Esai
Trending

Dampak Pemilu (Belum) Usai

Pelaksanaan pencoblosan Pilpres dan Pileg di Mesir mendahului pencoblosan di Indonesia. Kebanyakan dari teman saya menanti hari itu untuk (meminjam diksi yang sering diperdengarkan) berpartisipasi menentukan masa depan Indonesia, maka saya tidak sefuturistik itu. Saat yang lain memasang poto jari yang tercelup tinta di pelbagai akun media sosial mereka, pun saya hanya menarik napas lega; tersisa satu lagi tanggungan, yaitu menghadapi ujian akhir semester.

Sejak sebelum pencoblosan, hawa-hawa di Kairo cukup labil; terik menyengat di siang hari dan dingin menjelang malam, hingga waktu Dluha. Selabil mulut politisi yang diundang diskusi di acara-acara televisi. Tidak semuanya labil sih, tapi ya mayoritasnya. Apalagi bagi para politisi yang ambisi berkuasa dan sedang gulana menghadapi bayangan takdir buruknya. Meski demikian, cuaca yang labil itu tidak mematahkan semangat mayoritas Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) untuk menghabiskan harinya bersama diktat di ruang-ruang serambi masjid al-Azhar, misalnya. Saya pun demikian. Meski tidak sesalehah mereka yang belajar di masjid, namun setidaknya terlihat melakukan rutinitas yang sama; membacai buku-buku yang akan dipertanyakan satu bulan ke depan.

Hari-hari ujian semakin mendekat. Kita Masisir sering menyebutnya dengan ‘hari tenang’ sebelum ujian. Bahkan kini sudah memasuki setengah Sya’ban akhir, artinya dua mingguan lagi Ramadlan akan kita jelang. Hawa-hawa religius biasanya memang menyergap begitu lembut, menenangkan gelombang kesibukan pada rutinitas-rutinitas yang sering kita anggap perlu, dan sebagainya. Seolah seiring senada dengan religiusitas Masisir yang hampir pasti melonjak signifikan begitu ujian menjelang. Ah, namun, sampai pagi hari ini, saya justru merasakan kegelisahan yang mendorong saya menumpahkannya di tulisan ini. Tersebab jika saya menuliskannya di lini masa ‘Cerita’ WhatsApp, ia hanya akan bertahan selama dua puluh empat jam.

Sebuah Status
Awal mula kegelisahan yang cukup mengusik itu ialah ketika saya dapati sebuah screenshoot tulisan di grup—yang cukup dekat dengan keseharian saya—dibuat ‘cerita’ di WhatsApp. Isinya, terkait dengan perolehan pesta demokrasi yang baru saja selesai direkapitulasi. Secara garis besar, persoalan mengerucut pada perolehan rekapitulasi yang cukup mengejutkan, barangkali bagi salah satu kubu bersangkutan. Di satu sisi, partisipasi anggota partai yang berorientasi islami-islami mencapai lebih dari 50%, saat dimana partai oposisi yang ‘dikenal’ mengusung moderatisme dalam setiap lakunya hanya berkisar di angka sembilan koma sekian persen. Perolehan ini cukup mengejutkan bagi sebagian pihak, apalagi melihat kenyataan bahwa itu terjadi di Bumi al-Azhar, bagaimana bisa kelompok islamis-revivalis justru unggul di atas arus moderatisme yang juga diusung al-Azhar. Bagi pihak yang lain barangkali juga demikian. Mereka tidak menduga antusiasme dan semangat islami disambut sedemikian hebatnya. Di sinilah saya turut kena imbasnya. Selabil itukah mahasiswa-mahasiwi di sekitar saya menghadapi pubertas politisnya? Tidakkah mereka melihat status mereka itu dari institusi atau dari universitas mana?

Bagi saya, ruang obrolan WhatsApp hingga sebelum kejadian merupakan ruang favorit untuk bersantai menghabiskan waktu luang. Setidaknya di sanalah, segala informasi terkait perkuliahan dan ujian saya dapatkan, di samping tentu saja melihat daftar Cerita teman yang dibagikan berbeda-beda setiap detiknya. Dibanding dengan Facebook, WhatsApp lebih hemat memori penyimpanan dan lebih kompatibel dijadikan ruang publik, yang sedikit banyak identik dengan interaksi dalam obrolan. Namun ruang itu kini roboh. Ia tak lagi senyaman kemarin.

