Esai

Sisi Paradoksal Hadits dan Orientalis

Kalau mau jujur, sejatinya kita semua tidak akan bisa menafikan prestasi al-Azhar yang telah berhasil melahirkan sarjana-sarjana muslim hebat, meski masih dengan metode pengajarannya yang cukup klasik. Salah satu proses pembelajaran itu terjadi dari ruang-ruang kuliah yang klasik. Ilmu yang kita pahami, biasanya dari hasil kita mendengarkan apa yang disampaikan dosen. Sesekali kita juga diberi kesempatan untuk bertanya terkait hal-hal yang detail dan urgen. Kendati masih klasik dan manual, situasi itu tidak pernah membuat saya kecewa terhadap metode pengajaran di al-Azhar. Setidaknya, daya kritis saya acap dipacu ketika berada di ruang kuliah, seperti saat pelajaran Syubhât Haula al-Hadîts, dengan model diskusi yang diampu oleh Dr. Imad al-Syarbini.

Pada mata kuliah beliau, seperti biasa kami selalu diminta memberikan pendapat atas judul yang akan di bahas nantinya. Ketika itu pembahasan tentang Sayidina Muawiyah. Sudah saya duga, bahwa ini pembahasan yang cukup alot. Tersebab, Sayidina Muawiyah dituduh oleh orientalis sebagai pemalsu Hadits, hingga muncul keraguan atas posisinya sebagai seorang Sahabat. Tentunya mereka menampilkan beberapa teks Hadits untuk menguatkan tesis yang mereka bangun.

Saya rasa, situasi ilmiah seperti itu sangat menggairahkan. Saat diskusi berlangsung, salah satu mahasiswa asal Mesir tampak aktif dan beradu argumen dengan Dr. Imad al-Syarbini. Di akhir pelajaran beliau berkata, “Saya senang kalian seperti ini. Aktif dan membawa data plus Hadits. Kalian memiliki tanggung jawab besar untuk memahami perkara ini di kemudian hari.” Harus saya akui, bahwa suasana diskusi di kuliah seperti itu memang sangat jarang saya temukan, bahkan sejak saya mulai duduk di bangku kuliah.

Kendati saya tidak ikut berkomentar dalam diskusi tersebut, setidaknya saya ikut memunculkan beberapa pertanyaan di benak saya terkait orientalis. Di antaranya, jika apa yang diusung orientalis selama ini ilmiah, seberapa besar dampaknya terhadap keautentikan Hadits? Lalu, apa yang membedakan antara sikap kita dan orientalis ketika mendekati al-Quran dan Hadits?

Berangkat dari atmosfer ruang kuliah saya tersebut, tentunya kita memahami bahwa khazanah keilmuan Islam memang selalu memiliki daya tarik untuk dikaji. Cukup disayangkan jika kita sering mengeneralisir orientalis sebagai pengkaji peradaban Islam dan Timur yang demen mereduksi Islam. Memang jika dirunut dari perkembangan awal orientalis, sebagian dari pemuka agama Nasrani mengkaji al-Quran pasca-berakhirnya Perang Salib. Mereka menerjemahkan teks Arab al-Quran ke bahasa Yunani, dengan motif untuk meruntuhkan peradaban Islam. Mereka paham, bahwa peradaban Islam berkembang ketika umat Islam mengkaji makna al-Quran dengan baik.

Problem ini memang benar adanya. Berangkat dari polemik keagamaan dan ambisi mengambil peran memimpin dunia, orientalis tertarik mengkaji Islam. Satu hal yang perlu kita pahami, bahwasanya Prof. Dr. Musthafa Sibai memberikan pendapat yang objektif terkait problem ini. Beliau berpendapat, tidak semua orientalis bermotif mereduksi Islam. Ada juga mereka yang bersungguh-sungguh ingin mengetahui dengan benar apa yang sedang mereka kaji.

Di dalam bidang Hadits tersendiri, ada beberapa orientalis yang getol memberikan komentar terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Hadits. Komentar atau tesis yang mereka bangun banyak digandrungi oleh orientalis modern abad ini, bahkan tidak jarang kita melihat beberapa sarjana Timur mengapresiasi pemikiran mereka. Sehingga mereka lebih prefer untuk mengatakan, bahwa hasil kajian orientalis lebih ilmiah daripada sarjana Timur terdahulu. Di antara barisan orientalis yang saya maksud itu, sebut saja ada Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Juynboll, Gerald Motzki, dst.

Sebelum meneliti Hadits, mereka meletakkan pertanyaan dasar untuk membuktikan autentikasinya. Yakni, apakah benar bahwa Hadits berasal dari Nabi Muhammad SAW? Bermula dari pertanyaan ini, mereka meneliti kesejarahan Hadits yang memang rentan menimbulkan pelbagai keraguan. Satu hal yang tidak dapat kita tolak, bahwasanya Hadits dikodifikasi pada abad kedua Hijriah, jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Tesis yang muncul seperti ini, jika kita baca sekilas dalam kesejarahan Hadits, tentu dapat dibenarkan.

