BukuResensi

Resolusi Jihad; Sejarah yang Sempat Terlupakan

Oleh: Abdul Azis

Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) telah usai diperingati dengan berbagai euforianya. Sebagai suatu penghargaan atas perjuangan kaum santri yang turut andil mewujudkan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, HSN ditetapkan sebagai hari nasional. Kiranya perlu untuk kita mengetahui aspek yang lebih mendalam atas penetapan HSN ini.

HSN tidak lepas dari peristiwa sejarah masa lalu, khususnya dengan fatwa jihad KH. Hasyim Asy’ari. Berangkat dari dawuh Kiai Hasyim yang kemudian menjadi sebuah naskah resolusi jihad untuk umat saat itu yang berisi seruan jihad melawan penjajahan tentara sekutu. Resolusi tersebut sekaligus sebagai “aksi” mempertahankan kedaulatan Indonesia pascaproklamasi yang hendak dirongrong.

Namun yang belum banyak diketahui, peristiwa besar tersebut ternyata mengalami sejumlah pergolakan dalam lintasan sejarah. Yaitu ketika beberapa pihak tidak mengiginkan adanya catatan sejarah dan tidak ingin ingatan publik merekam sebuah sejarah yang berdampak besar dan menjadi sebagai sebuah gerakan nasional. Selanjutnya, bagaimana sesungguhnya fatwa resolusi jihad menjadi sorotan kelompok yang ingin menghilangkan dalam lintasan sejarah Indonesia?

Jawaban dari pertanyaan di atas terjawab dalam buku Resolusi Jihad “Perjuangan Ulama: dari Menegakkan Agama hingga Negara”. Buku ini dapat dijadikan referensi, sekaligus gambaran tentang sekelumit peristiwa yang terjadi. Tulisan yang disusun oleh Abdul Latif Bustami bersama tim sejarawan Tebuireng ini memaparkan berbagai sumber data ihwal bagaimana sejarah resolusi jihad terjadi. Buku setebal 236 ini juga menguraikan berbagai kejadian yang meliputi, sekaligus alasan pergolakan kelompok tertentu atas fatwa resolusi jihad KH. Hasyim Asy’ari.

Konteks zaman penjajahan menciptakan atmosfer ketimpangan sosial yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia menjadi begitu kentara. Maka, tidak heran berbagai perlawanan digencarkan berbagai kalangan yang geram dengan ketimpangan. Terbentuk pula berbagai organisasi perlawanan massal dari kalangan masyarakat dengan visi bersama, yaitu terwujudnya kemerdekaan nasional.

Kedatangan Jepang yang menggeser penjajahan Belanda awalnya memberikan harapan akan kehidupan yang lebih baik, mengingat antara Indonesia dengan Jepang masih sama–sama dari bangsa Asia. Di sini, Jepang belajar dari kelemahan Belanda, sehingga mereka cenderung berdamai dengan Islam. Meski tak lain tujuannya adalah memberikan basis pengekalan kekuasaan melalui keyakinan mayoritas.

Meski kemudian Jepang justru memperkeruh keadaan. Salah satu kebijakannya cenderung kontra produktif dengan kebijakan awal menggandeng barisan Islam. Karena di sisi lain, mereka melakukan penangkapan terhadap KH. Hasyim Asy’ari. Penangkapan itu justru menjadi pemantik emosi umat Islam untuk memberikan perlawanan pada Jepang.

Usai peristiwa penangkapan dan melihat reaksi umat Islam, pemerintah Jepang berubah 180 derajat sikapnya kepada umat Islam. Mereka bahkan sempat menggelar resepsi permintaan maaf, dengan mengundang ulama Jawa dan Madura, termasuk KH. Hasyim Asy’ari sendiri.

Dari Kooperatif hingga Radikal
Setelah terjadinya peristiwa diskriminatif terhadap masyarakat dan umat Islam, para tokoh pergerakan (khususnya dari tokoh Islam) melihat adanya kesamaan Jepang dengan penjajah Belanda. Imbasnya, masyarakat Indonesia pra kemerdekaan runtuh harapannya kepada Jepang, yang sempat berharap Jepang akan memberikan kehidupan yang lebih baik. Maka sejak itu, tersusunlah politik perlawanan yang lebih halus dan bersifat kooperatif (buka halaman 134) dari masyarakat.