Saat mendengar ruang publik, sedikit banyak ingatan kita akan menuju seorang teoretikus politik yang sering dikenal dengan filsuf perempuan abad 20, Hannah Arendt (1906-1975). Sebagaimana dirilis oleh Sanglah Institute, filsafat tindakan Hannah tak bisa lepas dari pemaparannya mengenai ruang publik. Baginya, kata-kata dan tindakan hanya mampu dipahami ketika ia berada atau ‘terjadi’ di ruang publik. Ia mengatakan bahwa ruang publik bisa didefinisikan menjadi dua; ruang penampakan dan dunia bersama. Ruang penampakan ialah tempat dimana kita mengekspresikan eksistensinya di hadapan orang lain, sedangkan dunia bersama dipahami sebagai ruang dimana ada kesalingan di antara sesama kita; saling memahami, saling menolong dan saling menghormati.

Hannah melihat ruang publik dengan kedua definisinya tadi sebagai media perantara antara kita dan mereka dalam ekspresi eksistensinya masing-masing. Ruang publik laiknya sebuah meja yang ada di tengah orang-orang yang duduk mengitarinya. Jika media tersebut baik, maka terciptalah ruang publik yang sehat dan harmonis, dan sebaliknya jika ruang tersebut hilang, kekacauan massa ialah sebuah kemungkinan yang meniscaya. 

Lantas apa yang menyebabkan ruang publik sirna? Hannah menyebutkan dua hal penyebab hilangnya ruang publik yang nyaman. Pertama, isolasi radikal; saat hasrat pribadi mengooptasi, saat orang-orang tak lagi sepaham dan kedua, adanya histeria massa; saat dimana orang-orang bertingkah layaknya sebuah keluarga dan layaknya satu keluarga, masing-masing anggota keluarga akan menggandakan nilai atau perspektif keluarganya. Kedua hal tersebut dalam ranah negara mainstream ditandai dengan otoritas pemerintahan yang diktator dan otoriter. Menekan kalangan akar rumput yang selanjutnya direspon dengan aksi demo dan kumpulan massa lainnya.

Jika dalam pembacaan Hannah, kalangan akar rumput yang tak bisa banyak berbuat sebab pemerintahan tiran menandakan hilangnya ruang publik. Bagi saya, sebuah ruang publik sirna tatkala obrolah WhatsApp tak lagi menjadi labuhan yang nyaman, bahkan dalam mempersiapkan ujian. Di saat ingin mengetuk pintu obrolan perkuliahan, bunyi notifikasi ruang sebelah yang masih tidak baik-baik saja sedikit menyisakan kegelisahan yang entah. Semoga kegelisahan ini juga bisa hilang dalam dua puluh empat jam, laiknya cerita-cerita yang terpajang di WhatsApp dan tidak dipajang kembali dalam bentuk screenshoot-an.

Kembali kepada ihwal screenshoot di atas tadi. Sebenarnya saya tidak tahu pasti, dalam sebuah grup komunitas tertentu adakah aturan yang mengikat terkait etika berinteraksi di dalam sana. Meski tidak disebutkan secara terang, saya pikir ada semacam konvensi tak tertulis yang mesti dipahami oleh masing-masing penghuninya. Sederhana saja, selama kita berinteraksi dengan sesama, tata cara interaksi yang baik tak akan berubah dan berbeda antara dunia nyata dan maya. Kita dipaksa untuk beradaptasi sedemikian cepat memindah hal-hal yang biasa ada di kehidupan nyata masuk ke satu ruang terbuka tanpa batas cakrawala. Atau yang sering diperdengarkan; kita telah ada di ruang globalisasi. Di sinilah, sebagaimana kita dihimpit agar bisa beradaptasi dengan cepat di dalam sana, kita juga dipaksa untuk sadar bermedia. Kita dituntut untuk mewawas diri atas (meminjam diksi Dr. Hamdi Zaqzuq) kritik diri.

Dalam ranah ruang obrolan semacam grup WhatsApp, kita mesti memahami tabiat ruang yang kita ada di dalamnya. Tidak semua informasi di sana bisa dibawa keluar, sebagaimana tidak bisa semaunya informasi kita bawa masuk untuk diperlihatkan. Apalagi ketika menyangkut ideologi kelompok tertentu yang sedang ‘panas’ dan gelisah menyambut takdir buruknya, saya kira kita mesti bisa memosisikan diri. Sedikit ucapan tak sengaja yang biasanya direspon nada simpati, di tahun politik ini begitu mudahnya menjadi pemantik laku martir. Mengkritik diri bisa ditunjukkan dengan mencurigai diri sendiri dan instrospeksi diri. Pemilu Raya 2019 telah usai, mari kita menahan jari-jemari agar tidak terpancing emosi, setidaknya hingga rangkaian ujian kita sebagai manusia benar-benar usai.

Back to top button
Verified by MonsterInsights