Opini

Perempuan Mendukung Perempuan, Maknanya?

“Ih, perempuan kok gitu. Perempuan ya harus lemah lembut, anggun. Atau pakai hijab, supaya lebih terjaga auratnya.” Pernahkah kita dilempari pernyataan semacam itu? Atau bahkan kita pernah melontarkannya ke teman?

Pernyataan sederhana barusan memang terkesan biasa. Namun, jika kita renungkan sejenak, ada baiknya jika kebiasaan memberi dan menerima pernyataan seperti itu tidak lagi dibiasakan. Sebab, pernyataan tadi mewakili deskripsi pasar yang memaksa perempuan untuk menjadi orang lain, untuk bisa diterima oleh komunitasnya. Hal ini juga bisa dilihat sebagai fakta sosial sejauh mana emansipasi perempuan merasuk ke dalam kesadaran mereka. Ternyata, tidak jauh-jauh, masih saja soal luaran.

Karenanya, sudah saatnya perempuan mempercantik diri bukan dengan riasan atau lenggak-lenggok bahasa yang dibuat-buat, namun dengan memaksimalkan potensi dirinya. Ketika kita mengatakan bahwa mereka setara dengan laki-laki, maka sejatinya kesetaraan itu ada ada pada kerja keras membentuk kepribadian unik versi dirinya dengan serius dan berkelanjutan.

Lantas, apa yang menyebabkan kita terbiasa mendengar pernyataan toksik seperti di atas?

Hemat saya, ada tiga faktor. Pertama, masyarakat kita terbiasa mendidik perempuan untuk berkompetisi saling curiga di antara mereka. Rasa tersebut tertanam di dalam diri perempuan sejak mereka masih kecil. Secara tidak sadar, seseorang merasa lebih baik dari temannya, hanya karena merasa memiliki kekuatan lebih dibanding lainnya.

Kedua, jiwa kompetitif perempuan sangat tinggi. Ketika berambisi, perempuan memang memiliki tingkat keinginan yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Ketika saya duduk di sekolah dasar, ambisi teman perempuan saya untuk menjadi juara kelas lebih besar dibanding teman laki-laki. Di sini dapat dilihat, bahwa jiwa kompetitif yang terjadi sudah tertanam sedari dini.

Ketiga, media dan kebebasan. Sebuah data mengatakan bahwa warganet Indonesia merupakan yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Fakta ini bisa menjadi alarm bahwa sikap asli masyarakat pengguna media sosial kita ialah reaktif dan emosional. Hal ini tentu dipengaruhi beberapa hal. Namun, jika kita ingat bahwa masyarakat kita juga ialah termasuk yang paling tidak membaca (hanya satu yang membaca dalam seribu orang Indonesia), maka salah satu penyebab penting sikap reaktif itu ialah tumpulnya nalar kritis. Hal ini sangat mungkin mendorong masing-masing dari kita untuk lebih cenderung nyinyir daripada beragumen dengan baik.

Saling mendukung
Hari-hari ini diramaikan oleh beberapa figur publik perempuan yang mengunggah potret mereka dengan warna monokrom beserta tagar #womansupportingwoman di sosial media. Bukan tanpa sebab, unggahan tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap sesama perempuan, khususnya di Turki, untuk menentang kekerasan terhadap perempuan yang berujung kematian.

Woman supporting woman adalah sebuah kesadaran bahwa perempuan sebagai kelompok yang rentan mesti saling mendukung dan mengayomi sesama. Kesadaran ini merupakan wujud kepercayaan bahwa pengalaman sosial perempuan bisa dipahami. Seperti mengalami hal biologis yang sama­­—menstruasi, hamil dan melahirkan—, stigma masyarakat terhadap dirinya, atau tuntutan sebagai perempuan sekaligus ibu. Dari beberapa kesamaan tersebut, mestinya hubungan kedekatan antar-perempuan kuat. Seharusnya perempuan bisa dengan mudah bersolidaritas terhadap stigma yang menimpa dalam masyarakat yang menindas kelompok mereka.

Atas dasar kesamaan pengalaman inilah, mestinya sesama perempuan saling mendukung, bukan menjatuhkan dan mematok standar sesuai tuntutatn pasar. Feminisme, atau gerakan apapun itu mustahil tercapai tujuannya jika cara berpikir perempuan terhadap sesamanya tidak diubah. Daripada sibuk meniru gaya hidup pemengaruh (influencer), misalnya, sudah saatnya perempuan membentuk gaya hidupnya sendiri. Sudah saatnya hari-hari mereka disibukkan dengan aktivitas aktif; membaca, berkreasi memasak atau hobi lain dan melakukan kegiatan sukwan (volunteer).

Yang juga tak kalah penting dari perlindungan atas femicide (kekerasan laki-laki terhadap perempuan), kaum mereka membutuhkan lingkaran komunitas yang suportif dalam mengekspresikan dirinya. Ini artinya, cara pikir perempuan atas standar-standar aneh semacam di awal paragraf perlu diubah, diganti dengan sudut pandang yang lebih luwes dan elegan. Bagaimanapun bentuk tubuh, berjilbab atau tidak, model jilbab, gaya bicara, wajah dan lain sebagainya; setiap perempuan adalah unik dan potensial.

Terakhir, saya mengamini bahwa mendukung sesama perempuan membuat kaum perempuan berbahagia secara lebih autentik.

Back to top button
Verified by MonsterInsights