Opini

Menyoal Hakikat Penistaan Agama

Oleh: Ainul Mamnuah

Beberapa minggu yang lalu, media massa ramai memberitakan kasus pembakaran al-Quran yang dilakukan oleh seorang pemimpin politik Denmark-Swedia, Rasmus Paludan. Tidak hanya berhenti di situ, Paludan juga menunjukkan sikap merendahkan Islam. Sontak aksi tersebut menimbulkan kecaman dari negara-negara muslim di dunia. Pun di Tanah Air, terdapat aksi serupa yakni kasus yang menimpa komedian Sule, aktor Sasongko Widjanarko, dan Budi Dalton terkait candaan soal kepanjangan ‘miras’ di platform YouTube. ‘Miras’ selama ini dikenal sebagai singkatan untuk ‘’minuman keras’’ yang memabukkan. Akan tetapi, dalam konten itu disebutkan, bahwasanya ‘miras’ sebagai ‘’minuman Rasulullah’’. Meskipun konteksnya bercanda atau lelucon, hal tersebut dianggap telah melecehkan agama oleh khalayak.

Dari kedua kejadian di atas, kita dapat melihat persepsi khalayak dan reaksinya, yakni sama-sama menganggap kasus penistaan agama. Meskipun, kedua kasus tersebut memiliki kategori bentuk penistaan yang berbeda. Pada kasus pertama bentuk penistaannya secara non-verbal atau melalui tindakan, sedangkan kasus yang kedua bentuk penistaannya secara verbal. Dari berbagai bentuk tersebut, penistaan tetap menjadi sumber keresahan dan konflik di dalam masyarakat secara umum ataupun khusus. Berangkat dari kasus tersebut, saya akan mencoba melacak bagaimana hakikat penistaan agama serta apa saja elemen yang terkandung di dalamnya.

Penistaan agama secara estimologi berasal dari kata “nista’’, yang memiliki arti hina. Pun dapat diartikan sebagai sebuah tindakan atau perbuatan yang sifatnya merendahkan sesuatu, baik itu orang, golongan ataupun kelompok lain. Adapun penistaan agama menurut Pultoni, MH., hakim ad-hoc pengadilan negeri Manado, yaitu penentangan terhadap hal-hal yang dianggap suci serta tidak boleh diserang. Kita ambil contoh seperti simbol-simbol agama, pemimpin agama, dan ajaran-ajaran dalam kitab suci agama. Bentuk penistaan agama pada umumnya adalah perkataan atau tulisan yang menentang ketuhanan terhadap agama-agama yang mapan, baik agama Islam maupun non-Islam.

Berdasarkan konsepsi penistaan agama tersebut, melakukan tindakan merendahkan agama sama saja dengan melakukan penistaan terhadap suatu agama. Dalam konteks agama Islam, penistaan agamanya berupa perilaku mencela ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Quran dan Hadits. Misalnya, orang yang melalaikan shalat dengan sengaja. Perihal tersebut berarti secara tidak langsung ia telah mengabaikan ajaran yang tertulis dalam kitab suci agama Islam dan telah menghancurkan pondasi agama tersebut. Maka dari itu, Dr. Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya Fatwa-fatwa Mutakhir menyebutkan, orang yang melalaikan shalat karena secara sadar ia mengingkari kewajiban shalat, menyepelekan atau mencemoohnya, serta tidak mengindahkan perintah Allah SWT itu termasuk golongan kafir murtad.

Selain itu, penistaan juga bisa dilakukan melalui simbol-simbol agama seperti al-Quran yang sangat rawan untuk dilecehkan. Misalnya kasus pembakaran al-Quran yang dilakukan oleh Rasmus Paludan. Namun, jika kasus membakar al-Quran tersebut dikategorikan sebagai bentuk penistaan, lantas bagaimana dengan kasus yang kerap kita temui di lingkungan sekitar seperti meletakkan atau membawa al-Quran di sembarang tempat, misalnya di kamar mandi. Hal ini tentu menyalahi aturan dalam beragama, sebab al- Quran itu suci maka lazimnya diletakkan di tempat yang mulia. Dari sini bisa kita tarik kesimpulan, penistaan agama tidak hanya sebatas menghina, mencemooh, ataupun melecehkan agama, tapi ada unsur-unsur atau maksud yang menjadikan tindakan tersebut masuk kategori penistaan.

