Esai

Fenomena Sarjana Pengangguran

Oleh: Nur Inayah

Ketika beberapa kali saya scrolling timeline di Twitter, saya melihat banyak anak-anak kuliahan yang dihadapkan oleh dua pilihan: antara bekerja atau lanjut kuliah. Di akun-akun menfess yang berbicara seputar dunia perkuliahan atau pun pekerjaan, saya perhatikan dilema mereka ternyata dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Di antaranya, pertimbangan masalah finansial dan fenomena mismatch antara latar belakang pendidikan, kompetensi serta kebutuhan pasar kerja.

Bagi mereka yang memiliki finansial yang stabil atau bahkan berlebih, tentu melanjutkan ke tingkat pendidikan selanjutnya lebih utama. Namun, hal ini tidak berlaku bagi mereka yang berada dalam keadaan sebaliknya. Di bawah tuntutan finansial tersebut, secara tak langsung memaksa mereka untuk segera mencari kerja begitu menyelesaikan pendidikan sarjananya. Sayangnya, ketika mencari pekerjaan seringkali mereka dihadapkan oleh sistem kualifikasi yang tak masuk akal, seperti pengalaman bekerja selama sekian tahun dan penguasaan sejumlah hard skill untuk satu lowongan tersedia. Akhirnya, banyak sekali para lulusan sarjana yang menganggur karena tak dapat kesempatan lowongan kerja.

Setiap tahunnya, Indonesia selalu kebanjiran lulusan sarjana. Hal ini dikarenakan, hampir setiap universitas mewisuda paling tidak sedikitnya seribu orang. Coba bayangkan, apabila satu universitas melahirkan seribu orang lulusan sarjana dikali ribuan perguruan tinggi yang terdapat di Indonesia, akan ada berapa banyak orang bergelar sarjana yang memenuhi Indonesia? Belum lagi ditambah para fresh graduate yang berasal dari lulusan luar negeri, misalnya fresh graduate Indonesia dari Universitas Al-Azhar. Menakjubkan, bukan?

Mungkin kita ambil contoh dari dua universitas terkemuka di Indonesia. Pada tahun lalu, tepatnya 2022, Universitas Gadjah Mada mewisuda sebanyak 2.313 orang bergelar sarjana, sedangkan Universitas Indonesia berhasil mewisuda sebanyak 4.196 orang. Sekilas jika kita lihat, hal ini cukup mengagumkan karena membuktikan bahwa Indonesia ternyata memiliki banyak sekali orang berpendidikan tinggi. Namun, kalau kita lihat dari hasil survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai jumlah Pengangguran Terbuka berdasarkan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Orang, hal ini masih menjadi ironi.

Berdasarkan data terbaru yang dirilis oleh BPS per-Februari 2022, jumlah pengangguran lulusan universitas berjumlah 884.769 orang dari total 8.402.153 orang pengangguran. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 1,21% dari jumlah pengangguran tahun sebelumnya per-Agustus 2021 yang mencapai angka 848.657 orang. Padahal pada semester itu, jumlah tersebut merupakan hasil reduksi dari angka pengangguran per-Februari 2021 sebanyak 2,1% yang mencapai 999.543 orang.

Alfeus Nehemia, Head of Human Capital dari PT Praweda Ciptakarsa, menyebutkan beberapa hal yang menjadi penyebab masih banyaknya lulusan sarjana yang menganggur. Pertama, yaitu adanya mismatch antara keterampilan karyawan dan kualifikasi yang dibutuhkan. Melalui webinar Career Buddy Program DPKKA x JobHun pada pertengahan 2022 lalu, ia menyatakan bahwa sebagai perusahaan, mereka kesusahan mencari karyawan akibat hal tersebut. Kedua, ekspektasi para fresh graduate terhadap penghasilan dan status yang tinggi. Ketiga, terbatasnya penyedia lapangan kerja yang diperparah dengan efek pandemi Covid-19 terhadap sejumlah perusahaan dan karyawan.

Narasi mismatch vokasi sering kali menjadi sasaran empuk terhadap jumlah pengangguran berpendidikan yang kian melambung tinggi. Ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dan kompetensi membuat seorang pelamar kerja tak masuk kualifikasi. Satu jenis lowongan pekerjaan mensyaratkan beberapa kompetensi hard skill yang seharusnya bisa dijadikan beberapa jenis. Misalnya, tuntutan menguasai bahasa pemograman dan coding bagi data analyst. Padahal kenyataannya, penguasaan coding sama sekali tak terpakai dalam data analysis.

