Humaniora
Trending

Puasa di Negeri Seribu Menara

Puasa Ramadlan bagi umat Islam adalah ibadah yang sangat ditunggu-tunggu, istimewa dan selalu disambut penuh suka cita. Tidak hanya bagi umat Islam di Indonesia, bahkan hampir di seluruh penjuru dunia, umat Islam menyambutnya dengan bahagia dan suka cita. Terlebih lagi di negeri Seribu Menara, Mesir, negeri dengan peradaban tua tempat penulis sedang menimba ilmu. Umat Islam di negeri Mesir ini sangat menampakkan suka citanya dalam menyambut datangnya bulan Ramadlan. Jalan-jalan di pedesaan bersolek, rumah-rumah penduduk seolah saling berlomba mempercantik diri dengan hiasan lampu-lampu hias, fanous (lampion) atau pernak-pernik penghias lainnya.

Bagi masyarakat Mesir yang beragama Islam, mereka (terutama anak-anak) juga akan memperhias diri dengan memakai baju baru yang sudah mereka persiapkan sebelumnya. Jadilah kemeriahan awal bulan puasa di Mesir tak ubahnya kemeriahan Idul Fitri di Indonesia. Jalan-jalan lebih ramai dan semarak dengan orang lalu-lalang. Setiap warga yang berpapasan akan saling melontarkan ucapan, “Kullu sanah wa enta thayyib atau kullu sanah wa antum bikhair.” Sebuah tahniah yang di Indonesia lazim disampaikan hanya ketika sedang berlebaran atau tahun baru. Penyambutan orang Mesir akan datangnya Ramadlan hampir menyamai kemeriahan dan kebahagiaan masyarakat Indonesia saat menyambut datangnya hari raya lebaran. Barangkali masyarakat Mesir sekaligus sedang menginterpretasikan QS Yunus ayat 58 dan mengaplikasikan Hadits Nabi: “Man fariha bidukhuli ramadlana, harramallohu jasadahu ‘ala al-nirani; barang siapa berbahagia dengan datangnya bulan Ramadlan, maka Allah (akan) mengharamkan jasadnya masuk neraka.”

Menjalankan puasa Ramadlan di negeri yang kultur Islamnya kuat dan tua, ternyata berbeda dengan menjalankan puasa di Indonesia. Yang begitu kentara adalah tradisi kedua negara dalam menyambut dan mengisi datangnya bulan suci Ramadlan. Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan beberapa keunikan berpuasa Ramadlan di negeri Seribu Menara yang sedikit berbeda dan belum tentu ada di Indonesia. Yang pertama dan sudah diulas singkat di atas adalah cara penyambutannya. Yang selanjutnya akan diulas adalah cara masyarakat Mesir dalam mengisi bulan Ramadlan.

Bagi mahasiswa asing (wafidin) Universitas al-Azhar Mesir, datangnya bulan Ramadlan selalu mempunyai kesan yang berbeda setiap tahunnya. Adakalanya Ramadlan masuk dalam kalender musim ujian termin awal, pernah juga Ramadlan tiba hanya beberapa saat sebelum masa ujian. Syahdan, akan ada pula masanya puasa Ramadlan jatuh di tengah-tengah musim liburan kuliah. Termasuk juga akan tiba waktunya puasa Ramadlan jatuhnya di tengah musim dingin negeri Seribu Manara. Begitu juga sebaliknya.

Mengisi bulan Ramadlan bagi para wafidin bisa dengan berbagai agenda—sesuai selera masing-masing. Jika kebetulan puasa Ramadlannya sedang tidak dalam masa-masa ujian, para mahasiswa bisa tetap sibuk berorganisasi, berdiskusi (kajian) atau aktif mengaji (talaqi). Untuk yang berkantong tebal, tidak sedikit yang memilih umrah ke Tanah Suci. Sebagian mahasiswa berkantong tebal lainnya, banyak yang memilih pulang ke Indonesia untuk liburan, sekaligus merayakan Ramadlan dan Lebaran bersama keluarga besarnya. Terlebih ketika bulan puasa Ramadlan dilaksanakan di tengah musim panas Mesir. Pulang ke Indonesia seolah menjadi pilihan yang paling utama. Soalnya kalau melaksanakan puasa Ramadlan di Mesir saat musim panas, berarti harus siap berpuasa 15-16 jam di tengah-tengah teriknya negeri Mesir yang puncak panasnya mencapai suhu 40-50 derajat.

Sementara bagi mahasiswa yang berkantong tipis atau memang memilih tidak pulang, menjalani puasa Ramadlan dan berlebaran di negeri Seribu Menara agaknya menjadi opsi utama yang tidak perlu disesali. Bahkan, berpuasa dan berlebaran di Mesir jika dioptimalkan justru bisa menghasilkan keuntungan yang tidak tergantikan materi. Sebab di bulan puasa Ramadlan, para dosen sepuh al-Azhar banyak yang mengadakan pembacaan kitab-kitab khusus yang dikaji selama Ramadlan, berikut ijazah sanadnya. Tempat-tempat mengaji di serambi Azhar (ruwaq-ruwaq) atau tempat khusus (madyafah) kepunyaan para syekh yang ada di sekitaran kampus Azhar juga membuka pengajian khusus selama bulan Ramadlan. Bahkan biasanya, selain aktivitas mengaji, disediakan pula hidangan berbuka puasa yang menunya cukup istimewa untuk setiap harinya.

