Esai

Urgensi Ujian Seleksi Masuk al-Azhar

Mungkin tulisan ini sedikit terlambat dalam menangapi, tapi daripada tidak sama sekali, pada akhirnya kegelisahan ini tetap saya tuliskan. Kegelisahan saya ini bermula dari munculnya tulisan berantai di ruang citizen journalism salah satu media yang cukup mainstream di Tanah Air beberapa waktu yang lalu. Tulisan-tulisan itu menyoroti ihwal jatah kuota (non beasiswa) mahasiswa al-Azhar Mesir yang hanya 1.529 kuota (plus 20 kuota beasiswa) dari total 5.752 peserta seleksi.

Dari angka itu, berarti ada 4.173 orang yang dinyatakan tidak lulus ujian seleksi nasional (seleknas) masuk al-Azhar yang diselenggarakan Kemenag dan pihak-pihak terkait. Dari jumlah 4000 lebih mahasiswa yang tidak lolos itu, lantas dinarasikan bahwa ada pihak-pihak (baca—Kemenag cs) yang menghalangi dan merintangi mahasiswa Indonesia untuk belajar ke Mesir. Regulasi yang ada pun dianggap sengaja dibuat-buat demi pembatasan jatah kuota masuk ke al-Azhar Mesir.

Lebih lanjut, mereka (kubu kontra pembatasan kuota) kemudian menuduh Kemenag dan KBRI bersekongkol demi meminimalisir calon mahasiswa baru al-Azhar dari Indonesia. Mereka kemudian menuntut penambahan jumlah kuota menjadi 2500, bahkan ada yang menuntut penghapusan seleksi nasional masuk al-Azhar Mesir yang diselenggarakan Kemenag. Mereka yang menyuarakan penghapusan dan penambahan kuota itu seolah merupakan suara resmi mayoritas pesantren yang kader-kadernya “dijegali” oleh Kemenag untuk bisa kuliah di al-Azhar. Padahal jika ditelisik lebih jauh, mereka yang protes adanya seleksi dan penyaringan ini hanya mewakili lembaga atau komunitas yang masih asing di telinga Masisir, bahkan sebagiannya antah-berantah. Jangan-jangan mereka yang bersuara lantang itu adalah orang-orang yang “ladang” dan “lahan basah”nya sedang terancam. Ah, semoga praduga saya ini salah, meski kemungkinan benarnya besar.

Sebagai lulusan al-Azhar yang kebetulan tahu betul kondisi mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) di masa-masa pandemi ini, saya justru merasa miris, sedih dan menyayangkan terbitnya tulisan-tulisan tersebut. Menurut hemat saya, mereka yang menulis itu abai terhadap problematika dan realitas terkini dari Masisir yang ruwet bin kompleks. Baik itu dari sisi penurunan intelektualitas, maupun berkurangnya kondusifitas Masisir. Kalau terkait penurunan kualitas camaba al-Azhar mungkin bisa (perlahan) diatasi dengan mengoptimalkan pembekalan dan program matrikulasi yang sudah ada. Namun untuk kondusifitas Masisir, ini adalah hal yang harus menjadi perhatian serta pijakan utama pengambilan keputusan besar terkait Masisir. Tidak bisa tidak.

Sudah bukan rahasia lagi jika kuantitas pelajar ataupun mahasiswa Indonesia yang ada di Mesir kini semakin membludak. Bagaimana tidak membludak, jika mahasiswa baru yang diterima masuk di al-Azhar tiap tahunnya (kini) di atas 1000, padahal di beberapa tahun sebelumnya, mahasiswa yang dinyatakan lolos seleksi hanya kisaran ratusan. Di sisi lain, peningkatan jumlah kuantitas itu belum diimbangi dengan langkah-langkah antisipasi dari pihak-pihak terkait. Padahal sebenarnya seleksi itu diadakan selain untuk penyaringan, juga demi untuk menjaga kondusifitas belajar para duta bangsa Indonesia selama di Mesir. Jika kran seleksinya diperbesar, atau bahkan dilossdollkan, niscaya iklim Masisir akan menjadi kian tidak kondusif untuk belajar.

Syahdan, dampak dari kuantitas mahasiswa yang tidak ideal itu menjadi kunci terjadinya problem sosial dan permasalahan Masisir jadi kian kompleks. Padahal aneka permasalahan klasik di Masisir yang ada belum jua teratasi. Misal, ruetnya proses pengurusan visa yang acap menjadi sumber masalah bagi para mahasiswa, melejitnya sewa (ijar) rumah di area kampus akibat lonjakan jumlah mahasiswa yang datang, kian banyak mahasiswa yang gagal (rasib) dan gagap di tahun-tahun pertama, hingga maraknya kasus-kasus baru yang mengindikasikan merosotnya moralitas Masisir.

Poin tentang penurunan kualitas camaba al-Azhar dan ada cukup banyak mahasiswa Azhar yang justru menjadi radikal (disorientasi) begitu pulang dari Mesir sengaja tidak menjadi pembahasan utama karena nantinya akan saya ulas dalam sebuah tulisan tersendiri. Yang sejak awal ingin saya garisbawahi di sini adalah ihwal kondusifitas Masisir saat ini; sebagai hunian dan sebagai kawah candradimuka bagi para pelajar atau mahasiswa asal Indonesia. Jangan sampai, hanya karena suara-suara sumbang dari orang-orang yang berkepentingan, Mesir—khususnya Kairo tidak lagi menjadi tempat yang ideal dan kondusif bagi para pencari ilmu asal Indonesia. Jangan sampai hanya karena memenuhi tuntutan kepentingan perorangan atau kelompok tertentu, citra al-Azhar sebagai kiblat dan jujukan para penuntut ilmu agama menjadi sirna.

Mbokya kita sebagai alumni Azhar sama-sama “menjaga” agar adik-adik kita yang hendak sekolah atau kuliah di al-Azhar bisa belajar dengan sekondusif mungkin. Jangan sampai nurani kita tercerabut dan lantas mencoreng muka bangsa Indonesia di mata para masyayikh dengan membuka keran seleksi seluas-luasnya demi kepentingan sesaat.

Lha wong sudah diseleksi (dibatasi) saja masih banyak mahasiwa baru yang tak tahu apa beda isim dan fi’il atau rafa’ dan nashab, apalagi jika tidak ada seleksi. Lha wong tambah 1500 camaba saja sewa rumah di Kairo saja sudah sangat tinggi dan urusan visa (jawazat) selalu ruet, apalagi kalau nanti tidak ada seleksi. Jumlah total Masisir yang seperti sekarang ini saja sudah kurang kondusif, apalagi jika ditambah jadi 2500 per tahun atau malah-malah tiada pembatasan? Mau seperti apa nantinya perwajahan Masisir beberapa tahun ke depan? Mbokya yang kayak gitu-gitu itu dipikirkan terlebih dahulu dan dicarikan solusi, kalau memang sudah benar-benar teratasi, barangkali opsi menambah kuantitas baru akan bisa direalisasikan.

Artikel ini telah ditayangkan di tawazun.id

Back to top button
Verified by MonsterInsights