Akan tetapi, hemat saya, skill mismatch atau mismatch vokasi tak bisa menjadi patokan fenomena pengangguran bergelar sarjana yang terus menjamur. Adanya narasi ini seolah-olah menjadikan keahlian dan kompetensi sebagai satu-satunya tolok ukur kesuksesan karier. Narasi yang sering digaungkan oleh sejumlah praktisi untuk menjelaskan isu pengangguran ini melupakan faktor-faktor lain yang sebenarnya ikut andil menjadi akar permasalahan yang sedang terjadi. Hal tersebut di antaranya, sistem perusahaan yang masih mempekerjakan karyawan secara prekariat, adanya istilah kuat-kuatan relasi internal, diskriminasi perekrutan kerja atas dasar cultural fit dan lainnya.

Di Indonesia, masih banyak perusahaan yang melakukan praktik prekariat terhadap para karyawannya. Masalah ini meliputi upah kerja yang tak sesuai, jaminan sosial yang masih belum bisa dinikmati semua karyawan, hingga pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan yang masih belum efektif. Misalnya, menurut survei Jajak Pendapat (Jakpat) yang dilansir dari databoks.katadata.co.id, menyebutkan bahwa 64,9% dari 832 responden memilih resign apabila gaji yang diberikan tak sesuai dengan jobdesk yang diperintahkan. Sedangkan mengenai hukum ketenagakerjaan yang masih belum efektif, seringkali saya lihat cuitan-cuitan di Twitter mengenai keluhan masalah gaji yang diberikan kepada mereka tak sesuai Upah Minimum Regional (UMR), bahkan tak sedikit pula yang mendapatkan jauh lebih kecil dari UMR.

Begitu pula masalah relasi internal yang kuat antara pelamar kerja dan perusahaan. Di Indonesia, persaingan ketat antar-pelamar kerja mengenai latar belakang personal sudah tak asing lagi. Salah satunya jika dilihat dari kacamata gelar pendidikan: lulusan sarjana dikalahkan magister, magister dikalahkan doktor, lulusan dalam negeri dikalahkan lulusan luar negeri. Akan tetapi, mereka semua tetap terkalahkan dengan orang yang memiliki relasi internal yang kuat. Dengan adanya kekuatan ini, membuat kesempatan seseorang mendapat posisi di suatu perusahaan lebih besar, bahkan tercakup di dalamnya kesempatan bagi orang-orang yang sebenarnya kurang berkompetensi. Hebatnya, hal ini tidak hanya terjadi di ranah perusahaan saja, namun juga terjadi di pemerintahan.

Permasalahan yang dialami oleh sarjana yang masih menganggur sebab tak kunjung mendapatkan pekerjaan menjadi sebuah ironi yang menyedihkan. Paradoks susah cari kerjaan berhadapan dengan perusahaan yang juga merasa kesusahan mencari karyawan. Terlebih lagi setelah terdampak pandemi, para fresh graduate tersebut harus menghadapi persaingan yang lebih ketat dengan orang-orang yang memiliki pengalaman bekerja hingga puluhan tahun.

Memasuki masa pasca-pandemi ini, jumlah lowongan kerja yang tersedia tak cukup mampu menampung orang-orang yang membutuhkan pekerjaan. Meskipun saat ini jumlah lapangan kerja mulai naik, namun jumlah pencari kerja juga turut bertambah. Mereka yang membutuhkan pekerjaan tidak hanya berasal dari orang-orang yang sebelumnya terkena PHK, namun juga para generasi Z yang mulai memasuki kehidupan mereka sebagai orang dewasa, termasuk di dalamnya para fresh graduate.

Di sisi lain, ekspektasi yang terlalu tinggi yang dimiliki para fresh graduate menghambat mereka mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan fresh graduate menginginkan pekerjaan yang memiliki kedudukan dan gaji yang tinggi. Terlebih lagi mereka yang dilahirkan oleh universitas-universitas terkemuka. Sebenarnya, tidaklah salah menginginkan hal tersebut. Akan tetapi, sebagai fresh graduate yang belum memiliki pengalaman bekerja secara riil, seyogianya kita tidak pilih-pilih pekerjaan selama masih berada dalam ranah kompetensi dan keahlian. Jangan sampai seorang fresh graduate pelamar kerja menegosiasi gaji agar setara dengan ahli berpengalaman dari dia.

Akhir kata, polemik sarjana pengangguran tidak hanya terjadi sebab kurangnya kompetensi diri yang dibutuhkan perusahaan saja. Akan tetapi, hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal diri pencari kerja. Meski demikian, hendaknya sebagai fresh graduate kita tetap mempelajari dan mengembangkan keahlian-keahlian yang kita punya, mengingat situasi serta kondisi dunia kerja saat ini jauh lah berbeda dari masa lampau. Bahkan walau tidak memilih perusahaan sebagai tempat bekerja, berwirausaha pun juga memerlukan berbagai keterampilan. Terlebih lagi saat ini merupakan era digitalisasi semua sektor kehidupan. Dengan demikian, apapun pekerjaan yang kita dapat nantinya mampu kita lakukan secara optimal.

Back to top button
Verified by MonsterInsights