Selain diisi kegiatan yang berbau religi, beberapa mathaf (museum) atau komunitas seni dan budaya selama Ramadlan biasanya juga menyelenggarakan beragam event khusus yang umumnya gratis atau lebih murah dari bulan-bulan biasanya. Masyarakat Mesir tatkala Ramadlan memang menjadi lebih dermawan, semakin religius dan lebih humanis. Tidak semuanya memang, tapi perubahan itu sangat terlihat nyata di masyarakat. Makanya tidak heran bila selama bulan Ramadlan, sangat mudah dijumpai orang bersedekah atau bangunan semi permanen dan deretan meja-kursi yang disiapkan khusus sebagai jamuan buka puasa. Jamuan ini dikenal dengan istilah Maidaturrahman. Insya Allah di edisi selanjutnya, akan ada tulisan yang mengupas tradisi jamuan bernama Maidaturrahman.

Bagi mahasiswa Indonesia di Mesir, kami tidak turut serta mengikuti tradisi setempat dalam hal memakai baju baru di awal Ramadlan. Kami pun tidak ada persiapan fisik khusus menyambuti datangnya bulan suci Ramadlan. Praktis kami menjalani kehidupan normal sebagaimana biasa, meski tentu kami juga sangat berbahagia dengan datangnya bulan suci Ramadlan. Yang sedikit berbeda, kami secara khusus memang melakukan ziarah ke makam para masyayikh al-Azhar dan dzuriah-dzuriah Nabi yang ada di Mesir. Secara tidak langsung, agenda ziarah tersebut juga kami niatkan untuk mengingat dan mengirim doa bagi mendiang keluarga yang makamnya ada di Indonesia.

Berpuasa di negeri Seribu Menara konon memang terasa penuh romantika, penuh drama, tapi teramat istimewa. Secara durasi pelaksanaan saja, puasa di Mesir terasa lebih berat dan melelahkan. Sebab dari durasinya, berpuasa di negeri Seribu Menara memang lebih lama waktu pelaksanaannya. Jika di Indonesia lama puasa hanya kisaran 13 jam, puasa di Mesir harus melewati rentang waktu 15-16 jam. Belum lagi jikalau puasanya kebetulan di tengah musim panas, saat masa-masa ujian, serta terkondisikan harus berpuasa tanpa ditemani keluarga tercinta. Aih, akan terasa berat nian.

Hal istimewa lain dari berpuasa di Mesir adalah nuansa religiusitas Ramadlan dari surau atau masjid-masjid di Mesir yang begitu terasa, meski tanpa ada suara orang bertadarus melalui pengeras suara. Di Mesir, begitu bulan suci Ramadlan, banyak sekali dijumpai orang-orang membaca al-Quran di dalam kereta, kendaraan umum, di pasar, atau di sepanjang jalanan Mesir. Masyarakat Mesir memang menjadi lebih religius, begitu mudah bersedekah, termasuk sedekah uang, sembako atau bersedekah melalui Maidaturrahman (jamuan berbuka) yang sudah sempat saya singgung di awal. Di sejumlah lokasi yang berbeda-beda, bangunan besar semi permanen atau berderet meja-kursi tertata rapi di sepanjang jalan sejak sore. Kita tak perlu risau tidak bisa berbuka puasa karena kehabisan kiriman uang dari Indonesia. Bahkan bagi mahasiswa Indonesia, bulan puasa Ramadlan bisa sekaligus menjadi ajang menghemat pengeluaran. Karena setiap harinya, menu buka puasa tinggal pilih di Maidaturrahman mana yang mau didatangi. Praktis hanya menu untuk masak sahur yang perlu disiapkan.

Untuk pelaksanaan shalat Tarawih, masjid-masjid yang ada di Mesir seperti berlomba menyediakan tempat Tarawih ternyaman dan spesial untuk para jamaah. Masjid-masjid menyediakan para Imam yang fasih dengan jumlah rakaat yang berbeda-beda tergantung selera dan madzhabnya. Ada yang hanya delapan rakaat, ada pula yang dua puluh rakaat seperti Tarawih yang penulis ikuti di masjid al-Azhar yang terletak di area kampus al-Azhar. Di masjid al-Azhar, para jamaah ada yang ikut hanya delapan rakaat, ada pula yang menyempurnakan dua puluh rakaat, plus tiga rakaat shalat Witir.

Umumnya, shalat Tarawih di Mesir menghatamkan satu juz setiap malamnya. Meski lebih lama jika dibanding keumuman Tarawih di Indonesia, barisan shaf masjid-masjid tidak hanya penuh di awal puasa saja. Bahkan konon di sepuluh hari terakhir (‘asyrul awakhir) bulan Ramadlan, jamaahnya justru akan semakin membludak. Suatu pemandangan indah yang belum terlihat pada ritual shalat Tarawih di Indonesia. Tapi bagaimanapun, Indonesia dengan tradisi Tarawih dan tradisi tadarusnya juga mempunyai sisi positif yang unik. Semoga, di manapun kita melaksanakan ibadah puasa Ramadlan, kita bisa mengoptimalkan diri dalam mengisi dan menggapai berkah dari bulan Ramadlan.

Back to top button
Verified by MonsterInsights