Mengutip dari tinjauan hukum, menurut pasal 156 (a) KUHP tentang unsur penistaan agama. Dalam psaal tersebut termaktub, bahwasanya barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada intinya bersifat permusuhan atau memicu pertentangan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut. Dalam artian, seseorang dapat dikatakan telah melakukan sebuah penistaan agama, apabila tindakan yang dilakukan tersebut memiliki tujuan atau maksud khusus, yakni untuk menghinakan atau merendahkan suatu agama yang diikuti masyarakat. Baik itu berupa ucapan maupun perbuatan.

Dari bunyi pasal di atas, kita dapat menemukan setidaknya dua unsur pokok yang menyokong sebuah tindakan bisa dikategorikan penistaan agama. Pertama, pernyataan serta tindakan yang dilakukan di muka umum ataupun media massa. Seperti kasus pembakaran al-Quran yang dilakukan oleh Rasmus Paludan saat demonstrasi. Dalam hal ini Paludan secara terang-terangan membakar al-Quran di depan mata kaum muslim. Pun dengan kasus yang menimpa komedian Sule, aktor Sasongko Widjanarko, dan Budi Dalton yang secara sadar mengatakan bahwa ‘miras’ merupakan singkatan dari ‘’minuman Rasulullah’’.

Kedua, mengenai perasaan yang bertendensi ke dalam permusuhan, kebencian terhadap satu atau lebih dari agama yang dianut masyarakat. Dalam kasus pembakaran al-Quran tersebut, tindakan yang dilakukan Ramus sangat jelas meremehkan dan merendahkan agama Islam, pada akhirnya menyulut kecaman serta amarah publik dari berbagai negara muslim di dunia. Tindakan penistaan agama ini ialah sikap yang tidak patut meski menilai aksi itu tetap bagian dari kebebasan berekspresi.

Mengaca dari kedua unsur pokok tersebut, kita tidak bisa mengeneralisir semua kasus yang terjadi bisa dikatakan sebagai bentuk penistaan agama, jika kasus itu tidak mengandung unsur-unsur objektif telah dipaparkan sebelumnya dan tidak ada maksud yang jelas mengarah pada penistaan agama. Misalnya, seseorang yang meletakkan al-Quran di dalam tas dan kemudian membawa tasnya ke kamar mandi, hal ini dilakukan tanpa ada maksud atau unsur untuk menistakan simbol agama. Terkait tindak pidana yang termaktub dalam undang-undang tersebut, pun ditujukkan kepada beberapa kasus yang memiliki niat untuk memusuhi atau menghina agama lain. Karena orang yang melakukan tindak pidana ini menganggu ketentraman agama lain atau orang beragama.

Selain dua unsur di atas, penistaan agama juga bisa terjadi dikarenakan adanya beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Di antaranya, adanya kegagalan pembinaan dalam beragama, miskonsepsi tentang penafsiran kebebasan berekspresi dan berpendapat, lemahnya penegakkan hukum yang ada, munculnya pendukung atau pembela penista agama, dan lain-lainnya.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa sebuah tindakan bisa terkategorikan menjadi penistaan agama jika mengandung beberapa unsur dan terjadi sebab adanya faktor yang melatarbelakanginya sebagaimana sudah dipaparkan di muka. Walhasil, upaya pencegahan tindakan penistaan agama dapat ditangulangi dengan beberapa cara, misalnya menginternalisasi dan memahami pokok-pokok ajaran agama, kebebasan berekspresi dan berpendapat serta batasan-batasannya. Tersebab, pengungkapan hasil pikiran dalam bentuk apapun tidak boleh merugikan serta melanggar hak-hak orang lain.

Ainul Mamnu'ah

If You Think You Can, You Can
Back to top button
Verified by MonsterInsights