Opini

Membumikan Fikih Ekologi

Bumi Indonesia masih terus menghadapi ancaman eksistensialis yang bernama krisis lingkungan. Sejak memasuki tahun 2021 sampai saat ini, terhitung hampir mencapai 1677 bencana alam yang menggerus Tanah Air, bahkan sampai menelan banyak korban jiwa. Mulai dari banjir, tanah longsor, hingga gempa bumi, (databoks.katadata.co.id)

Pada mulanya, bencana-bencana yang terjadi diasumsikan sebagai hal alamiah. Jika betul demikian, seharusnya premis itu hanya berlaku pada wilayah dengan kondisi geografis dan kriteria tertentu. Seperti daerah dengan curah hujan tinggi dan kawasan perbukitan. Akan tetapi, realita berkata lain. Bencana tersebut telah hampir mengepung berbagai kawasan di Indonesia. Kawasan dengan topografi ideal terpaksa turut menjadi bulan-bulanan bencana, semisal musibah banjir yang dipicu oleh eksploitasi lahan secara serampangan.

Kita pun semakin meyakini bahwa sebagian besar bencana alam bukanlah sesuatu yang fatalistik saja, melainkan terdapat andil ulah tangan manusia. Alam seakan hanya dipandang sebagai objek yang harus diraup kebermanfaatannya tanpa berpikir panjang akan dampak eksploitasi.

Untuk mengurangi risiko dari kerusakan lingkungan yang lebih besar, kita dapat memulainya dengan kembali menggaungkan perbincangan mengenai pemeliharaan lingkungan (hifdz al-bîah). Hal ini tentu sejalan dengan nilai-nilai substansial teologi dan spirit keagamaan. Umat Islam sebagai kaum mayoritas di Indonesia seyogianya mampu mengejawantahkan spirit rahmatan lil ‘alamin, khususnya pada persoalan lingkungan. Sebab, arah gerak mereka sangat memengaruhi dinamika kehidupan ber-Tanah Air.

Untuk merealisasikan spirit yang dimaksud, hemat saya, kita perlu mengetahui lebih lanjut afirmasi dari ajaran agama Islam. Hingga pada gilirannya ajaran-ajaran tersebut dapat menjadi pembangkit kesadaran umat yang paripurna.

Konsep Fikih Ekologi
Fikih hadir sebagai salah satu respon agama dalam memandu gejolak realitas di berbagai aspek, termasuk perihal ekologi. Pembahasan mengenai fikih ekologi sebetulnya sudah sejak lama diperbincangkan, hanya saja antusias masyarakat muslim terhadap hal tersebut tidak seramai dengan perbincangan mengenai fikih toleransi, fikih kebangsaan, dan perspektif fikih lain yang mengemuka. Saya tidak sepenuhnya menyesalkan, akan tetapi perlu menjadi perhatian yang serius bahwa pembahasan mengenai fikih ekologi sudah seyogianya mendapatkan porsi lebih, mengingat kerusakan-kerusakan lingkungan yang semakin meluas.

Para ulama dan cendekia muslim beranggapan bahwa pelestarian lingkungan adalah sebuah kewajiban sosial atau fardlu kifayah. Secara teknis, bisa diterjemahkan dalam upaya membentuk suatu komunitas dari elemen masyarakat di setiap desanya yang mengawal pelestarian lingkungan.

Uraian fikih dalam problem ini sangat erat kaitannya dengan prinsip dan kaidah dasar hukum Islam. Di antara yang paling fundamental adalah pemahaman terkait ajaran agama selalu beiringan dengan nilai-nilai kemaslahatan manusia. Hal ini jamak diketahui oleh masyarakat muslim hingga mengkristal menjadi sebuah adagium yang terkenal, “… di manapun terdapat kemaslahatan, maka di situlah (terdapat nilai-nilai) ajaran agama”. Lebih tegas lagi, Syekh ‘Izzudin bin Abdussalam mengatakan, “… seluruh syariat (Islam) itu maslahat, baik dalam bentuk menolak kemafsadatan maupun menggali kemaslahatan.”

Kiranya, kita bisa menyimpulkan bahwa pada dasarnya menjaga lingkungan bukan sekadar mencegah mudarat yang akan menimpa lingkungan, melainkan disertai mewujudkan kemaslahatan lewat upaya pelestarian lingkungan. Di samping itu dapat dilakukan dengan cara menggalakkan program ruang terbuka hijau dan gerakan membersihkan lingkungan setiap hari. Secara teknis pelaksanaan aspek penjagaan terhadap lingkungan bisa merujuk pada Undang-undang No. 32 Tahun 2009.

