Islamologi

Menyoal Konsep Living Hadits

 

Muhammad Al-Fayyadh Maulana

Dunia keilmuan Islam tidak pernah berhenti berdinamika. Perbedaan sudut pandang turut serta menjadi corak baru dalam setiap kajian yang muncul. Hadist sebagai salah satu sumber utama dalam Islam terus dielaborasi agar relevan dengan perkembangan zaman. Integrasi dengan pelbagai disiplin keilmuan umum lainnya juga gencar dilakukan di pelbagai instansi perguruan tinggi. Salah satu di antaranya, yaitu integrasi antara antropologi dengan ilmu Hadits yang produknya adalah Living Hadits.

Living Hadits sendiri sebenarnya hanyalah terminologi yang muncul di era sekarang ini. Jauh ke belakang, kita  sudah mengenal terlebih dahulu ‘Tradisi Ahli Madinah’ yang diprakarsai oleh Imam Malik. Penerapan sunah di sana adalah salah satu upaya pelestarian budaya Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh lokalitas penduduk Madinah. Saking kuatnya, sebagian ulama mengamini tradisi penduduk Madinah ini sebagai landasan pengambilan hukum dalam Islam.

Adapun frasa Living Hadits, di Indonesia sendiri pertama kali dipopulerkan oleh sejumlah dosen Tafsir-Hadits UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2007 melalui buku berjudul “Metodologi Penelitian Living al-Qur’an dan  Hadis”. Walaupun sebenarnya Barbara D. Metcalf lebih dulu muncul menggunakan istilah Living Hadits pada artikelnya “Living Hadith in Tablighi Jama’ah” pada tahun 1993. Seiring berjalannya waktu, banyak kemudian diselenggarakan kuliah umum guna membumikan konsep ini. Walhasil, sekarang menjamur berbagai jurnal ilmiah, buku, bahkan skripsi yang bertemakan Living Hadits.

Ada dua alasan fundamental yang melatarbelakangi munculnya term tersebut. Pertama, kajian Hadits secara dirâyah-riwâyah dianggap telah berada pada titik jenuh. Sedangkan teks Hadits sendiri sudah tidak mungkin diproduksi lagi. Padahal menurut saya, anggapan ini muncul semata-mata karena kurangnya elaborasi pada Hadits dan segenap perangkat keilmuannya. Kedua, para akademisi Hadits memerlukan ladang untuk terjun langsung guna melakukan penelitian kepada masyarakat sesuai bidang keahliannya. Adanya Living Hadits ini menjadi angin segar pada studi Hadits di Indonesia.

Secara singkat, kajian Living Hadits adalah analisis atas suatu kebudayaan yang diduga merupakan bentuk pengamalan dari suatu Hadits. Masyarakat yang menerima dakwah Islam, biasanya memiliki interpretasi masing-masing atas ajarannya. Berbagai budaya pun lahir atas penafsiran tersebut. Baik disadari atau tidak oleh pelakunya, selama ada dasar Hadits-nya, maka ia bisa disebut Living Hadits. Ketidaksadaran itu bisa disebabkan terpaut jauhnya pelaku dan masa dakwah itu masuk, atau  agen (pendakwah) -pada konteks ini disebut cultural broker -yang tidak menjelaskan secara rinci mengenai dalil amaliahnya.

Salah satu contohnya, di Kampung Cokelat Kademangan, Blitar, Jawa Timur, ada tradisi kupatan cokelat. Berangkat dari pemahaman atas Hadits, “Barang siapa ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya menyambung silaturrahmi” dan komoditas cokelat yang melimpah di sana, lahirlah budaya membuat kupatan dengan isi cokelat. Aspek sedekah dan silaturrahmi yang sesuai ajaran Hadits lalu dibalut budaya lokal kampung cokelat terakomodir dalam tradisi kupatan cokelat. Tradisi ini diprakarsai oleh Bapak Kholid, seorang pengusaha cokelat sekaligus tokoh agama di sana. Begitulah Living Hadits, kita dapat melihat bagaimana teks Hadits hidup pada kebudayaan masyarakat lokal.

Pada Living Hadits, penelitian yang digunakan adalah emic (data bersumber dari perspektif informan) bukan etic (data berasal dari sudut pandang peneliti). Sehingga posisi informan (pemuka agama dan atau adat) dianggap cukup krusial. Bila tidak ditemukan, maka kajian Living Hadits tidak bisa dilakukan dengan baik. Hal ini dikarenakan melalui informan lah dapat dipastikan apakah suatu tradisi itu memang berasal dari Hadits atau tidak. Meskipun demikian, objek kajian utama pada Living Hadits adalah fenomena praktikal suatu masyarakat, bukan berfokus pada teks Hadits-nya.