Upaya kooperatif yang kemudian dimanfaatkan oleh umat Islam, salah satunya ialah izin menggiatkan kembali organisasi keagamaan NU dan Muhamadiyah, meskipun dua organisasi itu sesungguhnya secara yuridis tidak pernah dibubarkan.

Momen itu merupakan awal yang penting terkait peranan Islam dalam proses kemerdekaan Indonesia. Dari kedua organisasi besar tersebut kemudian melahirkan Masyumi sebagai badan federasi organisasi–organisasi Islam, menggantikan MIAI yang dinyatakan bubar usai terbentuknya Masyumi.

Lalu paparan proses pergerakan pesantren selanjutnya, seakan–akan menggambarkan perjuangan keras dan memberikan persepsi garang yang kontradiktif dengan bentuk awal yang akomodatif terhadap kebijakan penjajah. Hal ini harus dipahami dari status wilayah yang dijadikan landasan KH. Hasyim Asy’ari yang dikenal dengan istilah Darul Harb dan Darul Islam. Penjelasan Darul Islam yakni dimulai pascapendudukan Jepang di Indonesia yang memberikan ruang kebebasan kepada umat Islam untuk menggelar praktik ibadah dan tidak membatasi eksistensinya.

Adapun fatwa KH. Hasyim Asy’ari yang kemudian menjadi sebuah resolusi jihad merupakan respon dari berubahnya status Indonesia dari Darul Islam menjadi Darul Harb. Peristiwa itu terjadi pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, yang mana status Indonesia telah berubah menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh.

Karenanya, perlu sikap radikal dalam mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan sebuah wilayah. Mempertahankan suatu wilayah kekuasaan harus dipertahankan mati–matian dan menjadi begitu urgen karena berkaitan dengan praktek sosial keagamaan yang akan mempengaruhi dan mengganggu jalannya stabilitas sosial (halaman 172).

Ijtihad Mengembalikan Sejarah
Dalam pengantar buku ini, KH. Salahuddin Wahid menyampaikan agenda pembangunan museum Islam Nusantara KH. Hasyim Asy’ari. Selanjutnya, diadakannya seminar tentang materi, serta objek yang akan ditampilkan dalam museum tersebut. Dalam seminar terdapat salah satu narasumber yang kemudian menyampaikan bahwa resolusi jihad adalah sebuah legenda, tidak pernah ada duanya.

Itulah yang kemudian menjadi kegelisahan dan pemantik agar bisa berhasil dalam merampungkan karya akademik sejarah ini. Menurut Abdul Latif Bustami, sejarah memiliki dua komponen, Pertama sejarah itu sendiri sebagaimana peristiwa itu terjadi. Kedua sejarah menurut penulis (lihat pengantar penulis, xxi).

Dari sini, didapati konklusi bahwa dalam peristiwa masa lalu atau sejarah itu sendiri tertanam tafsir yang kompleks, terlepas dari apakah peristiwa itu termanifestasikan ke dalam sebuah karya tulis atau tidak. Lahirnya berbagai kepentingan yang dalam istilah penulis disebut sejarah yang apa adanya dan ada apanya dapat memilah sebuah peristiwa sejarah melalui kacamata objektif.

Dari dua kacamata itulah dapat dipahami bahwa sejarah menjadi objek multitafsir. Sejarah dapat menjadi instrument kekuasaan, yaitu dengan mengaburkan sebuah kejadian untuk menggiring opini publik dalam memandang sebuah realitas. Semoga tidak ada lagi upaya penghapusan memori kolektif publik dalam proses memahami peristiwa sejarah bangsa.

Buku: Resolusi Jihad “Perjuangan Ulama dari Menegakan Agama hingga Negara”
Penulis: Abdul Latif Bustami
Penerbit: Pustaka Tebu Ireng
Cetakan: I, 2015
Tebal: 236 halaman

Back to top button
Verified by MonsterInsights