suka dengan kebebasan dan penyamarataan dalam strata sosial.

Back to top button
Verified by MonsterInsights