Berangkat dari gambaran umum terkait term Living Hadits tadi, muncul beberapa hal yang membuat saya kurang sependapat terkait konsep tersebut. Pertama, kajiannya tidak bertolak pada analisis Hadits sebagai pijakannya, baik matan maupun sanad. Sehingga, selama suatu Hadits terbukti bukan golongan Hadits palsu, maka tidak dipermasalahkan kualitasnya. Bagi akademisi Hadits yang berangkat dari penggiat kitab kuning, proses-proses seperti ini adalah satu tindak ‘pemerkosaan’ pada Hadits itu sendiri. Padahal yang menjadi ciri khas studi Hadits adalah analisis sanad yang mendalam, bahkan sebelum menyentuh matan.

Selanjutnya, proporsi dalam Living Hadits cenderung tidak seimbang. Porsi antropologi selalu jauh lebih dominan dari pada ilmu Hadits. Sehingga, nampak seperti gejala suatu peristiwa antropologi yang sengaja dicocokologikan dengan teks Hadits. Posisi Hadits hanya sebatas penggugur kewajiban agar Living Hadits dapat dikatakan sah sebagai bagian dari disiplin studi ilmu Hadits. Padahal tidak ditemukan keseimbangan dalam perpaduan keduanya pada penelitian.

Parahnya lagi, Living Hadits ini juga sering dijadikan pelarian bagi mahasiswa prodi ilmu Hadits yang belum memiliki pengetahuan mapan mengenai ilmu periwayatan, sanad dan perangkat bahasa Arab. Menjamurlah kemudian banyak jurnal dan skripsi yang bertemakan Living Hadits. Mereka yang kesulitan melakukan kajian hadis secara dirâyah-riwâyah, akhirnya memilih Living Hadits. Tidak diperlukan piranti pengetahuan mendalam terkait ilmu Hadits, asal ada fenomena yang kelihatannya berasal dari Hadits, bisa dijadikan bahan penelitian. Hal ini menyebabkan tulisan ilmiah di prodi ilmu Hadits belakangan ini cenderung kering dari analisis teks Hadits dan kritiknya.

Sebagaimana yang telah disinggung, bahwasanya kritik sanad Hadits merupakan satu komponen penting yang menjadi langkah awal dalam studi Hadits. Artinya, Living Hadits yang notebenenya menghindari langkah awal tersebut, seakan-akan lompat dari identitas studi Hadits itu sendiri. Menjauhnya dari satu step untuk melangkah secara sporadis  pemaknaan Hadits terhadap kondisi lingkungan masyarakat, tentu satu hal yang cukup disayangkan. Bahwa piranti utamanya tidak dijalankan dengan baik untuk mendasari hasil interpretasi Hadits.

Hal menarik lainnya, keresahan saya ini ternyata juga diamini oleh Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bapak Zuhri Amin. Ia dengan tegas menjelaskan, bahwa beberapa tahun lalu ada tuntutan menciptakan hal baru dari tiap prodi oleh pihak rektorat universitas. Bersamaan dengan itu, para pimpinan di prodi saat itu adalah mereka yang bukan berasal murni dari rahim akademisi ilmu Hadist. Kecenderungan pada kajian budaya nampaknya lebih dominan bagi mereka, sehingga lahir lah konsep Living Hadits seperti yang telah saya jelaskan.

Di penghujung tulisan ini, saya ingin mempertanyakan beberapa hal. Apakah apresiasi lebih penting ketimbang nilai amanat ilmiah? Lalu, apakah sistem tersebut sudah memiliki standard yang ideal? Living Hadits sebenarnya bisa menjadi lebih baik ketika komposisi nilai-nilai ilmu Hadits memiliki porsi yang lebih dan antropologi bisa lebih proporsional. Potensi dan batas keilmuan yang dimiliki juga harus menjadi pertimbangan sebelum melakukan integrasi. Sehingga Living Hadits memang hasil integrasi antar-disiplin keilmuan secara serius, bukan produk kejar tayang belaka. Jika tidak, saya khawatir bukannya semakin maju, tapi justru membawa keilmuan Islam kita berada di jalan yang keliru dan tidak terkonsep.

Back to top button
Verified by MonsterInsights