Opini

Berhala Nasionalisme Erdogan

“Sejak ribuan tahun lalu, Hagia Sophia telah menjadi objek perang kebudayaan antara Turki Utsmani dan dunia Ortodoks.” –Selim Koru, analis politik dan penulis

Hagia Sophia, selanjutnya saya sebut Aya Sofia (Saint Sophia: Kebijaksanaan Suci) merupakan gereja Bizantium yang dibangun pada abad keenam Masehi. Di rentang waktu yang singkat, ia sempat menjadi gereja Katolik pada abad ke-13 M. Kemudian pada 1453 M, ia diubah menjadi masjid oleh Sultan Muhammad al-Fatih (Mehmed II). Lalu pada 1931 M (versi lain mengatakan 1934, ada juga 1935), Mustafa Kemal Ataturk sebagai Presiden Republik (Sekuler) Turki pertama mengubahnya menjadi museum. Sejak paruh kedua abad lalu, Aya Sofia diakui sebagai situs budaya UNESCO. Dan kini, Aya Sofia menjadi bahan perbincangan dunia ketika oleh rezim yang berkuasa di Turki sekarang difungsikan kembali menjadi masjid.

Selain sebagai bangunan arsitektur bersejarah, Aya Sofia ialah simbol politik. Tidak heran jika pengubahan dari museum menjadi masjid menuai respon beragam. Reaksi campur antara sedih, kecewa, marah dan haru-bahagia berseliweran di media-media internasional. Jika kita amati, berbagai tanggapan tadi setidaknya diwakili oleh dua kelompok. Pertama, kelompok Islamis-nasionalis Turki yang diwakili oleh pendukung Erdoğan (Partai Keadilan dan Pembangunan, AKP) dan kelompok lainnya ialah kelompok partai sayap kiri-liberal (CHP), publik internasional terutama kubu Yunani, Uni Eropa dan beberapa negara Timur Tengah seperti Suriah dan Mesir.

Darul Ifta Mesir menyebut bahwa langkah Erdoğan merupakan permainan politik berbahaya. Mustasyar Grand Mufti, Ibrahim Najm melihat bahwa momen pengubahan Aya Sofia hanya menyisakan tafsir politik, selain pembentukan citra bahwa Erdoğan ialah pahlawan yang melindungi situs suci umat Islam dan menghidupkan kebesarannya (Almasryalyoum, 11/7).

Paus Fransiskus bersedih. Majelis Gereja Timur Tengah menyatakan bahwa pengubahan termaksud merupa kekerasan terhadap kebebasan beragama (mobtada.com, 11/7). Respon-respon itu terus meluas hingga merambah isu multikultualisme dan dialog antar-agama, serta budaya. Maklum, Istanbul ialah titik temu Asia-Eropa, pusat budaya dan jalur perdagangan strategis lintas benua Eurasia.

Sekitar seminggu setelahnya, (10 Juli 2020), 198 negara Eropa mengubah 392 masjid dan situs Islami menyusul protes mereka terhadap pengubahan Aya Sofia. Yunani, yang sejak dahulu bersitegang dengan Turki menjadi pihak yang paling geram atas perubahan Aya Sofia tersebut. Selain memutus seluruh jalur perdagangan, Menteri Kebudayaan Yunani, Lina Mendoni menyebut pengubahan Aya Sofia sebagai provokasi terbuka terhadap dunia. Lebih lanjut, ia mencuit bahwa nasionalisme Erdogan membawa negerinya mundur 600 tahun ke belakang (Guardian, 10/7). Uni Eropa menilai kejadian ini mencederai Konvensi Ankara (Turki-Eropa), sama halnya dengan Perdamaian Kemanusiaan yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Grand Syekh al-Azhar 2019 lalu (Islam-Kristiani).

Fragmen-fragmen reaksi yang berhamburan ini memaksa saya untuk beralih dari debat sejarah teologis (pembuktian Hadits Nabi SAW akan pembukaan Konstantinopel) maupun ketegangan politis. Kontroversi teo-historis seputar boleh-tidaknya sebuah gereja diubah menjadi masjid, hingga klaim bahwa Aya Sofia merupakan milik umat Islam sudah selesai—untuk tidak menganggapnya tidak akan pernah selesai. Selain itu, saya lebih melihat pengubahan ini sebagai langkah politis Erdoğan untuk mengembalikan kepercayaan pendukungnya. Erdoğan memang sedang mengumpulkan kepercayaan pendukungnya yang menipis akibat kekalahan AKP pada pemilu walikota 2019, namun ini hanyalah maksud kesekian. Faktanya, ada yang menurutnya lebih menantang.