Kemudian, berangkat dari kaidah fikih, “Bahaya harus dihindari”, saya menilai dalam merawat lingkungan hidup berarti menepis segala mudarat yang kemungkinan akan terjadi. Kaidah ini menjadi langkah awal yang harus diperhatikan, sebelum kita beranjak untuk memanfaatkan lingkungan hidup. Sebab secara logis, bagaimana bisa kita memanfaatkan sumber daya yang kita miliki, bila ia telah lebih dulu mengalami kerusakan?

Implementasi kaidah-kaidah fikih seperti di atas sangat terlihat dalam kasus-kasus serupa (nadzair) yang bisa kita temui dalam khazanah fikih klasik. Adanya larangan membuang air seni di bawah pohon yang berbuah, penebangan pohon ‘meskipun dalam kondisi berperang’ merupakan hasil dari penerapan kaidah fikih tersebut secara metodologis. Bahkan Lajnah Bahtsul Masail PBNU mengambil langkah tegas dengan merekomendasikan kepada pemerintah mengenai status keharaman membuang sampah sembarangan. Hal demikian (baca: larangan fikih klasik) memang terkesan remeh, namun mengandung nilai-nilai etis terhadap kelestarian ekologi jika dilakukan penafsiran secara mendalam.

Peran Pemerintah dan Masyarakat
“Pemimpin harus membuat kebijakan yang terbaik; paling maslahat untuk rakyatnya. Yaitu dengan menghindari mudarat dan kerusakan serta mengambil kebijakan yang benar dan bermanfaat secara luas.”

Pandangan Syekh Izzuddin bin Abdussalam tersebut menjadi tawaran konkret dalam mengawal spirit fikih ekologi. Secara teknis, hal tersebut memerlukan relasi positif antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah diharapkan mampu mengawal konsep fikih ekologi dengan menerjemahkannya dalam bentuk undang-undang dan kebijakan, baik dari langkah teknis maupun konsekuensi pidananya. Selain itu, pemerintah pun harus mampu mengelola dan menjaga lingkungan hidup yang berorientasi pada kepentingan umum (al-Maslahah al-Ammah). Orientasi inilah yang harus dijadikan landasan sekaligus barometer dalam menentukan kebijakan publik. Demikian juga partisipasi publik dalam perumusan, perencanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan menjadi suatu keharusan. Sebab tanpa relasi positif keduanya kebijakan akan sulit membawa maslahat.

Berhubung dengan perihal di atas, upaya pemerintah dalam menjalankan proyek infrastruktur ke depan selayaknya dipertimbangkan secara matang. Salah satunya melalui pengkajian mendalam terhadap kondisi lingkungan sekitar. Tidak seperti yang praktik kebijakan pembangunan infrastruktur sebelumnya, aktivis WALHI menilai banyak ironi yang timbul dari kebijakan pemerintah. Di antaranta memicu terjadinya kerusakan lingkungan secara cepat. Sebab, proyek tersebut cukup banyak mengalihfungsikan lahan-lahan hijau menjadi jalan raya (Harian Ekonomi Neraca, 2018). Dalam satu sisi, pembangunan infrastruktur cukup dirasa penting, namun pemerintah juga perlu memastikan terciptanya aliran manfaat yang bersifat lintas lapisan sosial.

Keberadaan hutan atau areal pertanian pada suatu daerah sering kali menjadi lahan penting bagi masyarakat sekitar, lantaran sebagai langkah mencegah kerusakan alam atau sebagai lahan produksi masyarakat. Di mana hal tersebut dipandang lebih maslahat dan mengandung mafsadat yang lebih ringan dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur. Memilih untuk tidak melanjutkan pembangunan atau melakukan riset lebih lanjut menjadi suatu kebijaksanaan yang patut dipilih. Oleh sebab sudah seyogianya pemerintah memperhatikan beberapa hak asasi masyarakat terdampak, di antaranya, jaminan akses, perlindungan sistem produksi dan perlindungan ekosistem.

Pada akhirnya, setiap individu sebagai elemen penting bangsa mempunyai tanggung jawab sosial-religius untuk menerapkan pandangan fikih ekologi. Khususnya, umat Islam harus mampu memastikan alam raya sebagai anugerah Tuhan yang harus dijaga dari ancaman kerusakan. Dengan kata lain, narasi besar kesadaran ekologis mesti diterjemahkan secara konkret dalam kehidupan kita. Saya berharap pembahasan mengenai paham-paham keagamaan yang mengarah pada ekologi dan pemanfaatan sumber daya alam dapat terus dikembangkan.

Cek Juga
Close
Back to top button
Verified by MonsterInsights