FilmResensi

Rise of Empires: Ottoman; Sisi Lain Sosok Pemimpin Ideal

“Agar suatu kekaisaran bisa bangkit, kekaisaran lain harus jatuh.”

Begitulah kalimat pembuka sebuah film serial yang mengangkat tema penaklukan Konstatinopel (Istanbul). Rasional menurut saya, tak hanya pada ranah futuhat al-Islamiyah (ekspansi Islam) saja, hal itu juga terjadi ketika negara nonmuslim melakukan ekspansi. Melalui ekspansi, sejarah mencatat siapa tokoh paling berpengaruh di dalamnya, pelajaran apa yang dapat kita petik agar kesalahan yang sama tidak terulang. Pun mencatat faktor eksternal apa yang membersamai sebuah keberhasilan untuk menaklukkan suatu negeri atau wilayah. Perkara-perkara tersebut akan terekspos dari film yang akan dikupas kali ini.

Apabila Anda adalah penggemar tokoh inspiratif dalam Islam atau sejarah Islam, tetapi kurang menikmati sejarah yang dikemas dalam bentuk tulisan—terasa rumit dan sulit membayangkannya—, mungkin film ini bisa menjadi jawabannya. Film berjudul Rise of Empires: Ottoman adalah serial film dokumenter yang diluncurkan oleh perusahaan Turki yang berbasis di Los Angeles, Karga Seven Pictures dan STX Entertainment. Film ini disutradarai Emmy Emre Sahin, seorang sutradara Turki yang telah menggarap berbagai film dan serial lain seperti, Takim: Mahalle Askinal (2015) dan Alien Encounters (2013-2014). Film yang terdiri dari enam episode ini berdurasi masing-masing 45 menit dalam setiap episodenya. Adapun naskah filmnya ditulis oleh Celal Sengor dan Emrah Safa Gurkan. Episode pertama dalam film ini rilis pada tanggal 24 Januari 2020.

Secara umum, film ini menceritakan tentang penaklukan Konstatinopel yang saat itu telah dikuasai Romawi selama 1.100 tahun. Ada lebih dari sekitar 23 pasukan musuh yang gagal untuk mencoba menaklukkan kota legendaris ini.  Posisinya yang merupa engsel di antara Asia, Eropa, Laut Hitam, Wilayah Mediterania, membuat ia lebih dari sekadar tempat strategis yang merepresentasikan lapisan kekaisaran dan peradaban yang tertanam di dalamnya. Tidak mengherankan jika ada sebuah adagium yang mengatakan, bahwa ‘siapapun yang menguasai konstatinopel, ia akan menguasai dunia’.

Tokoh-tokoh yang ikut menghiasi film ini terdiri dari Sultan Mehmed II sang penakluk (Cem Yigit Uzumoglu), Raja Romawi, Konstantinus XI (Tommaso Basili), Sultan Murad II, ayah dari Mehmed II (Tolga Tekin) dan masih banyak lagi.

Cerita berawal dari kematian sultan Ottoman Murad II pada tahun 1451. Sementara itu, putranya, pangeran Mehmed II tengah mengabdi menjadi gubernur Manisa di Provinsi Aegea, menjalani hidup setengah terasing pada beberapa tahun terakhir akibat pertengkarannya dengan anggota istana Ayahnya. Ada desas-desus bahwa Wazir Agung dan anggota lain di istana sedang membahas rencana untuk seorang pengganti. Dan Mehmed II ternyata bukan salah satu kandidat pengganti sultan.

Mendengar hal itu, ia bergegas menuju Adrianopel, Ibu Kota kekaisaran Ottoman untuk mengklaim takhta. Kedatangannya disambut oleh Wazir Agung (Perdana Menteri Kekaisaran). Menurut kebiasaan, ketika sultan baru mewarisi, hubungan dengan Wazir Agung lama dari pemerintahan sebelumnya akan selalu ada friksi. Oleh karenanya, Wazir harus dikendalikan, karena jika Wazir tidak dapat dikendalikan, maka sultan baru hanya akan menjadi sultan boneka. Apalagi usia Mehmed II saat berkuasa, baru berumur 19 tahun. Meski begitu, ada banyak ekspektasi yang menekannya. Mungkin karena orang-orang banyak yang meragukan akan kesiapan dan kapabilitasnya sebagai sultan baru. Tetapi, ia justru ingin membuktikan dengan melakukan pencapaian tertinggi; merebut Konstatinopel.

Konstatinopel sendiri tengah dipimpin oleh Kaisar Konstantinus XI, tangan kanannya adalah Loukas Notaras. Ia memegang posisi Grand Duke, setara dengan Wazir Agung Ottoman. Pada posisi ini, baik Wazir Agung Ottoman maupun Grand Duke sama-sama tidak menyetujui adanya perang untuk memperebutkan Konstatinopel. Dalam pertemuannya secara diam-diam dengan Grand Duke, ia mengatur siasat bagaimana agar Sultan Mehmed menggagalkan keinginannya, karena hal itu akan merugikan kedua belah pihak, baik dari segi ekonomi, mental hingga posisi keduanya.

