Opini

Disfungsi Agama sebagai Legitimasi Politik

Belakangan ini, kontestasi politik di Indonesia semakin memanas. Hampir seluruh calon dari legislatif hingga eksekutif mencoba untuk menaikkan branding masing-masing individunya. Misalnya, beberapa waktu lalu saat saya membuka gawai, saya menemukan beragam konten branding para calon, seperti munculnya salah satu calon presiden 2024 dalam tanyangan adzan Maghrib di stasiun televisi milik Hary Tanoesoedibjo. Imbasnya, tak sedikit masyarakat yang berasumsi bahwa media untuk menaikkan branding tidak hanya dari pendekatan sosial. Akan tetapi, pendekatan keagamaan pun sudah menjadi alternatif para calon politikus untuk menaikkan pamornya, supaya terlihat seperti pemimpin yang ideal dan agamais.

Pesta demokrasi semacam ini acap kali dipandang sebagai sebuah kebebasan, sehingga mencampuradukkan beberapa variabel tertentu yang justru akan menodai salah satunya. Agama sebagai sesuatu yang bersifat sakral dan berkaitan dengan kepercayaan seseorang menjadi umpan untuk menarik massa dalam berpolitik. Hal semacam ini seharusnya tidak terjadi, sebab bisa menghilangkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam suatu agama, lebih parahnya agama hanya menjadi sebuah “dagangan politik”. Lantas, bagaimana peran agama dalam membersamai politik? Serta sejauh mana legitimasi agama dapat difungsikan di politik sekarang?

Berangkat dari problematika dan pertanyaan di atas, kita perlu mengetahui konsepsi dari agama dan politik terlebih dahulu supaya dapat memahami dialektika di antara keduanya. Agama secara umum ialah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal. Dalam artian, semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut religius. Selain itu, agama dalam pandangan sosiologis yaitu pranata sosial yang diekspresikan oleh pemeluknya dalam bentuk sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan politik ialah kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat. Sementara dalam teori klasik milik Aristoteles, politik merupakan usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Lebih dari itu, konteks politik dapat dipahami melalui beberapa konstruksi penyusun, di antaranya kekuasaan politik, sistem politik, perilaku politik, proses politik, negara dan legitimasi.

Kedudukan agama dalam konteks Indonesia memiliki peran yang cukup penting, karena Pancasila sebagai ideologi negara menunjukkan bahwa negara kita bukan negara sekuler, meskipun Indonesia juga tidak bisa dikatakan sebagai negara agama. Secara kelembagaan, Indonesia dibangun sebagai negara sekuler modern, namun secara filosofis berlandaskan Pancasila—sila pertama—Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, juga terdapat pada Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yang dengan jelas menyatakan, “Negara didirikan atas dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Artinya, Indonesia secara tidak langsung merupakan negara yang beragama, sebab dari filosofisnya didasarkan pada nilai-nilai keimanan terhadap Tuhan.

Keterlibatan agama dalam politik negara ini akhirnya dimaksudkan untuk membersamai proses dan dinamika ketatanegaraan. Sebagaimana yang diungkapkan Bryan S. Turner dalam bukunya “Religion and Social Theory” tentang fungsi-fungsi agama di kehidupan sosial itu ada tiga. Pertama, agama sebagai kontrol sosial. Dalam artian, agama dapat mengawal politik supaya sesuai dengan etika dan ajaran agama, terutama ketika kondisi moral politik sedang dalam keadaan buruk atau melemah—baik dalam kompetisi untuk memperoleh kekuasaan ataupun penggunaan kekuasaan. Problematika etika-moral misalnya, kebohongan publik, korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan lain-lainnya.

Kedua, agama sebagai legitimasi politik. Maksudnya, agama ini berguna untuk melegitimasi aspirasi dan perilaku politik dengan ajarannya. Misalnya, dalam negara Indonesia pada masa penjajahan, terkait doktrin agama tentang jihad. Hal ini sudah jelas bahwa agama difungsikan sebagai perangkat legitimasi perjuangan melawan penjajah. Selain itu, di awal kemerdekaan telah dibentuk pula partai politik berdasarkan agama, seperti Masyumi, Partai Kristen Indonesia, dan Partai Katolik. Pada masa Orde Baru partai agama memang sempat tidak diperbolehkan, sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang “deideologisasi politik” dan “de-politisasi agama”. Kendati demikian, agama tetap digunakan sebagai legitimasi program-progran pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah. Kemudian di era reformasi, partai politik yang berlatar belakang agama diperbolehkan kembali, sejalan dengan pembangunan sistem demokrasi yang substantif.

Dengan demikian, bagi seluruh warga Indonesia yang memiliki orientasi keagamaan yang tinggi, mulai dari perilaku, budaya, dan sistem hukum serta politik sebisa mungkin disesuaikan dengan ajaran-ajaran agama. Perihal ini agama benar-benar menjadi alat legitimasi bagi perilaku dan orientasi politik seseorang. Oleh karena itu, aspirasi politik mereka tidak hanya dilandaskan atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer manusia, akan tetapi juga pemenuhan kebutuhan spiritual.