Pasalnya, kita tidak dapat menyalahkan mereka atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dengan alasan bahwa mereka bukan seorang muslim ataupun tidak paham bahasa Arab. Padahal realitanya, orientalis Arentjan Wensinck, seorang pendeta di Belanda, berhasil membuat kitab Mujam Mufahras yang menjadi salah satu rujukan untuk mencari Hadits. Sebelum menyusun itu, ia membaca terlebih dahulu Tuhfat al-Asyrâf bi Ma’rifati al-Athrâf karya al-Mizzi, mengkaji bolak-balik Kutub al-Sittah, Musnad al-Dârimî, al-Muwatha’ dan Musnad Imam Ahmad.

Perlu kita pahami, cara kita dengan mereka ketika mendekati al-Quran dan Hadits memiliki perbedaan yang mencolok. Mereka mendekati keduanya dengan spirit kesarjanaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, sebagian dari kita mendekati al-Quran dan Hadits justru dengan spirit manut dan enggan mempelajarinya lebih lanjut. Dari dua sumber ajaran Islam tadi, bagi sebagian orang muslim bukanlah sebuah jalan atau teman diskusi yang mengantarkan pada kebenaran. Justru mereka menganggap bahwa keduanya merupakan hasil final yang tidak dapat didiskusikan isinya.

Artinya, persoalan seperti di atas menjadi paradoks. Di satu sisi orientalis menganggap bahwa keduanya teman diskusi atau hal-hal yang dapat dipertanyakan, hingga muncul berbagai macam tesis yang rentan menimbulkan keraguan atas ketidakautentikan keduanya. Sedang di sisi lain, sebagian muslim meyakini kebenarannya secara absolut, tanpa mau melakukan dialog. Kita terkadang lupa, bahwasanya pergeseran motif orientalis dalam mengkaji Islam tidak selalu berawal dari polemik. Ada beberapa motif yang cukup kuat yang melandasi mereka untuk mengkaji al-Quran dan Hadits, di antaranya adalah poros kesarjanaan.

Poros kesarjanaan tersebut muncul di abad ke-18, sehingga membuka ruang dialog yang selalu menarik perhatian publik. Para sarjana Timur mengahadapi efek dari gelombang kesarjanaan Barat dengan melakukan dialog. Semisal, apa yang dilakukan Prof. Dr. Musthafa Sibai dengan bergerilya ke kampus-kampus Barat untuk berdialog dengan para orientalis. Ruang dialog yang beliau lakukan merupakan langkah untuk memberi pemahaman atas tesis-tesis mereka yang dianggap ilmiah.

Salah satu contoh progres beliau ialah ketika berkunjung ke Universitas Leiden, Belanda. Beliau bertemu dengan Joseph Schact untuk mendiskusikan perihal pendapat gurunya, Ignaz Goldziher, seputar Imam Zuhri yang dianggap pemalsu Hadits. Dalam dialog tersebut, beliau memberikan argumen tentang biografi Imam Zuhri dan mencoba mengoreksi atas apa yang dianggapnya kurang tepat. Lama-kelamaan Joseph Scahct mengakui, bahwa Goldziher telah melakukan kesalahan ketika menukil data yang disampaikan.

Tentunya, kita patut mengapresiasi apa yang dilakukan para sarjana Timur kemarin. Hal-hal semacam itu justru luput dari pembahasan kita tatkala mengkaji Hadits. Yakni, membuka dialog dan mencoba berdialektika seobjektif mungkin. Ironisnya, kita lebih senang menjadikan Hadits sebagai pedang untuk mengafirkan orang lain, bukan sebagai jalan atau teman diskusi yang menyenangkan. Tentunya, langkah untuk membangun dialektika antara sarjana Timur dan Barat memang sangatlah urgen. Tujuannya untuk mencari kebenaran atas tesis ilmiah yang dibangun masing-masing. Dan juga, semestinya kalau iman kita kuat tentu tidak akan marah dan menghardik pelbagai pertanyaan nyleneh yang muncul dari seseorang, terutama orientalis.

Persoalan seperti ini cukup ruwet dan njelimet. Saya justru jadi tertarik menjadikan judul di atas sebagai pengantar untuk mengkaji pembahasan selanjutnya. Artinya, persoalan yang dilontarkan oleh orientalis terkait kesejarahan Hadits, jalur periwayatan, status Sayidina Muawiyah serta tuduhan terhadap Imam Zuhri dkk, adalah tema diskusi lanjutan dari tulisan semacam pengantar ini.

Setidaknya, kita memahami terlebih dahulu, bahwasanya kita meyakini kebenaran kedua sumber tersebut memiliki landasan yang rasional dan tidak membabi buta. Satu lagi, bahwasanya posisi Sahabat dan para informan setelahnya memiliki andil besar untuk mengidentifiasi autentitas Hadits. Jika saja mereka dituduh pemalsu dan pembohong ulung, masihkah Hadits dianggap autentik?

Oleh karenanya, di tulisan saya kali ini memang sengaja tidak banyak menampilkan sejarah berkembangnya orientalis serta perubahan fase pemikirannya. Akan tetapi lebih saya niatkan untuk menjadi bahan autokritik sikap kita yang cenderung terlalu manut tatkala “mendekati” al-Quran dan Hadits. Sebab, diakui atau tidak, keduanya adalah teman diskusi yang sejatinya akan mengantarkan kita pada kebenaran, bukan sebuah benda yang semata dikeramatkan.

Back to top button
Verified by MonsterInsights