Pada suatu malam, Sultan Mehmed II memanggil Wazir Agung untuk menghadap kepadanya. Takut apabila Mehmed mengetahui bahwa ia tidak menyetujui penaklukan Konstatinopel, sang Wazir membawakannya sekarung emas untuk dihadiahkan kepada Mehmed. Akan tetapi Mehmed menolak hadiahnya dan menceritakan mimpinya, bahwa ia bermimpi bertemu dengan ayahnya, kakeknya, dan para leluhurnya. Mereka menunjukkan suatu jalan, dan jalan itu menunjuk ke satu arah, Konstatinopel. Mehmed juga menceritakan bahwa dalam mimpinya, Wazir ikut serta di sebelahnya, sebagai guru yang berbakti, pelayan yang setia, juga komandan bagi pasukannya yang menakutkan. Bagaikan tersihir kalimatnya, Wazir Agung akhirnya ikut mendukung penaklukan Konstatinopel.

Pada bulan Maret 1453, pasukan Ottoman mulai berjalan sejauh 238 kilometer ke Konstatinopel. Pasukan itu tiba di luar kota Konstatinopel saat Paskah, salah satu hari suci bagi umat Kristen. Pengepungan kota ini diatur oleh norma budaya yang berbeda. Dalam Islam, ada beberapa aturan perang yang ditetapkan dalam al-Quran. Memberi kesempatan untuk berubah pikiran, kesempatan untuk menegosiasikan perjanjian baru, seperti mengampuni nyawa setiap warga kota tersebut, tidak melukai satu pun keluarga mereka, ataupun menjarah harta mereka.

Pada tanggal 6 April 1453, Mehmed mengirim tawaran terakhir untuk melakukan genjatan senjata pada Kaisar Konstatinus, jawaban dari Kaisar sudah jelas menolak. Setelah melakukan pengepungan dan penyerangan selama 57 hari, Sultan Mehmed dan pasukannya berhasil mengambil alih Konstatinopel pada tanggal 29 Mei 1453.

Pemimpin Ideal
Ketika membincang sosok pemimpin ideal, kebanyakan orang akan merujuk kepada sifat-sifat seperti pemberani, gagah, cerdas, lembut dan sifat-sifat terpuji lain. Profil Mehmed, dalam serial lain, telah digunakan kaum hijrah milenial sebagai sosok ideal representasi penyiar agama Islam yang melegenda. Akan tetapi, pada film yang kita kupas sekarang, sosok Mehmed tidak hanya disajikan dengan sifat-sifat tersebut. Ia lebih sering digambarkan sebagai sosok yang kurang sabar, arogan, ambisius, angkuh, dan keras kepala. Misalnya, dalam keadaan yang tidak menguntungkan, ketika Mehmed mengerahkan angkatan laut Ottoman untuk mencegah adanya bala bantuan dari Sri Paus yang berupa bahan makanan dan senjata, Ia mengutus Baltaoglu Suleyman. Ia adalah seorang yang dijuluki putra kapak perang, punya reputasi sebagai pejuang pemberani selama masa dinasnya di Korps Yanisari (salah satu pasukan khusus Ottoman). Dalam tugas yang diberikan Mehmed untuk mencegah perahu musuh, Baltaoglu gagal mengemban tugasnya. Ketika keadaan ini berlangsung, Mehmed tak segan-segan untuk memenggal kepala Baltaoglu, tidak peduli seberapa besar sumbangsihnya terhadap Ottoman. Mehmed perlu diingatkan berkali-kali oleh orang-orang terdekatnya, bahwa sifat Sabar dan belas kasih adalah sifat yang harus banyak dimiliki oleh seorang Sultan. Menurut saya, Mehmed justru sedang memperlihatkan standar kerja ke bawahannya. Ketika ia terbiasa menugasi seseorang, jika seseorang tersebut gagal mengemban tugas, maka Mehmed akan mengeksekusinya di hadapan seluruh pasukan. Hal ini akan memfokuskan pemahaman di benak dan alam bawah sadar semua orang, ‘bahwa mereka tidak boleh gagal’.

Salah satu sifat lain yang paling ditonjolkan sosok Mehmed adalah karakternya yang keras kepala. Ia begitu keras kepala untuk melakukan hal-hal yang memukau. Sementara Wazirnya, adalah seorang birokrat murni. Apa yang Wazir pikirkan hanyalah cara untuk berdamai, jangan bahayakan yang kita miliki, berapa biaya yang akan kita keluarkan jika melakukan sesuatu yang memukau? Di sini Mehmed ditampilkan sebagai sosok yang berani untuk mengambil risiko demi apa yang ingin ia dapatkan, bukan hanya berkutat pada zona nyaman.

Dari hasil pembacaan saya terhadap cerita-cerita tokoh inspiratif Islam yang diceritakan melalui kacamata kaum Islam, kebanyakan cerita yang dihasilkan hanya akan berputar dalam diksi yang membuat pembaca terkagum-kagum dengan sosok yang diceritakan. Pengkajian tokoh secara objektif sulit diterapkan jika kita hanya berkutat dalam satu sudut pandang yang sama; Islam. Melalui sudut pandang lain (Barat) kita bisa menemukan perspektif baru bahwa ada berbagai macam sifat lain untuk membentuk sosok pemimpin ideal. Dan pereduksian tokoh Mehmed untuk dinilai sebagai sosok yang tidak pernah kita bayangkan, menurut saya cocok dan seimbang jika kita menginginkan perwajahan seorang pemimpin ideal. Bagaimana ia bisa melakukan sebuah penaklukan jika tidak berani dan tidak keras kepala? Jika ia mudah terpikat dengan pendapat Wazirnya, maka Istanbul, Haiga Sophia, tidak akan pernah dimiliki umat muslim hingga sekarang.

Back to top button
Verified by MonsterInsights