Ketiga, agama sebagai perekat sosial. Berarti, agama berguna untuk membangun identitas dan solidaritas sosial. Di sisi lain, kehadiran agama secara fungsional sebagai perekat sosial ini juga berguna untuk menciptakan perdamaian, membawa masyarakat menuju keselamatan, mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik, memotivasi dalam bekerja dan seperangkat peranan yang ke semuanya adalah dalam rangka menjaga solidaritas. Namun, sayangnya beberapa tahun terakhir, ketiga fungsi ini tidak bisa berjalan semestinya. Tersebab, agama yang seharusnya sebagai kontrol sosial, legitimasi dan perekat sosial, justru digunakan sebagai wujud solidaritas sosial dalam bentuk sempit, menonjolkan perebutan kekuasaan, bahkan terintegrasi dengan politik identitas dan populisme. Hal ini semestinya tidak lumrah terjadi di Indonesia jika kita melihat proses dialektika agama dan politik dari masa awal kemerdekaannya.

Pelibatan agama dalam politik semacam ini kemudian disebut sebagai politisasi agama. Politisasi agama merupakan penggunaan agama atau simbol-simbol agama sebagai alat untuk mendapatkan tujuan-tujuan politik atau sebagai mobilisasi massa dalam memenangkan calon tertentu. Lebih dari itu, pun politisasi agama dapat tumbuh subur jika keterlibatan agama dalam politik dilakukan berdasarkan dalil-dalil keagamaan atau argumentasi yang bersifat khilafiyah. Selanjutnya, jika agama digunakan sebagai kampanye negatif atau dalam wujud ujaran kebencian terhadap lawan politik dan berorientasi pada kepentingan umum. Terakhir, agama diorientasikan hanya pada kepentingan kelompok dan mengabaikan kepentingan nasional.

Pada realitanya, dalam dua dasawarsa terakhir, politisasi agama dalam negara kita memang semakin mengakar kuat. Hal ini terjadi karena ia menjadi cara cepat untuk mendapatkan dukungan lebih besar dari masyarakat, baik karena dalam ranah kompetisi politik maupun karena alasan legitimasi paham keagamaan suatu kelompok. Penggunaan isu-isu agama dalam pemilihan diksi politik di Indonesia justru menjadi sebuah senjata utama dalam pesta demokrasi, apalagi dalam menghadapi pemilu 2024 mendatang. Jadi kita harus lebih waspada dan segera melakukan upaya pembendungan politisasi agama ini. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pelurusan pengertian dan batasan pelibatan agama dalam politik serta pelurusan pemahaman keagamaan yang digunakan untuk politisasi agama. Bukan berarti dengan melakukan pemisahan antara agama dan politik, tapi keterlibatan agama dalam politik ini perlu diekspresikan dengan santun dan tidak dicampuradukkan dengan kepentingan politik praktis, sehingga pelibatan agama ini tidak menimbulkan perpecahaan, kebencian, dan konflik SARA.

Di sisi lain, juga perlu adanya kesadaran dari semua pihak, mulai dari tokoh politik, tokoh organisasi keagamaan, dan tokoh agama tentang pentingnya menjaga persatuan bangsa, karena politisasi agama jika dibiarkan begitu saja, maka akan merendahkan posisi agama—yaitu agama hanya sebagai alat memperoleh kekuasaan. Idealnya, agama menjadi partner aktif pemerintahan di dalam mewujudkan cita-cita NKRI serta tidak ditarik dalam tataran yang lebih formal-praktis, sehingga beresiko untuk dipergunakan oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan subjektif. Padahal, dalam konteks ini, ajaran agama Islam khususnya telah menjelaskan dan menyatakan keharusan untuk berbuat adil termasuk terhadap kelompok yang tidak disukai, larangan memanipulasi ayat al-Quran, larangan fitnah dan adu domba, dan larangan membenci kelompok lain.

Walhasil, dari sini kita mengetahui bahwa antara agama dan politik itu mempunyai hubungan tarik menarik kepentingan. Agama memiliki peran strategis dalam mengkonstruksi dan memberikan peran strategis dalam menyusun kerangka nilai serta norma dalam membangun struktur negara serta pendisiplinan masyarakat. Sementara politik menggunakan agama sebagai legitimasi dogmatik untuk mengikat warga negara agar mematuhi aturan-aturan yang ada. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah yang artinya: ”Negara adalah asal yang kokoh dengan kaidah-kaidah agama, teratur dengan kemaslahatan umat, sehingga terperihalah urusan-urusan rakyat.”

 

Ainul Mamnu'ah

If You Think You Can, You Can

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Verified by MonsterInsights