Esai

Sastra Tidak Lahir dari Lomba

Mungkin setahun yang lalu, seorang teman mengajakku menulis puisi dan cerpen. Itu adalah sebuah kompetisi yang diadakan oleh sebuah media. Kabarnya, seratus puisi dan cerpen terbaik akan terbit dalam wujud buku. Para penulis yang berpartisipasi akan diberi e-sertifikat dan buku yang bakal terbit akan dilego untuk umum. Saya diajakan untuk membeli buku-kumpulan-puisi itu.

Ikut kompetisi dan kemudian melakukan publikasi. Saya kira model kompetisi di atas sudah populer di telinga kita. Tidak sedikit, mereka yang belum punya ‘nama’ tergiur oleh tawaran semacam ini. Karyanya akan dipublikasikan dan menjadi konsumsi umum, dianggap sebagai sebuah karya sastra. Apakah ini adalah puisi yang baik, kadang saya bertanya-tanya.

Tidak sulit untuk melihat bahwa belakangan ini, di antara pemuisi yang digandrungi banyak kalangan ialah puisi-puisi pop miliknya Fiersa Besari atau Puisi Kopi-nya Usman Arrumy. Karya mereka cukup mudah dicerna khalayak luas. Itu rizki mereka. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa puisi yang baik tidak sesederhana bunyi yang sama di tiap baitnya.

Dalam hal ini, saya meminjam pandangan formalisme sastra Marxis. Pandangan ini menepis persepsi khalayak ramai, termasuk kita, yang melihat bahwa puisi hanya soal permainan bunyi. Menurut teori formalisme itu, puisi yang bertabur ketepatan bunyi tak jarang merupakan karya yang pasif. Pasalnya, puisi yang demikian memaksa kerja sastra menjadi semata urusan teknis, tanpa memedulikan isi. Memang, permainan bunyi merupakan bagian dari teknis menulis puisi, akan tetapi, menjadi salah besar bila muncul anggapan bahwa ke-puisi-an segenap bait ada pada keserasian bunyi. Akibat dari persepsi semacam ini, banyak dijumpai puisi yang gagal dalam pemilihan kata hingga metafora yang dipakai terkesan kasar. Pemaknaan yang ingin disampaikan tidak tercapai dengan baik—sayangnya, termasuk buku teman saya di muka.

Saut Situmorang dalam Festival Aksara Manifesco 2019 bertutur bahwa sastra, selain seni, ia juga sebuah ilmu pengetahuan. Bertolak dari pernyataan Saut tersebut, setidaknya ada dua perkara yang perlu dipahami kembali. Pertama, sastra sebagai ekspresi seni. Puisi, misalnya, pemilihan kata yang digunakan akan menimbulkan imaji estetis yang berwujud diksi puitis. Susunan kata pada puisi benar-benar digunakan untuk medapatkan nilai keindahan. Hal ini sudah dipahami oleh khalayak ramai. Kedua, sastra sebagai ilmu pengetahuan. Kealpaan khalayak memahami sastra hanya sebagai permainan estetis, bukan sebagai ilmu pengetahuan menjadikan sastra dipandang sebelah mata. Tidak mengagetkan jika kemudian mereka melihat puisi sebagai sesuatu yang identik dengan romansa.

Selain minimnya pemahaman khalayak akan sastra, Saut Situmorang dalam esainya Fetisisme Literasi menyayangkan penulis dan penerbit yang menjamur di mana-mana. Di antara penyumbang terbitnya buku sastra picisan ialah kompetisi-kompetisi sastra. Tak jarang, buku-buku terbitan kompetisi dicerna publik sebagai sastra betulan, atau paling tidak bisa dianggap sebagai sastra sebab lolos kompetisi dan dibukukan.

Sebagai penikmat sastra, saya berandai jika buku terbitan kompetisi itu melalui konsep dan standardisasi sastra yang ketat. Kompetisi yang menjanjikan publikasi karya dengan wujud buku, tak jarang menjadikan tulisan-tulisan tersebut tak lebih dari komoditas dagang untuk penerbit yang ingin meraup untung sebanyak-banyaknya dengan modal sedikit-dikitnya.

Saut dalam lanjutan esainya, dengan retoris mempertanyakan kualitas buku-buku yang terbit belakangan ini. Dalam pandangannya, fenomena fetis terhadap literasi hanya euforia komodifikasi kapitalistik atas literasi dan buku semata. Hal tersebut tercermin dari laku penerbit yang mengeksploitasi penulis yang belum punya nama. Penerbit hanya membayar mereka dengan iming-iming karya yang bakal dipublikasikan.

Di dalam penutup esainya, Saut mengungkapkan kerinduannya pada zaman Orde Baru. Zaman saat kebebasan berekspresi menjadi sarat nilai, buku-buku menjadi jalan pembebasan, pula pencerahan. Saut mengingatkan kita bahwa sastra selalu merupakan hasil dari budaya masyarakatnya. Kompetisi sastra, dengan demikian merupakan cermin dari kondisi masyarakat kita hari ini. Karya bukan lagi suara pendobrak, namun menjadi komoditas, menjadi barang sebagaimana biasa. Di dalam situasi semacam ini, saya hanya bisa berkeyakinan bahwa sastra tidak muncul begitu saja dari lomba.

Back to top button
Verified by MonsterInsights