Seiring dengan naiknya popularitas walikota Ankara, Mansur Yavaş dan walikota Istanbul Ekrem Imamoğlu dari partai oposisi sebab penanganan covid-19, Erdoğan justru ingin membuktikan bahwa dirinya mampu melakukan hal yang lebih besar dari itu. Nawacita kelompok sayap kanan yang sejak puluhan tahun lalu mendamba masjid Aya Sofia akhirnya terwujud. Anda mungkin melihat ini sebagai pengalihan isu kacaunya perekonomian Turki, atau politik, namun saya lebih ingin menyoroti sisi nasionalisme yang hemat saya sedang dipertaruhkan (baca: dipermainkan).

Berhala Nasionalisme

Menurut analis studi Turki, Israel dan Palestina, Louis Fishman, Erdogan telah memegang prinsip yang sama sekali berbeda dengan pendiri negara (Ataturk). Menurutnya, Aya Sofia tidak pernah berubah menjadi masjid dan mengembalikan status itu merupakan mimpi panjang yang diyakininya sejak dulu. Pengubahan Aya Sofia menjadi masjid kemudian bisa kita maknai dengan dua hal: penegasan islamisme Turki, sekaligus memperbaiki masa lalu yang menurutnya salah langkah.

Nasionalisme Erdogan diterjemahkan sebagai islamisme. Turki di bawah kepemimpinan Erdogan ingin membangun kembali romantisme imperium Utsmani. Ini bisa kita telisik misal pada pidato pembukaan masjid Erdogan yang memakai dua kata kunci: kedaulatan negara (jualan khas pemimpin populis) dan pembukaan al-Aqsha. Dua kata kunci ini menggambarkan cakupan audiens yang terlibat di dalam pengubahan Aya Sofia, yakni Nasionalis-Islamis Turki, Yunani-sayap Turki Liberal dan bangsa Arab.

Seorang analis politik Turki, Selim Koru mengatakan bahwa prinsip utama nasionalisme Turki modern selain ejawantah islamisme ialah  ‘jika Anda Turki, maka ikutlah kami’. Mereka yang menyalahi ucapan negara ialah pengkhianat, musuh di dalam selimut. Saat narasi pengubahan Aya Sofia dibawa ke inventarisasi properti Sultan Mehmet, penakluk Konstantinopel Kristiani, sayap Nasionalis akhirnya tidak mempunyai pilihan selain mengamini bahwa Aya Sofia ialah warisan leluhur bangsa yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Mereka tidak berdaya. Riset menunjukkan lebih dari 70% sayap ini menyetujui pengubahan tersebut.

Di sisi lain, kelompok Islamis melihat bahwa Masjid Aya Sofia, salah satu katedral terbesar dan termegah dunia merupakan simbol penaklukan Istanbul. Narasinya menjadi begini: jatuhnya Konstantinopel menandai kemenangan umat Islam atas Kristiani sebagai the others tempo dulu (tentara Perang Salib), dan kini pengubahan Aya Sofia merupakan tanda kemenangan Islam atas the others zaman modern (Israel). Erdogan mengatakan di dalam pidatonya bahwa kembalinya Masjid Aya Sofia merupakan simbol pembebasan Masjid al-Aqsha. Ini berlebihan menurut saya. Aya Sofia tidak sesuci Masjid al-Aqsha, apalagi Masjidil Haram. Terlepas dari itu, melawan Israel atau siapapun yang dianggap sebagai musuh umat Islam tidak akan pernah bisa dengan cara-cara populis. Membenturkan wacana Islam versus Kristiani ialah jualan usang nan kadaluwarsa.

Nasionalisme ialah cinta tanah air, rasa kebangsaan yang mewujud atas perasaan senasib sepenanggungan. Persoalan nasionalisme memang masalah internal suatu bangsa, namun untuk menguatkan itu, sebuah bangsa tidak akan pernah bisa lepas dari internasionalisme. Indonesia misalnya, saat dulu memproklamirkan kemerdekaan di depan mikrofon masihlah sebuah negara anyaran. Lemah. Jika bukan dukungan negara-negara lain, Indonesia tidak akan pernah diakui secara de facto.

Sekarang, di dalam narasi pidato Erdogan tidak ada satu kata pun menyinggung umat Kristiani. Ia hanya menyebut mimpi-mimpi ‘langit’ mempersatukan umat Islam (lagi) dari Bukhara hingga ke Andalusia. Erdogan telah mengubah dan mereduksi nasionalisme menjadi situs-artefak, menjual iman demi kepentingan politik. Nasionalisme (islamisme) yang dipujanya bernapaskan egoisme dan narsisme religius. Seperti kaum Jahiliah penyembah berhala dahulu: menzalimi multikulturalisme budaya dan agama Turki, menjualnya demi setitik kepuasan elektoral yang belum pasti jayanya.

Back to top button
Verified by MonsterInsights